Senin, 16 Mei 2011

Kerjasama Internasional Lingkungan Hidup


1.      Apa target bagi Indonesia untuk mengatasi Pemanasan Global?
Pada KTT perubuhan iklim (Cop 15) di Kopenhagen, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26 persen. Untuk mewujudkan komitmen tersebut, pengendalian kerusakan hutan menjadi porsi utama yang harus dilakukan. Demikian dikatakan oleh Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Rahmat Witoelar dalam diskusi dengan SIEJ-AJI yang bertemakan Langkah Konkrit Penurunan Emisi di Jakarta,( Rabu, 30 Juni 2010 2:36 pm). Menurut Rahmat, hal yang paling penting dalam melaksanakan komitmen ini adalah dengan cara menjaga keutuhan hutan,. Sebab, hutan mempunyai fungsi yang sangat penting dalam penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Tercatat hutan mampu menurunkan emisi GRK Indonesia yakni sebesar 0,672 giga ton CO2e dari 26 persen target yang diajukan Indonesia. “Dalam hal ini harus ada pengendalian kebakaran hutan dan lahan, pengelolaan sistem jaringan dan tata air, rehabilitasi hutan dan lahan, HTI, HTR, pemeberantasan ilegal logging, pencegahan deforestasi, serta pemberdayaan masyarakat,” ucapnya. Selain itu, pengendalian limbah juga sangat diperlukan dalam hal ini seperti pembuangan TPA, pengelolaan sampah dengan sistim 3R dan pengelolaan air limbah terpadu perkotaan. “Pengendalian limbah ini akan bisa mengurangi emisi sebesar 0,048 giga ton,” ujarnya.
Sedangkan untuk sektor energi, menurut Rachmat bisa dilakukan dengan memanfaatkan penggunaan bio fuel, mesin dengan standar efisiensi BBM yang tinggi, dan pengembangan energi terbarukan. Dengan perbaikan dalam sektor energi tersebut bisa dicapai penurunan emisi sebesar 0,038 giga ton CO2e. Sementara itu, untuk pengembangan sektor industri seperti pembangunan generator dan mesin-mesin industri lainnya, menurut Rahmat, tidak banyak mempengaruhi pada kenaikan emisi gas rumah kaca hanya menyumbang kenaikan emisi sebesar 0,001 giga ton CO2e saja. Pada kesempatan yang sama, wakil dari The Nature Conservancy (TNC), Wahjudi Wardojo mengatakan, bahwa bicara perubahan iklim adalah bicara yang didasarkan atas ilmu. Selain itu, dalam penurunan emisi gas rumah kaca juga harus mempunyai baseline yang jelas. “Harus ada tahap-tahapannya seperti projek-projek, sub national, national,” jelasnya. Selain itu, pihaknya meyakini, bahwa hingga tahun 2020 nantinya, pemerintah Indonesia hanya bisa sampai pada tahap sub nasional saja. “Artinya penurunan emisi gas rumaha kaca di Indonesia pada tahun 2020 nantinya baru sebatas sub nasional, belum dalam skala nasional,” ujarnya.
Sejauh ini data dari DNPI mengungkapkan kalau target 26 persen penurunan emisi GRK di Indonesia berjumlah total 0,767 giga ton CO2e. Dari total target tersebut, penurunan 0,672 gigaton akan dicapai melalui program kehutanan dan lahan gambut. Pada sektor pengolahan limbah hasil pengurangan emisi diharapkan mencapai nilai 0,048 giga ton CO2e. Semetnara pertanian diharapkan mampu menurunkan emisi GRK Indonesia mencapai 0,008 gigaton CO2e. Industri menurunkan 0,001 gigaton, serta energi dan transportasi mampu menurunkan emisi GRK hingga 0,038 gigaton CO2e. (teddy setiawan)

Pemerintah menargetkan dapat menurunkan emisi karbon sebanyak 26% pada 2020 dari tingkat emisi karbon tahun 2005. "Indonesia akan melakukan penurunan emisi dan sudah jadi keputusan pemerintah untuk menurunkan emisi karbon sebanyak 26%," kata Menteri Negara Lingkungan Hidup (MenLH) Rachmat Witoelar di kantor KLH di Jakarta.  Untuk menurunkan tingkat emisi 26% tersebut, pemerintah akan melakukan strategi pembangunan rendah karbon yang diimplementasikan pada RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah (RPJMN). "Indonesia yang bukan merupakan negara berkewajiban menurunkan emisi karbon, secara sukarela akan melaksanakan strategi pembangunan pertumbuhan rendah karbon," terang Rachmat.
Keputusan pemerintah tersebut telah dinyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada KTT G-20 di New York, Amerika Serikat. Dengan target penurunan 26% tingkat emisi tersebut, Rachmat mengatakan Indonesia menjadi negara berkembang satu-satunya yang telah mendeklarasikan angka tingkat penurunan emisi karbon di antara negara-negara berkembang lainnya. "Indonesia mendeklarasikan target tersebut agar negara-negara berkembang lainnya melihat, Indonesia menjadi pemimpin secara sukarela dengan tingkat angkat yang telah ditentukan," ujar Rachmat. Sedangkan Deputi III Bidang Peningkatan Konservasi SDA dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan KLH, Masnellyarti Hilman menjelaskan angka 26% penurunan emisi karbon berasal dari perhitungan penurunan tingkat emisi dari penggunaan energi campuran (mixed energy) termasuk energi terbarukan dan energi panas bumi (geothermal), alih fungsi hutan (LULUCF/Land Use, Land Use Change and Forestry) dan manajemen penggunaan lahan gambut.

Masnellyarti menjelaskan penggunaan energi campuran dan energi terbarukan pada 2025 akan menurunkan emisi karbon sebanyak 17% pada 2025. Sedangkan penggunaan energi panas bumi akan menurunkan emisi karbon sebanyak 20% pada 2025. Dan alih fungsi hutan (LULUCF) yang menyumbang 54% total tingkat emisi karbon, akan dapat menurunkan tingkat emisi karbon sebanyak 75%. Masnellyarti mengatakan pemerintah kemudian menetapkan target angka penurunan emisi karbon pada 2020 yang merupakan angka moderat yaitu 26%. Sebelumnya, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) menyatakan emisi Indonesia pada tahun 2005, diperkirakan berada pada 2,3 miliar ton karbondioksida dan merupakan salah satu yang terbesar di dunia. DNPI menyatakan emisi Indonesia diperkirakan akan tumbuh 2% per tahun, dan akan mencapai 2,8 miliar ton CO2 ekuivalen pada tahun 2020 dan 3,6 miliar ton CO2 ekuivalen pada tahun 2030. Sumber utama dari kenaikan emisi tersebut berasal dari pembangkit listrik, transportasi dan lahan gambut. Indonesia memiliki potensi untuk mengurangi emisi hingga 2.3 miliar ton CO2 ekuivalen pada tahun 2030 dengan melaksanakan lebih dari 150 peluang pengurangan di seluruh sektor utama yang menghasilkan emisi. DNPI menyatakan ada enam sektor yang dapat mengurangi emisi karbon di Indonesia yaitu Kehutanan, pertanian, pembangkit listrik, transportasi, bangunan dan semen bersama-sama dengan emisi yang berhubungan dengan lahan gambut mayoritas berkontribusi untuk emisi Indonesia pada tahun 2005. (kpl/cax)

Pada pertemuan COP 15 (Conference of the parties), Desember 2009, di Kopenhagen, Denmark, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, menyampaikan  kepada dunia kesediaan Indonesia untuk mengurangi emisi karbon 26% secara bertahap hingga tahun 2020 dengan pengunaan dana dalam Negeri. Lebih jauh lagi, Indonesia menawarkan penurunan emisi hingga 41 persen kalau ada bantuan memadai dari dunia internasional untuk penurunan emisi tersebut. Rencana pencapaian komitmen redusksi tersebut akan melalui:
Ø  Sektor kehutanan: dengan pemberantasan illegal logging, pencegahan deforestasi dan pemberdayaan masyarakat
Ø  Lahan Gambut: dengan pengendalian kebakaran hutan dan lahan
Ø  Limbah dengan pengelolaan limbah terpadu di perkotaan
Ø  Pertanian : dengan introduksi padi rendah emisi, efisiensi air irigasi,dan penggunaan pupuk organik.
Ø  Transportasi : dengan penggunaan biofuel, mesin dengan standar efisiensi BBM lebih tinggi, memperbaiki TDM dan kualitas transportasi umum
Ø  Energi : dengan efisiensi Energi, pengembangan renewable energi.
Di samping itu Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup telah menetapkan persentase target reduksi emisi tersebut,  yaitu : reduksi emisi dari sektor kehutanan 0,392 gigaton (51 persen), rehabilitasi gambut 0,28 gigaton (36 persen), pengelolaan sampah 6,3 persen, energi 4 persen, transportasi 1 persen, pertanian 1 persen, dan industri proses 0,1 persen. Dengan kata lain komintem Indonesia  untuk mereduksikan 26% emisi karbon akan didominasi program di sektor kehutanan dan rehabilitasi lahan gambut.
Kemudian sebagai  negara berkembang yang ikut meratifikasi Protokol Kyoto Indonesia dapat terlibat dalam proyek kerjasama CDM. CDM merupakan sebuah mekanisme yang memungkinkan adanya kerjasama antara Negara maju dan negara berkembang dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Indonesia bisa mengunakan CDM untuk memenuhi komitmenya untuk mereduksikan  emisi GHGs 26% sampai 2020 secara membatu membiayai proyek.
Sejak tahun 2005 Indonesia telah membentuk Komisi Nasional Pembangunan bersih, yang berfungsi untuk memberikan persetujuan kepada proyek-proyek pengurangan emisi karbon yang akan didanai oleh negara maju, itu karena proyek CDM harus meminta persetujuan dari negara berkembang. Negara berkembang yang akan memberikan penilaian apakah proyek tersebut mendukung pembangunan berkelanjutan di negaranya atau tidak. Indonesia mempunyai potensi CDM besar, dan banyak manfaat yang Indonesia bisa diperoleh dari mechanism ini, CDM merupakan peluang menarima dana luar negeri untuk mendukung program-program ramah lingkungan dan mendukung pembangunan berkelanjutan, penciptaan kerja baru dengan adanya investasi. Di Indonesia CDM dapat diarahkan di bidang kehutanan untuk mendukung : Pembangunan hutan tanaman pada lahan hutan yang rusak,  Rehabilitasi areal bekas kebakaran, rehabilitasi hutan mangrove dan hutan gambut, Agroforestry, Penerapan Reduced Impact Logging, Peningkatan permudaan alam, Perlindungan terhadap forest reserve yang rawan perambahan, Perlindungan terhadap hutan yang rawan kebakaran dan perambahan.                                                                                                              
Di samping itu di bidang energy, energi angin dan biodiesel mempunyai potensi besar bagi Indonesia dalam hal mendapatkan proyek-proyek CDM. Kegiatan di sektor energi khususnya konservasi energi dan energi terbarukan paling diminati oleh investor luar negeri dalam mengembangkan proyek-proyek yang berskema CDM di Indonesia, misalnya:
Ø  Kerjasama antara Pemerintah Indonesia bersama pemerintah Denmark di bidang efisiensi energi dan energi ramah lingkungan, kerja sama yang akan berlangsung hingga tahun 2013, terbuka secara bussines to bussines antara perusahan industri di Indonesia dengan perusahaan jasa dari Denmark, untuk memberikan hasil penghematan energi dan penggunaan energi yang ramah lingkungan di Indonesia
Ø  Kerjasama antara Belanda dan Indonesia: Belanda telah mengalokasikan bantuan dana sebesar EUR 50 juta, sekitar Rp700 miliar sebagai bentuk kerjasama dengan Indonesia dalam mengembangkan energi terbarukan. Bantuan tersebut akan digunakan untuk peningkatan kapasitas dan perencanaan energi, investasi pembangkit tenaga listrik mikro hidro di daerah, serta pengembangan energi panas bumi dan energi biogas.
Pada saat ini Indonesia, di belakang Cina dan India, mempunyai 6% jumlah proyek CDM, jenis proyek yang paling berhasil adalah biomassa dan gas lahan TPA, dan proyek lain yang memiliki manfaat juga untuk Indonesia termasuk panas bumi, pasang surut dan  CBM sebagai pengganti batubara. Dengan kata lain CDM adalah kesempatan untuk Indonesia, dan Indonesia bisa menjadi aktor utama CDM di samping Cina dan India kalau potensinya terus dioptimalkan. Selain itu CDM akan membawa manfaat tidak langsung seperti transfer teknologi, peningkatan kualitas lingkungan, serta peningkatan daya saing bagi Indonesia.
Di samping itu, mengikuti kesepakatan Bali Road Map, tetang pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, peran konservasi, pengelolaan hutan lestari dll, dan dalam konteks perubahan iklim, semua kegiatan kehutanan Indonesia, pada dasarnya jatuh di bawah kategori REDD-plus(atau Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi). REDD-plus dibangun dari unsur-unsur yang ada di REDD serta meliputi konservasi, pengelolaan hutan lestari dan peningkatan cadangan karbon hutan. Program itu adalah  mekanisme insentif untuk mengatasi deforestasi dan melakukan penanaman kembali hutan serta mendorong pengelolaan hutan tersisa secara berkelanjutan dengan sumber pendanaan dari negara maju.
REDD-plus baru disetujui pada pertemuan di Copenhaag tahun 2009 dan diatur dalam Copenhagen Accord. Atas dasar ini Indonesia telah mengembangkan REDD Road Map dan Indonesia saat ini sedang dalam tahap Readiness, dan masih berfokus pada mempersiapkan REDDI Infrastruktur untuk implementasi penuh untuk pasar setelah 2012 di mana pasar lebih penuh diharapkan muncul. Indonesia telah menyusun Strategi REDD untuk Fase Readiness 2009-2012. Strategi yang mengintegrasikan semua aksi terkait REDD-plus termasuk kegiatan yang didanai dari sumber luar negeri.
Infrastruktur Reddi meliputi: intervensi kebijakan untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan, termasuk peran konservasi, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan peningkatan cadangan karbon hutan, aspek metodologis dan kelembagaan, serta kegiatan demonstrasi. Untuk itu Indonesia telah bergabung dengan Bank Dunia Forest Carbon Partnership Facility, dan menjadi negara berkembang terbesar untuk diterapkan ke sebuah program yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan menyelamatkan hutan tropis. Program ini mendukung REDD. Negara–negara tropis melalui REDD akan menerima dana untuk melindungi dan merehabilitasi hutan rusak. REDD  adalah kesempatan untuk Indonesia untuk menerima dana dari Negara maju untuk melindungi hutannya. Walaupun masih terdapat beberapa negara maju yang belum sepakat dengan membiyai Redd Indonesia telah menerima dukungan dari berbagai negara dan Indonesia sudah memiliki lebih dari 20 proyek REDD dalam pembangunan dan masih  di dalam tahap uji , dan sebagian besar berada di Kalimantan, Papua, Sumatra dll.
Misalnya:
Ø  Heart of Borneo:  dikelola oleh WWF, dan melindungi hutan lebih dari dua puluh dua juta ha, yang meliputi tiga Negara, yaitu Brunei, Malaysia dan Indonesia.
Ø  Kerja sama antara Pemerintah Indonesia-Jerman di Kalimantan Timur: Kerjasama ini merupakan bagian dari Forest and Climate Change Programme.
Ø  Sejak tahun 2007 diantara Jerman dan Indonesia dalam rangka lingkungan hidup, telah disediakan oleh pihak Jerman anggaran sejumlah 27 juta Euro untuk sebuah proyek di Indonesia yang bertujuan mengurangi kerusakaan lingkungan yang dikarenakan emisi di bidang kehutanan.
Ø  Kerjasama Indonesia dan International Tropical Timber Organization (ITTO) di taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur,yang berlangsung sejak tahun 2009 sampai 2012. Kerjasama ini merupakan kerjasama konservasi hutan tropis untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, serta peningkatan stok karbon.
Ø  Kerjasama Pemerintah Indonesia-Australia di Kalimantan Tengah yang merupakan bagian dari Kalimantan Forest Carbon Partnership, dengan target penurunan emisi gas rumah kaca dari hutan rawa gambt seluas 130.000ha dan lahan gambut rusak lainya, melaui praktek pengelolaan hutan, pencegahan kebakaran dan rehabilitasi sistem hidrologi lahan gambut. Proyek ini juga ditujukan untuk uji coba metodologi pengukuran pas rumah kaca di lahan gambut.
Untuk menyempulkan Indonesia hanya bertuntug dari kerjasama International di bidang lingkungan hidup. Dengan CDM Indonesia menduduki tingkat ke 7 dalam  CDM country rating. CDM telah dan akan membantu Indonesia untuk memperoleh dana untuk proyek-proyek ramah lingkungan dan transfer teknologi. Di samping itu, oleh karena Indonesia adalah negara hutan, lebih mudah untuk Indonesia mendapatkan dana dari negara maju dalam program REDD. Pemerintah Indonesia juga sudah lakukan banyak untuk meyesuaikan diri dengan aturan Kerjasama Internasional , misalnya sepanjang 2008-2009: pedirian Dewan Nasional Perubahan Iklim(DNPI), pembuatan Undang-undang baru UU perlindungan dan pengelolaan LH no. 32/2009, pendirian Indonesian Climate Change Trust Fund, pembuatan Indonesian Sectoral Road Map to climate change, pembukakaan diri untuk berbagai studi Efek Rumah Kaca (ERK), dll. Di mata dunia, Pemerintah Indonesia berusaha serius. Indonesia telah mengarus-utamakan isu perubahan iklim dan komitmen penurunan emisi ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014, mengakses dana-dana ”Climate finance” yang ditawarkan berbagai lembaga keuangan untuk mendorong transisi menuju ERK. Menggunakan proses penyusunan program pelaksanaan komitmen 26% penurunan emisi dan climate change Policy Loan untuk konsolidasi dan rasionalisasi kebijakan sektoral. Namun secara implisit bahwa upaya pengurangan emisi di Indonesia hanya dimungkinkan dari pengurangan ambisi menjadi pemilik perkebunan kelapa sawit terbesar dunia dan penghentian penggundulan hutan.

2.      Kenyataan yang terjadi di Indonesia?
Upaya pengendalian perubahan iklim dan pemanasan global dengan one man one tree. Departemen Kehutanan melakukan berbagai upaya untuk ikut serta mengendalikan perubahan iklim dan pemanasan global dengan menurunkan emisi 26 persen. Upaya yang melibatkan seluruh komponen bangsa ini pada prinsipnya adalah dengan memperbanyak pohon dan tanam-tanaman sehingga memperbanyak penyerapan unsur-unsur gas-gas berbahaya, serta melestarikan hutan yang ada. Upaya keras Departemen Kehutanan melakukan penanaman pohon secara besar-besaran dan mempertahankan keutuhan ekosistem hutan antara lain dengan :
  1. Program HTI, sampai tahun 2009 telah tertanam pohon pada kawasan seluas 4,2 juta ha dari target 5 juta ha.

  2. Program Gerhan sampai tahun 2009 telah tertanam pohon pada kawasan seluas 3,7 juta ha dari target 5 juta ha.

  3. Program Perluasan dan Intensifikasi Hutan Rakyat sampai tahun 2009 telah tertanam 1,7 juta ha dari target 2 juta ha.

  4. Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat sampai tahun 2015 dengan target 5,4 juta ha.

  5. Hutan Desa sampai dengan tahun 2015 dengan target 2,1 juta ha,

  6. Hutan Kemasyarakatan sampai dengan tahun 2015 dengan target 2,1 juta ha.

Selain program tersebut, Departemen Kehutanan juga telah berupaya menurunkan laju deforestasi dan degradasi hutan dan lahan dari 2,83 juta ha/tahun pada tahun 1999-2000 menjadi 1,08 juta ha/tahun pada tahun 2000-2006, menurunkan lahan yang terdegradasi atau kritis dari 59,3 juta ha sebelum tahun 2005 menjadi 30 juta ha setelah tahun 2005. Menurunkan tingkat pencurian kayu dan perdagangan kayu illegal dari 9600 kasus pada akhir tahun 2004 menjadi 300 kasus pada akhir tahun 2008, serta mengendalikan tingkat kebakaran lahan dan hutan dengan menurunkan jumlah hotspot dari 121.622 titik pada tahun 2006, 27.247 titik tahun 2007 dan hingga 11 Nopember 2008 terpantau 17.020 titik. Dibandingan tahun 2006 di propinsi rawan kebakaran, pada tahun 2007 terjadi penurunan hotspot sebesar 78% dan pada tahun 2008 terjadi penurunan hotspot sebesar 86%. Langkah selanjutnya, Departemen Kehutanan mengajak seluruh komponen bangsa melakukan kegiatan penanaman serentak secara nasional yang telah dimulai sejak tahun 2007 dengan target sebanyak 79 juta pohon, dan tahun 2008 dengan target sebanyak 100 juta pohon. Realisasinya, target-target tersebut ternyata terlampaui. Pohon yang berhasil ditanam melebihi target yang dicanangkan. Penanaman serentak secara nasional tahun 2007 terealisasi 86,9 juta pohon. Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon tahun 2007 sebanyak 10 juta batang, terealisasi 14,1 juta batang. Gerakan Penanaman Serentak 100 juta pohon tahun 2008 telah terealisasi sebanyak 109 juta batang (lebih dari 100%). Gerakan Perempuan Tanam dan Program Ketahanan Pangan (GPT-PKP) juga terealisasi lebih dari 100% yaitu sebesar 5.083.467 batang dari rencana 5.010.000 batang. Demikian juga kerjasama kemitraan dengan berbagai ormas keagamaan dalam penanaman pohon, telah menanam 700 juta batang pohon. Indonesia memiliki peran yang penting dalam isu perubahan iklim global dengan menyediakan jasa lingkungan berupa penyerapan emisi karbon dari hutan yang ada. Hutan Indonesia yang luasnya 120,3 juta ha diyakini mampu menyerap emisi secara signifikan. Namun demikian terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia juga dianggap sebagai sumber emisi karbon karena melepas CO2 ke atmosfer. Pada kondisi hutan yang baik, keberadaan hutan bermanfaat sebagai penyimpan dan penyerap emisi karbon atau Gas Rumah Kaca (GRK). Namun, pada kondisi hutan yang kurang baik, dianggap sebagai sumber emisi karbon karena melepas CO2 ke atmosfer. Menurut Stern Report, deforestasi menyumbang 18% dari emisi GRK total dunia, dan 75%-nya berasal dari negara berkembang.

3.      Sumbang saran untuk Indonesia untuk mengatasi pemanasan global?
Sektor sumber air untuk kelangsungan pemenuhan air: pendataan air tanah untuk air minum-irigasi yang akan terpengaruh oleh permukaan air laut atau polusi berikut upaya mengatasinya; restorasi dan peningkatan fungsi DAS hingga hilir, rehabilitasi jaringan hidrologis dan manajemen air, waduk, kolam di DAS untuk menyimpan air musim hujan dan persediaan musim kemarau; efektifitas akses informasi iklim dan cuaca untuk pengelolaan air di waduk untuk mengurangi resiko banjir dan kekeringan; mengembangkan untuk purifikasi air laut sebagai air minum; pengelolaan lahan gambut yang mampu mempertahankan ketersediaan air tanah, ..
Sektor Pertanian untuk kelangsungan pemenuhan pangan:
  1. Pengelolaan data iklim dan informasi spasial untuk memantau dan mengembangkan early warning system kekeringan, bisnis pertanian,

  2. Pengelolaan sistem pertanian untuk mengurangi tinggi genangan air di sawah, peningkatan efisiensi air irigasi, konservasi dan fungsi ekosistem pertanian (pertanian organik dan agroforestri),

  3. Pengelolaan infrastruktur irigasi dilakukan dengan rehablitasi, restorasi dan penyempurnaan jaringan irigasi untuk orientasi efisiensi

  4. Peningkatan kapasitas institusi menghadapi perubahan iklim, bencana serangan hama dan efisiensi penggunaan air dengan pemberdayaan kelompok petani dan kejelasan kebijakan/peraturan terkait sistem produksi berkelanjutan,

  5. Sosialisasi dan advokasi tentang sistem informasi, kebijakan dan dampak perubahan iklim, kebijakan baru pemerintah pusat maupun daerah dalam musim tanam, menghadapi banjir dan kekeringan, menghindari perusakan hutan, ekosistem pertanian dan kebakaran,

  6. Diversifikasi pangan dari sistem pertanian ramah lingkungan

Sektor Pantai, Kelautan dan Perikanan : Dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, penambak ikan dan masyarakat pesisir
  1. Mendata pantai dan infrastruktur (termasuk rumah nelayan) yang rawan terkena peningkatan permukaan air laut karena100-130m adalah daerah yang dilindungi,

  2. Menanam mangrove dan rehabilitasi pantai yang melibatkan nelayan sehingga terbentuk sustainable silvofishery,

  3. Pengelolaan pantai secara terintegrasi dengan daerah tangkapan air yang melibatkan Pemda terkait,

  4. Peningkatan bimbingan dan kesadaran nelayan dan masyarakat pesisir tentang early warning system perubahan iklim dan kondisi laut, perahu nelayan yang siap menghadapi perubahan cuaca,

  5. Penelitian dampak perubahan iklim pada peningkatan kapasitas serap CO2 plankton, karang dan rumput laut, budidaya ikan dan pemuliaan ikan tahan terhadap perubahan iklim,

  6. Peningkatan kapasitas menghadapi bencana, pengembangan sistem informasi spasial dalam pengolaan pantai, laut dan pulau kecil.

Sektor Infrastruktur disesuaikan dengan tuntutan perubahan iklim yang ekstrim. menentukan standar infrastruktur (jalan, bangunan, waduk, pelabuhan, bandara dst.) menghadapi hujan lebat, angin kencang, gempa, standar irigasi dan ditribusi air yang tersimpan di waduk.
Sektor Kesehatan : Untuk mencapai Indonesia sehat 2010 dan ada ancaman malaria, dengue, diare, kolera dan berbagai vektor penyakit.
  1. Panduan kesehatan masyarakat sebagai usaha preventif dengan memperbaiki sanitasi,

  2. Meneliti penyakit yang terpengaruh oleh cuaca dan iklim dengan     sumber biodiversitas lokal, pemantauan kondisi kesehatan,

  3. Sistem kesiapan tim kesehatan menghadapi kondisi darurat,

  4. Mengembangkan sistem informasi untuk memberikan pendidikan    kesehatan masyarakat dan early warning system kejadian ekstrem.

Sektor Kehutanan dan Biodiversitas.
  1.  Mengelola biodiversitas, memberdayakan sumber, teknologi dan    kearifan lokal,

  2.  Pendataan biodiversitas Indonesia sehingga genetic bank untuk      spesies Tumbuhan/hewan dapat terjaga dan termanfaatkan untuk        keuntungan bangsa.

  3.  Meningkatkan konservasi dan rehabilitasi biodiversitas,

  4.  Menguatkan kebijakan pemerintah dan kemampuan menyelesaikan konflik.

Lintas Sektor.
  1.  Menyediakan data dan informasi  untuk memprediksi cuaca, serta melengkapi daerah rawan bencana dengan  peta, informasi, early warning system,

  2.  SOP jika sewaktu-waktu ada bencana akibat perubahan iklim

Harmonisasi dan revisi peraturan/kebijakan
  1. Integrasi sistem informasi terkait program mitigasi dan adaptasi ke pengambil kebijakan di daerah dan ada mekanisme reward/penalty, pendidikan

  2. Integration of social accounting model untuk memperbaiki peramalan dan pengamatan model perubahan sosial-ekonomi dan perubahan moneter,

  3. Adanya mekanisme dan kantor clearing untuk mengatur pembayaran ganti rugi akibat bencana alam,

  4. Partisipasi aktif dan kreativitas masyarakat pada program pemerintah, pendidikan pelestarian lingkungan hidup dalam kurikulum nasional, mengharuskan perusahaan untuk tidak melakukan pencemaran

Teknologi. Transfer teknologi masih diperlukan untuk meningkatkan kapasitas dan efektivitas pengendalian upaya perubahan iklim, terutama untuk pembangkit energi, transportasi, pemantau dan pengendali kebakaran hutan, pendataan dan peramalan cuaca.
Saran lain:
a.       Unplug peralatan elektronik jika tidak digunakan.
b.       Buat komputer pada posisi Sleep and Hibernate.
c.        Gunakan peralatan rumah tangga dan kantor hemat energi
d.       Matikan lampu, AC  saat meninggalkan ruang
e.        Gunakan mobil hemat energi: 20 mil/gallon mengemisikan 50 ton   CO2 (selama lifetime)
f.        Drive smart. Mesin di tuned up  dan tekanan angin ban dijaga.  Dapat meningkatkan efisiensi penggunaan bahan bakar
g.       Drive less. Jika mungkin pilih : public transit, biking, walking, carpooling.
h.       Ganti lampu bulbs dengan  compact fluorescent bulbs.
i.         Beli barang dengan clean energy certificates: "wind certificates" or "green tags"
j.         Tanam pohon
k.      Kondisi TV standby mengeluarkan energi 10%
PENUTUP
Dengan pendekatan interdislipiner, umat manusia dituntut:
Ø  lebih arif menggunakan sumber daya,
Ø  mendorong penelitian dan inovasi IPTEK,
Ø  merehabilitasi ekosistem yang terdegradasi,
Ø  bersemangat melestarikan biodiversitas dan
Ø  tetap optimis mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ada.
Ø  Kelestarian umat manusia di biosfer tergantung pada upaya manusia mengendalikan manipulasinya yang mengganggu integritas ekosistem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar