Senin, 16 Mei 2011

Penentuan Arahan Fungsi Pemanfaatan Lahan Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografi Yang Berbasis Lingkungan Studi Kasus Daerah Aliran Sungai Botok Kabupaten Karanganyar Tahun 2010

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan wilayah tata air dan ekosistem yang di dalamnya terjadi interaksi antara unsur-unsur biotik berupa vegetasi penutup lahan dan abiotik terutama berupa tanah dan iklim. Interaksi tersebut dinyatakan dalam bentuk keseimbangan masukan dan luaran berupa hujan dan aliran. Adanya manusia dengan segala aktivitasnya yang memanfaatkan sumber daya dalam ekosistem DAS mengakibatkan terjadinya interaksi antara dua subsistem yaitu subsistem biofisik dan subsistem sosial ekonomi. Menurut Sandy (1996), Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam perspektif keruangan merupakan bagian dari muka bumi, yang airnya mengalir ke dalam sungai yang bersangkutan apabila hujan jatuh. Dalam DAS, terdapat karakteristik yang diperoleh dari air hujan yang jatuh terhadap penggunaan tanah.
DAS sebagai sebuah ekosistem umumnya dibagi ke dalam tiga daerah, yaitu daerah hulu, daerah tengah dan daerah hilir. Ekosistem DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan fungsi tata air terhadap seluruh bagian DAS. Keterkaitan daerah hulu dan hilir adalah  melalui keterkaitan biofisik, yaitu melalui siklus hidrologi.
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur utamanya terdiri dari sumberdaya alam vegetasi, tanah dan air serta sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat sumberdaya alam. Pemanfaatan sumberdaya alam mencerminkan pola perilaku, keadaan sosial ekonomi dan tingkat pengelolaan yang sangat erat kaitannya dengan kelembagaan (tatanan institusional).




1
 
Sebagai satu kesatuan unit pengelolaan, maka DAS harus dapat menampung kepentingan seluruh sektor dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Untuk itu perlu dikembangkan pola tata ruang yang dapat menyerasikan tata guna lahan, air serta sumberdaya lainnya dalam satu kesatuan tata lingkungan yang harmonis dan dinamis serta ditunjang oleh pola perkembangan kependudukan yang serasi.  Tata ruang perlu dikelola secara terpadu melalui pendekatan  wilayah dengan tetap memperhatikan sifat lingkungan alam  dan sosial  sesuai dengan karakteristik DAS yang mendukungnya. Adapun tataguna lahan dikembangkan dengan memberikan perhatian khusus pada pencegahan penggunaan lahan yang berlebihan terhadap lahan pertanian produktif yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Dalam mengembangkan tata air perhatian khusus perlu diberikan pada faktor penyediaan baik secara kuantitas, kualitas maupun kontinuitas yang meliputi pencegahan banjir dan kekeringan, pencegahan kemerosotan mutu dan kelestarian air serta penyelamatan Daerah Aliran Sungai (DAS). Sebagai kesatuan unit perencanaan,  berarti DAS mempunyai peranan yang sangat penting,  yakni perencanaan pengelolaan DAS harus dapat menampung dan saling mendukung dan menjadi acuan  bagi perencanaan  pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Terjadinya limpasan air yang besar pada saat musim penghujan menunjukkan bahwa DAS tidak lagi mampu menyerap curah hujan yang ada sehingga air yang diterima sebagian besar langsung dialirkan melalui aliran permukaan ke sungai. Terbatasnya jumlah air yang masuk ke dalam tanah juga berdampak pada sedikitnya jumlah air yang memasok air tanah, sehingga pada musim kemarau debit air sungai menjadi kecil. Disamping itu besarnya limpasan permukaan dapat menimbulkan erosi, yang dicirikan oleh warna air sungai yang keruh. Pada kondisi DAS yang baik, kondisi antara debit sungai di musim penghujan dan kemarau adalah kecil, karena sebagian besar curah hujan dapat diserap ke dalam tanah, sehingga aliran permukaan sangat kecil. Oleh karena itu aliran airnya tampak jernih sebagai indikator bahwa lingkungan di DAS tersebut dalam kondisi baik. Apabila kerusakan sumberdaya alam DAS tersebut dibiarkan terus serta tidak ada upaya penanganan yang sungguh-sungguh dari semua pihak yang terkait, maka bencana alam yang lebih besar dan berdampak lebih luas terhadap tata kehidupan dan perekonomian masyarakat, akan semakin sulit untuk ditangani.

B.     Perumusan Masalah
Terjadinya banjir, penyumbatan sungai dan erosi sungai, sebagian besar disebabkan banyaknya penduduk yang bermukim di daerah aliran sungai, banyaknya limbah rumah tangga yang langsung dibuang ke sungai dan menurunnya daerah tangkapan air hujan. Hal ini menyebabkan air hujan tidak bisa meresap kedalam tanah karena banyaknya rumah penduduk yang menghambat air hujan untuk masuk kedalam tanah dan tersumbatnya aliran sungai karena sampah yang menumpuk. Selain pemukiman penduduk, limbah-limbah industri juga menyumbang kerusakan kondisi sungai, pabrik-pabrik di Indonesia sebagian besar belum mempunyai sistem untuk pengolahan limbah. Limbah industri yang langsung di buang ke sungai menyebabkan pencemaran yang berbahaya, tercemarnya air sungai yang menyebabkan banyak penghuni di dalam sungai tercemar dan menurunya kualitas air sungai. Pemerintah daerah sudah mencoba berbagai cara untuk memindahkan penduduk yang tinggal di bantaran sungai, tetapi mendapat tanggapan buruk dari penduduk. Penduduk bantaran sungai menganggap limbah industri yang menyebabkan kerusakan sungai dan terjadinya banjir. Enam puluh DAS di Indonesia diidentifikasi mengalami degradasi sejak tahun 2000 MS Kaban (2009). Karena berbagai faktor seperti meluasnya lahan kritis, penebangan hutan dan perambahan kawasan lindung. Kondisi DAS tersebut akan semakin parah jika terjadi pembangunan sarana-prasarana fasilitas umum, industri dan pemukiman dengan kepadatan yang tinggi di daerah perkotaan hilir. Ini menyebabkan terjadinya penyempitan palung sungai dan diiringi dengan meningkatnya pembuangan limbah ke sungai baik limbah industri maupun limbah rumah tangga serta terjadinya pencemaran lingkungan dan tersumbatnya sistem drainase perkotaan. Jika terjadi demikian, hujan deras secara lokal di perkotaan saja seringkali menyebabkan banjir walaupun debit sungai dari daerah hulu tidak terjadi peningkatan. Permasalahan yang di kaji dalam penelitian ini adalah :
1.      Bagaimanakah pengelolaan DAS secara terpadu?

C.    Tujuan
1.      Untuk memahami dan mendiskripsikan secara rinci dan mendalam mengenai pengelolaan DAS secara terpadu?

D.    Manfaat
1.      Hasil makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perencana dan pengelola DAS di kota surakarta khususnya dan pengelola DAS di Indonesia pada umumnya.
2.      Memberikan masukan kepada pembuat kebijakan bagi penyusunan strategi permasalahan yang timbul dari suatu DAS, misalkan; banjir longsor dll.
3.      Memberikan masukan kepada pembuat kebijakan dalam memperluas pandangan tentang perencanaan pengelolaan DAS secara terpadu, guna tersusunya kegiatan pengelolaan DAS yang lebih tepat dan mengatasi berbagai masalah yang ada di dalam ekosistem DAS.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.      Daerah Aliran Sungai (DAS)
a.       Pengertian Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air). Berdasarkan pengertian dari definisi tersebut maka DAS merupakan suatu wilayah daratan atau lahan yang mempunyai komponen topografi, batuan, tanah, vegetasi, air, sungai, iklim, hewan, manusia dan aktivitasnya yang berada pada, di bawah, dan di atas tanah.




4
 
Gambar 1 : Contoh DAS  Ciliwung Hulu dengan anak-anak sungai  dan batas DAS.
Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu ekosistem dimana terjadi interaksi antara organisme dari lingkungan biofisik dan kimia secara intensif serta terjadi pertukaran material dan energi. Dalam ekosistem DAS dapat dilihat hubungan antara hujan sebagai input, DAS sebagai pemroses, dan air sebagai output. Hujan sebagai input dalam ekosistem DAS bisa dianggap sebagai faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia. DAS sebagai faktor proses merupakan unsur yang bisa diubah atau diperlakukan untuk bisa memanfaatkan sumber daya yang ada di dalamnya dan bisa menekan kerusakan yang terjadi (Priyono dan Cahyono, 2003). Karena DAS secara alamiah juga merupakan satuan hidrologis, maka dampak pengelolaan yang dilakukan di dalam DAS akan terindikasikan dari keluarannya yang berupa tata air.
Daerah aliran sungai (DAS) diartikan sebagai daerah yang dibatasi punggung-punggung gunung air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung oleh punggung gunung tersebut dan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utama (Asdak, 1995: 4)
DAS juga didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang dibatasi oleh pemisah berupa batas topografi yang berfungsi untuk menanmpung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan untuk kemudian mengalirkannya ke laut/danau melalui satu sungai utama. (Dephut, 1997: 235).
Selanjutnya DAS (catchmen, basin, watershed) juga diartikan sebagai daerah dimana semua airnya mengalir ke dalam suatu sungai yang dimaksudkan, daerah ini umumnya dibatasi oleh batas topografi yang berarti ditetapkan berdasar aliran permukaan. Batas ini tidak ditetapkan berdasar air bawah tanah karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkatan kegiatan pemakaian. (Harto, 1993: 5).
b.      Pembagian Daerah Aliran Sungai
Daerah aliran sungai terbagi menjadi tiga daerah yaitu bagian hulu, bagian tengah, dan bagian hilir.
1)      DAS Bagian Hulu
DAS bagian hulu mempunyai ciri-ciri:
a)      Merupakan daerah konservasi.
b)      Mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi.
c)      Merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 15%).
d)     Bukan merupakan daerah banjir.
e)      Pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase.
f)       Jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan.
g)      Laju erosi lebih cepat daripada pengendapan.
h)      Pola penggerusan tubuh sungai berbentuk huruf “V”.
2)      DAS Bagian Tengah
DAS bagian tengah merupakan daerah peralihan antara bagian hulu dengan bagian hilir dan mulai terjadi pengendapan. Ekosistem tengah sebagai daerah distributor dan pengatur air. Dicirikan dengan daerah yang relatif datar. Daerah aliran sungai bagian tengah menjadi daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda antara hulu dengan hilir.
3)      DAS Bagian Hilir (Zona Sedimentasi)
DAS bagian hilir dicirikan dengan:
a)      Merupakan daerah pemanfaatan atau pemakai air.
b)      Kerapatan drainase kecil.
c)      Merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai dengan sangat kecil (kurang dari 8%).
d)     Pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan).
e)      Pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi.
f)       Jenis vegetasi didominasi oleh tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan bakau/gambut.
g)      Pola penggerusan tubuh sungai berbentuk huruf “U”
Ekosistem DAS dapat dibagi menjadi tiga, yaitu bagian hulu, tengah dan hilir yang satu dengan lainnya mempunyai keterkaitan biofisik maupun hidrologis. DAS bagian hulu dicirikan sebagai kawasan  konservasi, bagian  tengah merupakan kawasan penyangga dan bagian hilir merupakan kawasan pemanfaatan. Dengan tidak mengurangi arti penting DAS bagian tengah dan hilir, DAS bagian hulu mempunyai fungsi lindung bagi keseluruhan bagian DAS, terutama dalam fungsi tata air.  Fungsi hidrologis DAS dipengaruhi oleh curah hujan yang diterima, geoogi lahan dan bentuk lahan. Fungsi hidrologis DAS mencakup : (a) mengalirkan air, (b) menyangga kejadian puncak hujan, (c) melepas air secara bertahap, (d) memelihara kualitas air, dan (d) mengurangi pembuangan massa.
Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu akan berpengaruh sampai pada hilir. Oleh karenanya DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS, jadi apabila terjadi pengelolan yang tidak benar terhadap bagian hulu maka dampak yang ditimbulkan akan dirasakan juga pada bagian hilir. Sebagai contoh adalah bila terjadi praktik bercocok tanam yang tidak mengikuti kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, maka hal ini akan mengakibatkan terjadinya erosi. Erosi yang terjadi tersebut tidak hanya berdampak bagi daerah dimana erosi tersebut berlangsung yang berupa terjadinya penurunan kualitas lahan, tetapi dampak erosi juga akan dirasakan dibagian hilir, dampak yang dapat dirasakan oleh bagian hilir adalah dalam bentuk penurunan kapasitas tampung waduk ataupun sungai yang dapat menimbulkan resiko banjir sehingga akan menurunkan luas lahan irigasi (Asdak, 1995:12).
c.       Fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS)
Beberapa proses alami dalam DAS dapat memberikan dampak menguntungkan kepada sebagian kawasan DAS, tetapi pada saat yang sama dapat merugikan bagian yang lain. Bencana alam banjir dan kekeringan silih berganti yang terjadi di suatu wilayah atau daerah merupakan dampak negatif kegiatan manusia pada suatu DAS, dapat dikatakan bahwa kegiatan manusia telah menyebarkan DAS gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai penampung air hujan, penyimpan, dan pendistribusian air ke saluran-saluran atau sungai. Air permukaan baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa) dan sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponen-komponen siklus hidrologi yang membentuk sistem daerah aliran sungai (DAS). Jumlah air di bumi secara keseluruhan relatif tetap, yang berubah adalah wujud dan tempatnya.
Fungsi suatu DAS merupakan fungsi gabungan yang dilakukan oleh seluruh faktor yang ada pada DAS tersebut, yaitu vegetasi, bentuk wilayah (topografi), tanah dan manusia. Apabila salah satu faktor tersebut mengalami perubahan, maka hal tersebut akan mempengaruhi juga ekosistem DAS tersebut dan akan menyebabkan gangguan terhadap bekerjanya fungsi DAS. Apabila fungsi suatu DAS telah terganggu, maka sistem hidrologisnya akan terganggu, penangkapan curah hujan, resapan dan penyimpanan airnya menjadi sangat berkurang atau sistem penyalurannya menjadi sangat boros. Kejadian itu akan menyebabkan melimpahnya air pada musim penghujan dan sangat minimum pada musim pada musim kemarau, sehingga fluktuasi debit sungai antara musim hujan dan musim kemarau berbeda tajam. Hal ini berarti bahwa fungsi DAS tidak bekerja dengan baik, apabila hal ini terjadi berarti bahwa fungsi DAS tersebut adalah rendah (Suripin, 2004:186).
2.      Pengelolaan DAS
Pendekatan pengelolaan daerah aliran sungai yang pernah diragukan efektivitasnya kini mulai relevan kembali seiring dengan semakin lajunya degradasi sumber daya alam di daerah aliran sungai. Perubahan situasi, kondisi, dan pergeseran paradigma dalam pengelolaan daerah aliran sungai perlu diikuti dengan teknologi pengelolaan daerah aliran sungai yang sesuai.
Pengelolaan DAS pada dasarnya ditujukan untuk terwujudnya kondisi yang optimal dari sumberdaya vegetasi, tanah dan air sehingga mampu memberi manfaat secara maksimal dan berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia. Selain itu pengelolaan DAS dipahami sebagai suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di DAS untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah, yang dalam hal ini termasuk identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan, tanah dan air, dan keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu DAS (Chay Asdak, 1998).
Secara garis besar ruang lingkup kegiatan pengelolaan DAS meliputi :
1.      Penatagunaan lahan (landuse planning) untuk memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa serta kelestarian lingkungan.
2.      Penerapan konservasi sumberdaya air untuk menekan daya rusak air dan untuk memproduksi air (water yield) melalui optimalisasi penggunaan lahan.
3.      Pengelolaan lahan dan vegetasi di dalam dan luar kawasan hutan (pemanfaatan, rehabilitasi, restorasi, reklamasi dan konservasi).
4.      Pembangunan dan pengelolaan sumberdaya buatan terutama yang terkait dengan konservasi tanah dan air.
5.      Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS.
Gambar 3. Hubungan Biofisik antara DAS bagian hulu dan hilir
Sumber: Hidrologi dan Pengelolaan DAS (Chay Asdak, 1998).
endekatan yang digunakan dalam pengelolaan daerah Aliran Sungai ada berbagai macam, antara lain :
1.      Pendekatan Fisik, contoh : pembangunan waduk atau cek dam, terrasering untuk pertanian, reboisasi, penataan ruang untuk tata guna lahan, dll
2.      Pendekatan Sodial Budaya, contoh : pelibatan masyarakat pada pemeliharaan hutan dengan sistem hutan sosial, penyuluhan mengenai program pelestarian lingkungan, pembentukan kelompok-kelompok kerja, dll
3.      Pendekatan Regulasi dan kelembagaan pembentukan Peraturan Daerah , Kepres dll yang berkaitan dengan pelestarian DAS beserta sanksi-sanksinya
Pengembangan teknologi pengelolaan DAS untuk sumber daya air ditujukan pada teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air (terutama irigasi) dan konsumsi air. Selain itu perlu didukung dengan pengembangan kelembagaan tradisional seperti Subak di Bali, Karuhan di Tasikmalaya Jawa Barat, atau Pasang di Sulawesi Selatan. Dalam kaitan inilah, maka penggunaan DAS sebagai unit hidrologi dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien dalam pengembangan model dan teknologi pengelolaan sumber daya air dalam DAS.
Kegiatan pengelolaan DAS tersebut di atas mencakup aspek-aspek perencanaan, pengorganisasian, implementasi kegiatan di lapangan, pengendalian dan aspek pendukung yang melibatkan berbagai pihak pemangku kepentingan (stakeholders), baik unsur pemerintah, swasta maupun masyarakat.
Pengelolaan DAS terpadu mengandung pengertian bahwa unsur-unsur atau aspek-aspek yang menyangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan optimal sehingga terjadi sinergi positif yang akan meningkatkan kinerja DAS dalam menghasilkan output, sementara itu karakteristik yang saling bertentangan yang dapat melemahkan kinerja DAS dapat ditekan sehingga tidak merugikan kinerja DAS secara keseluruhan.
Persepsi yang banyak dianut dalam pengelolaan DAS dewasa ini adalah bahwa hutan merupakan sistem penggunaan lahan yang paling tepat dalam memelihara fungsi DAS. Selain itu, merubah kawasan hutan menjadi bentuk-bentuk penggunaan lahan lainnya dianggap akan mengurangi kemampuan DAS mempertahankan fungsi tersebut. Persepsi ini masih dapat diperdebatkan. Seberapa baik atau buruk sebenarnya bentuk penggunaan lahan non-hutan dalam memelihara fungsi DAS? Dapatkah sistem berbasis kayu menyamai hutan dalam memelihara fungsi DAS? Jawaban atas pertanyaan pertanyaan tersebut sangat penting dan menarik bagi para pembuat kebijakan dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan DAS. Selain itu, jawaban tersebut diperlukan dalam upaya pengembangan mekanisme pemberian imbalan bagi masyarakat daerah hulu atas jasa lingkungan yang mereka sediakan.
Mekanisme yang dapat menghubungkan para pemanfaat di daerah hilir dengan pengguna lahan di daerah hulu, misalnya melalui mekanisme imbalan yang tepat, mungkin merupakan 'strategi' kunci yang diperlukan untuk menangani kemiskinan pedesaan di daerah hulu sekaligus sebagai cara yang hemat biaya dalam meningkatkan pembangunan daerah hulu dan melestarikan 'nilai' ekosistem hulu DAS. Konsep inilah yang menjadi pokok gagasan Proyek RUPES (Rewarding the Upland Poor for the Environmental Services they provide).
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat sumberdaya alam tersebut. DAS di beberapa tempat di Indonesia memikul beban amat berat sehubungan dengan tingkat kepadatan penduduknya yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya alamnya yang intensif sehingga terdapat indikasi belakangan ini bahwa kondisi DAS semakin menurun dengan indikasi meningkatnya kejadian tanah longsor, erosi dan sedimentasi, banjir, dan kekeringan. Disisi lain tuntutan terhadap kemampuannya dalam menunjang system kehidupan, baik masyarakat di bagian hulu maupun hilir demikian besarnya.
Sebagai suatu kesatuan tata air, DAS dipengaruhi kondisi bagian hulu khususnyakondisi biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air yang di banyak tempatrawan terhadap ancaman gangguan manusia. Hal ini mencerminkan bahwa kelestarian DAS ditentukan oleh pola perilaku, keadaan sosial-ekonomi dan tingkat pengelolaan yang sangat erat kaitannya dengan pengaturan kelembagaan (institutional arrangement).
Pengelolaan DAS Secara Terpadu adalah suatu proses formulasi danimplementasi kebijakan dan kegiatan yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan manusia dalam suatu DAS secara utuh dengan mempertimbangkan aspek-aspek fisik, sosial, ekonomi dan kelembagaan di dalam dan sekitar DAS untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Pentingnya asas keterpaduan dalam pengelolaan DAS erat kaitannya dengan  pendekatan yang digunakan dalam pengelolaan DAS, yaitu pendekatan ekosistem. Ekosistem DAS merupakan sistem yang kompleks karena melibatkan berbagai komponen biogeofisik dan sosial ekonomi dan budaya yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Kompleksitas ekosistem DAS mempersyaratkan suatu pendekatan pengelolaan yang bersifat multisektor, lintas daerah, termasuk kelembagaan dengan kepentingan masing-masing serta mempertimbangkan prinsip prinsip saling ketergantungan. Hal-hal yang penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan DAS :
1.      Terdapat keterkaitan antara berbagai kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pembinaan aktivitas manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Melibatkan berbagai disiplin ilmu dan mencakup berbagai kegiatan yang tidak selalu saling mendukung.
2.      Meliputi daerah hulu, tengah, dan hilir yang mempunyai keterkaitan biofisik dalam bentuk daur hidrologi. Dalam melaksanakan pengelolaan DAS, tujuan dan sasaran yang diinginkan harus dinyatakan dengan jelas. Tujuan umum pengelolaan DAS terpadu adalah :
1.      Terselenggaranya koordinasi, keterpaduan, keserasian dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, monitoring dan evaluasi DAS.
2.      Terkendalinya hubungan timbal balik sumberdaya alam dan lingkungan DAS dengan kegiatan manusia guna kelestarian fungsi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Sasaran pengelolaan DAS yang ingin dicapai pada dasarnya adalah:
3.      Terciptanya kondisi hidrologis DAS yang optimal.
4.      Meningkatnya produktivitas lahan yang diikuti oleh perbaikan kesejahteraan masyarakat.
5.      Tertata dan berkembangnya kelembagaan formal dan informal masyarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS dan konservasi tanah.
6.      Meningkatnya kesadaran dan partisipasi mayarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS secara berkelanjutan.
7.      Terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan berkeadilan.
Ruang lingkup pengelolaan DAS secara umum meliputi perencanaan, pengorganisasian, implementasi/pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi terhadap upaya - upaya pokok berikut:
a.       Pengelolaan ruang melalui usaha pengaturan penggunaan lahan (landuse) dan konservasi tanah dalam arti yang luas.
b.      Pengelolaan sumberdaya air melalui konservasi, pengembangan, penggunaan dan pengendalian daya rusak air.
c.       Pengelolaan vegetasi yang meliputi pengelolaan hutan dan jenis vegetasi terestrial lainnya yang memiliki fungsi produksi dan perlindungan terhadap tanah dan air.
d.      Pembinaan kesadaran dan kemampuan manusia termasuk pengembangan kapasitas kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana, sehingga ikut berperan dalam upaya pengelolaan DAS.

3.      Permasalahan Daerah Aliran Sungai
Sejak tahun 1970-an degradasi DAS berupa lahan gundul, tanah kritis, erosi pada lereng-lereng curam baik karena dimanfaatkan sebagai lahan pertanian maupun penggunaan lahan lain seperti permukiman dan pertambangan sebenarnya telah memperoleh perhatian pemerintah Indonesia. Namun proses degradasi tersebut terus berlanjut karena tidak adanya keterpaduan tindak dan upaya yang dilakukan dari sektor atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan DAS
Perkembangan pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi sumber daya alam berupa pertambangan dan eksploitasi hutan telah menyebabkan penurunan kondisi hidrologis  suatu  DAS. Penurunan fungsi hidrologis DAS tersebut menyebabkan kemampuan  DAS untuk berfungsi sebagai penyimpan  air pada musim kemarau dan kemudian dipergunakan melepas air sebagai “base flow” pada musim kemarau, telah menurun.  Ketika air hujan turun pada musim penghujan air akan langsung mengalir menjadi aliran permukaan yang kadang-kadang menyebabkan banjir dan sebaliknya  pada musim kemarau aliran “base flow” sangat kecil bahkan pada beberapa sungai tidak ada aliran airnya sehingga ribuan hektar sawah dan tambak ikan tidak mendapat suplai air tawar.
Kerusakan DAS di Indonesia mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1984 terdapat 22 DAS kritis, dan pada tahun 1992 menjadi 39 DAS kritis dan hingga tahun 1998 bertambah lagi menjadi 59 DAS kritis, dan saat ini diperkirakan ada 70 DAS kritis. Pengelolaan sumberdaya DAS telah menjadi perhatian publik dalam beberapa dekade terakhir. Berbagai bencana alam yang terjadi seperti banjir dan krisis air bersih telah membangkitkan kesadaran semua pihak tentang pentingnya kelestarian ekosistem DAS, sehingga pengelolaannya harus terpadu dengan melibatkan seluruh unsur terkait. Kesadaran tersebut seharusnya mendorong semua pihak yang memperoleh manfaat untuk memberikan kontribusi terhadap tindakan rehabilitasi, konservasi dan pelestarian DAS.
Tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan penyebaran tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Sampai dengan tahun 2007 penutupan hutan di Indonesia sekitar 50% luas daratan dan ada kecenderungan luasan areal yang tertutup hutan terus menurun dengan rata-rata laju deforestasi tahun 2000-2005 sekitar 1,089 juta ha per tahun. Sedangkan lahan kritis dan sangat kritis masih tetap luas yaitu sekitar 30.2 juta ha (terdiri dari 23,3 juta ha sangat kritis dan 6,9 juta ha kritis), erosi dari daerah pertanian lahan kering yang padat penduduk tetap tinggi melebihi yang dapat ditoleransi (15 ton/ha/th) sehingga fungsi DAS dalam mengatur siklus hidrologi menjadi menurun.
Tingkat kekritisan DAS sangat berkaitan dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat petani di daerah tengah hingga hulu DAS terutama jika kawasan hutan dalam DAS tidak luas seperti DAS-DAS di pulau Jawa dan Bali. Tingkat kesadaran dan kemampuan ekonomi masyarakat petani yang rendah akan mendahulukan kebutuhan primer dan sekunder (sandang, pangan, dan papan) bukan kepedulian terhadap lingkungan sehingga sering terjadi perambahan hutan di daerah hulu DAS, penebangan liar dan praktik-praktik pertanian lahan kering di perbukitan yang akan meningkatkan kekritisan DAS.
Dampak kerusakan hutan pada ekosistem DAS telah menyebabkan bencana kekeringan di seluruh wilayah Indonesia. Menurut Pangesti (2000) dalam Kodoatie,et all., (2002), kebutuhan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi dalam tiga kelompok besar yaitu, (1) kebutuhan domestik; (2) irigasi pertanian; dan (3) industri. Pada tahun 1990 kebutuhan air untuk domestik adalah sebesar 3.169 juta m3, sedangkan angka proyeksi untuk tahun 2000 dan 2015 berturut-turut sebesar 6.114 juta m3 dan 8.903 juta m3 . Persentase kenaikan berkisar antara 10 % / tahun (1990 – 2000) dan 6.67 % / tahun (2000 – 2015). Kebutuhan air untuk keperluan irigasi pertanian dan tambak pada tahun 1990 sebesar 74.9 x 109 m3 / tahun, sedangkan pada tahun 2000 kebutuhan air untuk keperluan tersebut meningkat menjadi 91.5 x 109 m3/ tahun dan pada tahun 2015 kebutuhan tersebut menjadi sebesar 116.96 x 109 m3/ tahun. Berarti adanya peningkatan kebutuhan untuk sektor ini sebesar 10 % / tahun (1990 – 2000) dan antara 2000 – 2015 meningkat sebesar 6.7 % / tahun (Data Departemen Pekerjaan Umum, 1991). Kebutuhan air untuk sektor industri juga cukup besar. Berdasarkan informasi dari Departemen Perindustrian, kebutuhan air untuk sektor industri di Indonesia adalah sebesar 703.5 x 106 m3/tahun pada tahun 1990 dan sebesar 6.475 x 109m3/tahun pada tahun 1998. Berarti adanya peningkatan kebutuhan sebesar 12.5 %/tahun terutama akibat berkembangnya industri diberbagai propinsi di Indonesia (Isnugroho 2002).

Permasalahan DAS Bengawan Solo
DAS Bengawan Solo secara keseluruhan luasnya sekitar 1.873.452 hektar dengan rincian: 742.034,01 Ha di daerah hulu, 670.564,31 Ha di daerah tengah, dan 400.507,23 Ha di daerah Hilir. Panjang sungai utama berkisar 527 km (BPDAS Solo, 2007). DAS Bengawan Solo melintasi 19 kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 16.462.997 jiwa yang meliputi dua provinsi yakni Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kondisi Iklim DAS Bengawan Solo termasuk daerah beriklim tropis dengan suhu rata-rata bulanan di  atas 27,40C, kelembaban rata-rata sekitar 65%. Curah hujan rata-rata 2.165 mm/tahun dengan curah hujan rata-rata bulanan 242,3 mm.DAS Bengawan Solo merupakan DAS yang sangat kompleks permasalahannya. Banjir terjadi hampir di seluruh daerah di DAS Bengawan Solo baik di hulu, tengah maupun hilir.
      Gambar 2 Wilayah Kerja DAS Bengawan Solo
Berbagai permasalahan aktual di wilayah DAS Bengawan Solo, yang di duga sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan dan penyebab terjadinya banjir dan kekeringan yang berkepanjangan adalah :
1.      Perubahan Tutupan Lahan
Dari hasil intrepretasi Citra Landsat Tahun 2000 dan 2007 di DAS Bengawan Soloi menunjukan adanya perubahan tutupan lahan yang signifikan dimana terjadi peningkatan luasan tanah terbuka lebih dari 300 % atau tiga kali lipat dari luasan tahun 2000. Terjadi penurunan luasan hutan sebesar 31 %, sedangkan permukiman mengalami kenaikan sebesar 26 %. Hal tersebut akan meningkatkan laju erosi yang kemudian dapat berakibat terjadinya bencana longsor. Dengan memperhatikan status kawasan hutan (perhutani), dapat terlihat bahwa terjadi kenaikan lahan terbuka yang berada dalam wilayah status kawasan hutan (perhutani), yaitu seluas 3.839 Ha pada tahun 2000 bertambah menjadi 20.173 Ha pada tahun 2007 yang berarti terjadi penambahan lahan terbuka secara besar-besaran, yaitu seluas 16.334 Ha selama 7 tahun. Aktivitas penggunaan lahan di bagian hulu kebanyakan tidak sesuai lagi peruntukannya berdasarkan kemiringan lereng. Penyebab utama adalah deforestasi dan perubahan tata guna lahan akibat aktivitas pertanian dan pemabalakan liar.

Gambar 3 : Perubahan Tutupan Lahan DAS Bengawan Solo Th 2000 – Th 2007
Gambar 4 : Status Kawasan Hutan (Perhutani) di DAS Bengawan Solo
2.      Erosi dan Sedimentasi
Pada bendungan Gadjah Mungkur tahun 2001 sedimen sudah mencapai 30% dari tampungan, karena masuknya sedimen dari anak sungai terdekat Intake (kali Keduwang) sedimen sudah menutup hampir separuh tinggi intake, apabila tidak ditangani segera intake akan tersumbat sehingga suplai air ke hilir terhenti dan air dapat melimpah di atas bendungan, banjir besar di hilir. Proses sedimentasi juga sudah mulai berlangsung di saluran induk irigasi (kali Catur, Madiun) penanggulangan yang dapat dilakukan adalah pengerukan/penggalian sedimen, konservasi lahan dan perawatan. Disamping itu bangunan penahan longsor yang kurang memadai menyebabkan sering terjadi longsor, terutama pada lereng-lereng yang curam, stabilitas tanah rendah dengan intensitas hujan yang tinggi.
3.      Pesatnya perkembangan budidaya pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi, serta semakin padatnya penduduk yang diikuti dengan perkembangan permukiman dan aktivitas ekonomi lainnya seperti industri dan pertambangan menyebabkan rusaknya lingkungan pada bagian tengah DAS Bengawan Solo.Disamping itu, juga akibat tidak terpeliharanya sempadan-sempadan sungai, serta fungsi retensi hutan semakin menurun baik yang ada di bagian hulu maupun bagian tengah DAS.
4.      Fluktuasi Debit Bengawan Solo
Rasio debit (Qmax/Qmin) sungai Bengawan Solo berkisar antara 106 – 164 sehingga termasuk dalam kategori fluktuasi debit yang tinggi. Curah hujan pada daerah hulu Bengawan Solo mempunyai potensi erovitas tinggi.
 Sungai dan anak sungai dibagian hulu membentuk pola drainase radial dengan kelerengan yang terjal. Bagian tengah dan hilir membentuk pola drainase rectanguler dengan catchment area dan kelerengan rendah. Akibat dari dua pola ini maka di beberapa tempat terutama pertemuan antara sungai Madiun dan Bengawan Solo selalu akan terjadi Banjir pada bentuk sungai induk yang membentuk meander.

BAB III
PEMBAHASAN






 
Keberadaan DAS secara yuridis formal tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan. Dalam peraturan pemerintah ini DAS dibatasi sebagai suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga merupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsi untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya, penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut. Perkembangan pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi sumber daya alam berupa penambangan, dan ekploitasi hutan menyebabkan penurunan kondisi hidrologis suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Gejala penurunan fungsi hidrologis DAS ini dapat dijumpai di beberapa wilayah Indonesia, seperti di Pulau Jawa, Pulau Sumatera, dan Pulau Kalimantan, terutama sejak tahun dimulainya Pelita I yaitu pada tahun 1972. Penurunan fungsi hidrologis tersebut menyebabkan kemampuan DAS untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim kemarau dan kemudian dipergunakan melepas air sebagai (base flow) pada musim kemarau, telah menurun. Ketika air hujan turun pada musim penghujan air akan langsung mengalir menjadi aliran permukaan yang kadang-kadang menyebabkan banjir dan sebaliknya pada musim kemarau aliran (base flow) sangat kecil bahkan pada beberapa sungai tidak ada aliran sehingga ribuan hektar sawah dan tambak ikan tidak mendapat suplai air tawar. Walaupun masih banyak parameter lain yang dapat dijadikan ukuran kondisi suatu daerah aliran sungai, seperti parameter kelembagaan, parameter peraturan perundangundangan, parameter sumber daya manusia, parameter letak geografis, parameter iklim, dan parameter teknologi, akan tetapi parameter air masih merupakan salah satu input yang paling relevan dalam model DAS untuk mengetahui tingkat kinerja DAS tersebut, khususnya apabila dikaitkan dengan fungsi hidrologis DAS. Dalam prosesnya, maka kejadian-kejadian tersebut merupakan fenomena yang timbul sebagai akibat dari terganggunya fungsi DAS sebagai satu kesatuan sistem hidrologi yang melibatkan kompleksitas proses yang berlaku pada DAS. Salah satu indikator dominan yang menyebabkan terganggunya fungsi hidrologi DAS adalah terbentuknya lahan kritis. Menurut Pasaribu (1999), Dari hasil inventarisasi lahan kritis menunjukkan bahwa terdapat ± 14,4 juta hektar di luar kawasan hutan dan ± 8,3 juta hektar di dalam kawasan hutan.
Pemikiran dasar penduduk daerah bantaran sungai yang selalu menyalahkan limbah industri sebagai penyebab kerusakan sungai membuat penduduk bantaran sungai tidak mau direlokasi ketempat tinggal yang lebih layak. Disamping itu tidak tahunya penduduk bantaran sungai mengenai peraturan daerah tentang jalur hijau terutama di bagian DAS. Akibat dari penduduk bantaran sungai sendiri banyak orang yang terkena dampaknya, masalah banjir menjadi masalah yang terbesar ketika musim hujan tiba, sampah permukiman penduduk yang berada di daerah hulu terbawa arus dan menghambat aliran air yang berada di bagian hilir, ini menyebabkan air yang meluber dan menyebabkan banjir saat debit sungai bertambah. Tidak bisanya air hujan meresap kedalam tanah karena terhambat oleh permukiman penduduk yang mengakibatkan genangan air dimana-mana, selain banjir permukiman penduduk di daerah bantaran sungai juga menjadikan pandangan di sekitar sungai menjadi tidak enak dilihat dan terkesan kumuh dan kotor. Rendahnya tingkat pendidikan para penduduk bantaran sungai juga menyebabkan tidak pedulinya mereka terhadap kondisi lingkungan sungai.
Sektor permukiman dan prasarana wilayah masih menjadi prioritas dalam pembangunan dibandingkan dengan sektor kehutanan. Indikator pembangunan barangkali lebih mudah dilihat dengan berhasil dibangunnya berbagai sarana fisik, sementara pembangunan di bidang kehutanan masih dipandang sebagai investasi yang beresiko dan hasilnya diperoleh dalam jangka waktu yang lama. Pada satu sisi sarana irigasi dibangun sebagai penunjang upaya peningkatan produksi tanaman pangan di sektor pertanian, namun pada sisi lain kemampuan hutan sebagai penyangga sistem DAS semakin menurun dengan meningkatnya nilai nisbah sungai. Penebangan hutan terus berlanjut sebagai upaya memenuhi produksi kayu hutan. Akibatnya pada musim hujan air berlimpah sehingga menjadi bencana banjir, dan pada musim kemarau air surut sehingga timbul bencana kekeringan. Pada musim kering banyak sarana irigasi yang kering sehingga produksi tanaman pangan terganggu. Sementara itu pendekatan yang dipakai dalam penyelesaiaan masalah bencana banjir dan kekeringan selama ini tampaknya lebih banyak berorientasi pada penyelesaian yang bersifat fisik yaitu dengan membangun prasarana pengendali banjir yang sekaligus dapat berfungsi sebagai penampung air bagi penyediaan air irigasi di musim kemarau. Padahal hal ini seringkali bersifat symtomatik hanya sekedar menangani gejala yang timbul tetapi kurang memperhatikan akar permasalahannya. Berdasarkan hal tersebut di atas, tampaknya alokasi dana APBN yang ada untuk sektor kehutanan ditambah dengan Dana Reboisasi (DR) belum mampu memperbaiki kondisi hutan. Hutan terus terdegradasi sehingga kemampuannya sebagai penyangga sistem DAS terus menurun, dan dampaknya dirasakan oleh seluruh subsistem DAS dari hulu hingga ke hilir khususnya sektor permukiman wilayah dan sektor pertanian dalam bentuk bencana banjir dan kekeringan.
DAS atau daerah aliran sungai adalah daerah sekitar aliran sungai dan sekelilingnya yang jika terjadi hujan airnya mengalir kesungai. DAS dibagi menjadi dua macam yaitu:
1.      DAS Gemuk
DAS yang luas sehingga dapat menampung air yang besar. DAS ini umumnya mengalami luapan air ketika hujan besar di bagian hulu.
2.      DAS Kurus
DAS ini mempunyai daya tampung air hujan yang sedikit. DAS ini tidak mengalami luapan air yang begitu besar pada saat hujan turun di bagian hulu.
Fungsi DAS:
1)      DAS bagian hulu sebagai konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air dan air hujan.
2)      DAS bagian tengah sebagai pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain yang dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau.
3)      DAS bagian hilir sebagai pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat kepentingan masyarakat, yang diindikasikan melalui kuantitas air dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengolahan air limbah.
Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang dikelola dengan baik dan terjaga keberlanjutannya dengan didukung oleh sarana dan prasarana di bagian tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan manfaat DAS tersebut di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan maupun untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan adanya rentang panjang DAS yang begitu luas, baik secara administrasi maupun tata ruang, dalam pengelolaan DAS diperlukan adanya koordinasi berbagai pihak terkait baik lintas sektoral maupun lintas daerah secara baik.
Dalam rangka memulihkan dan mendayagunakan sungai dan pemeliharaan kelestarian DAS, maka rekomendasi ke depan perlu disusun kebijakan pemerintah yang mengatur tentang pengelolaan DAS terpadu, yang antara lain dapat memuat:
1.      Pengelolaan DAS terpadu yang meliputi:
a.       Keterpaduan dalam proses perencanaan, yang mencakup keterpaduan dalam penyusunan dan penetapan rencana kegiatan di daerah aliran sungai.
b.      Keterpaduan dalam program pelaksanaan, yang meliputi keterpaduan penyusunan program-program kegiatan di daerah aliran sungai, termasuk memadukan waktu pelaksanaan, lokasi dan pendanaan serta mekanismenya.
c.       Keterpaduan program-program kegiatan pemerintah pusat dan daerah yang berkaitan dengan daerah aliran sungai, sejalan dengan adanya perundangan otonomi daerah.
d.      Keterpaduan dalam pengendalian pelaksanaan program kegiatan yang meliputi proses evaluasi dan monitoring.
e.       Keterpaduan dalam pengendalian dan penanggulangan erosi, banjir dan kekeringan.
2.      Hak dan kewajiban dalam pengelolaan DAS yang meliputi hak setiap orang untuk mengelola sumber daya air dengan memperhatikan kewajiban melindungi, menjaga dan memelihara kelestarian daerah aliran sungai.
3.      Pembagian kewenangan yang jelas antara daerah kabupaten/kota, daerah propinsi dengan pemerintah pusat dalam mengelola DAS secara terpadu.
4.      Badan pengelola daerah aliran sungai (aspek kelembagaan) dapat berupa badan usaha atau badan/instansi pemerintah. Badan-badan tersebut ditetapkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah sesuai dengan kewenangan yang berlaku.
5.      Kebijakan pemerintah ini selain mengatur tentang peran serta masyarakat dalam pengelolaan DAS terpadu, juga mengatur sanksi (hukuman) bagi masyarakat yang tidak mengindahkan peraturan pemerintah dalam pengelolaan DAS terpadu baik pada DAS lokal, regional maupun nasional.
Pengelolaan Terpadu DAS pada dasarnya merupakan pengelolaan partisipasi berbagai sektor/sub sektor yang berkepentigan dalam pemanfaatan sumberdaya alam pada suatu DAS, sehingga di antara mereka saling mempercayai, ada keterbukaan, mempunyai rasa tanggung jawab dan saling mempunyai ketergantungan (inter-dependency). Demikian pula dengan biaya kegiatan pengelolaan DAS, selayaknya tidak lagi seluruhnya dibebankan kepada pemerintah tetapi harus ditanggung oleh semua pihak           yang memanfaatkan dan semua yang berkepentingan dengan kelestariannya. Untuk dapat menjamin kelestarian DAS, pelaksanaan pengelolaan DAS komponen masukan utama terdiri atas curah hujan sedang komponen keluaran terdiri atas debit aliran dan muatan sedimen, termasuk unsur hara dan bahan pencemar di dalamnya. DAS yang terdiri atas komponenkomponen vegetasi, tanah, topografi, air/sungai, dan manusia berfungsi sebagai prosesor.
Berikut ini adalah kegiatan yang relevan dengan pengelolaan DAS untuk menjamin kelestarian serta adanya peran para pengelola yang terlibat.
1)      Pengelolaan Daerah Tangkapan Air (catchment area)
Sesuai dengan rencana makro, rencana kerja jangka menengah dan tahunan konservasi Daerah Tangkapan Air (DTA/catchment area), Dinas/instansi terkait dan masyarakat, sebagai pelaksana pengelolaan sumberdaya alam di DAS melaksanakan kegiatan pemanfaatan dan konservasi DTA. Bentuk kegiatan pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam di DTA diutamakan untuk meningkatkan produktivitas lahan dalam memenuhi kebutuhan barang dan jasa bagi masyarakat dan sekaligus memelihara kelestarian ekosistem DAS. Kegiatan tersebut dilakukan melalui tataguna lahan (pengaturan tataruang), penggunaan lahan sesui dengan peruntukannya (kesesuaian lahan, rehabilitasi hutan dan lahan yang telah rusak, penerapan teknik-teknik konservasi tanah, pembangunan struktur untuk pengendalian daya rusak air, erosi dan longsor. Dilakukan pula kegiatan monitoring kondisi daerah tangkapan air dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana pengelolaan DAS.
2)      Pengelolaan Sumberdaya Air
2.1 Manajemen Kuantitas Air (Penyediaan Air)
a. Pembangunan Sumberdaya Air
Menyiapkan rencana induk pengembangan sumberdaya air termasuk di dalamnya neraca air, yang melibatkan berbagai instansi terkait serta melaksanakan pembangunan prasarana pengairan (sesuai dengan penugasan yang diberikan) dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya air.
b. Prediksi Kekeringan
Melakukan pemantauan dan pengolahan data hidrologis, membuat prediksi kemungkinan terjadinya kekeringan (mungkin, menggunakan fasilitas telemetri dan bantuan simulasi komputer yang dihubungkan dengan basis data nasional dan internasional).
c. Penanggulangan Kekeringan
Secara aktif bersama Dinas/Instansi terkait dalam Satkorlak-PBA melakukan upaya penanggulangan pada saat terjadi kekeringan yang tidak dapat terelakkan.
d. Perijinan Penggunaan Air
Memberikan rekomendasi teknis atas penerbitan ijin penggunaan air dengan memperhatikan optimasi manfaat sumber daya yang tersedia.
e. Alokasi Air
Menyusun konsep pola operasi waduk/alokasi air untuk mendapatkan optimasi pengalokasian air.
f. Distribusi Air

Tidak ada komentar:

Posting Komentar