Jumat, 04 November 2011

Struktur Geologi Wonogiri

STRUKTUR GEOLOGI WONOGIRI
A.  Gambaran Umum
Kabupaten Wonogiri merupakan salah satu kabupaten di bagian Selatan Jawa Tengah, yang menempati daerah perbukitan yang cukup luas, tersusun sebagian besar oleh batugamping, batugamping pasiran dan sebagian lagi oleh produk gunungapi. Perkembangan perkotaan umumnya menempati daerah-daerah lembah atau dataran di kaki perbukitan, seperti terlihat di sekitar waduk Gajah Mungkur mulanya sebagai dataran limpah banjir dan lembah antar bukit (http://www.dgtl.esdm.go.id/).


Sebagian Kabupaten Wonogiri termasuk lajur Pegunungan Selatan yang membujur Barat - Timur di sebelah Selatan dan sebagian lagi di bagian Tengah, selain itu di jumpai dataran rendah yang di kenal dengan Lajur Solo. Di antara pegunungan Selatan dan Lajur Solo yaitu di sekitar Wonogiri, terdapat pegunungan hasil penyesaran bongkah, yakni pegunungan Plopoh dan Pegunungan Kambengan. Berdasarkan peta geologi lembar Surakarta (Surono. dkk,1992), Ponorogo, Sampurno dan Samodra H, 1997), dan Pacitan (Samodra H, dkk, 1992), skala 1 : 100.000, batuan yang bersingkap antara lain endapan sendimen Tersier dan gunungapi, batuan trobosan dan batuan malihan, berumur Kapuir Atas hingga Plistosen; dan endapan aluvial yang di bentuk pada Holosen sampai sekarang (http://www.dgtl.esdm.go.id/).

B.   Struktur Geologi Kabupaten Wonogiri
Struktur geologi yang dijumpai umumnya sesar (patahan) yang mempunyai arah umum Baratdaya – Timur laut dan sebagian Baratlaut – Tenggara, dan setempat yaitu di sekitar Baturetno dijumpai sayap-sayap antiklin atau sinklin. Secara umum struktur yang terbentuk di Kabupaten Wonogiri secara langsung di pengaruhi oleh tektonik dan sejarah geologi yang terjadi di P. Jawa.
Di tepi jalan di sebelah barat Waduk Gajah Mungkur banyak dijumpai singkapan seperti  di jembatan kecamatan Purwantoro yang memperlihatkan sedimentasi endapan vulkanik (pyroclastys). Salah satunya singkapan tersebut adalah struktur diapir. Di bawah singkapan tersebut terdapat satu lapisan tuff berbutir kasar yang terendapkan di dasar laut sebagai lapisan lapili. Di atas lapisan lapili ini suatu lapisan debu vulkanik diendapkan dan semua ini tertutup oleh satu lapisan lapili lagi. Berat jenis dari lapisan lapili lebih besar daripada debu vulkanik, sehingga ada situasi yang tidak stabil, sehingga lapisan lapili akan menekan lapisan debu ke bawah. Di samping perbedaan berat jenis masing-masing lapisan, ada satu sifat lain yang berbeda, yaitu sifat plastis. Debu yang basah dengan porositas tinggi akan berubah bentuk dengan mudah. Keadaan ini terjadi pada lapisan endapan vulkanik tersebut. Lapisan debu akan berubah enjadi cairan kental yang akan mengalir secara plastis. Aliran plastis tersebut dibantu oleh tekanan dari atas. Akhirnya terjadi pembengkakan yang dibentuknya seperti jamur, atau membentuk struktur diapir. Jika aliran plastis itu tertekan terus-menerus, maka lapisan lapili yang ada diatasnya dapat tertembus aliran debu vulkanis.
Selain diapir dan penembusan lapisan atas, load casts dapat dilthat juga. Load casts pada ingkapan mi adalah bahan lapili dan lapisan atas yang turun sebagai bola dalam bahan debu, hanya oleh karena perbedaan jenis beratnya. Struktur sedimen mi sering ditemui bila ada lapisan pasir diendapkan di atas lapisan lempung atau lanau yang lembek, dan mudah berubah bentuknya.
Fenomena yang menarik pada singkapan mi adalah pembentukan diapir yang tidak hanya dapat terjadi path skala kecil, bahkan juga pada skala besar yang ratusan kilometer. Diapir kecil biasanya muncul pada lapisan lempung, sedangkan diapir besar muncul jika batu garam evaporit terkubur di bawah sedimen biasa. Di. Jawa, struktur diapir atau sejenisnya dapat ditemukan di kaki gunungapi. Gunungapi ml terletak di atas sedimen Tersier yang relatif plastis. Karena gaya berat gunungapi itu sendiri menyebabkan tekanan yang besar pada lapisan sedimen Tersier tersebut, sehingga terjadi struktur diapir.
Di sebelah barat Waduk Wonogiri (Cakaran), di sepanjang jalan raya, banyak batuan vulkanik tersingkap yang berumur Miosen Bawah. Di lokasi Cakaran kita dapat menemui lapili dengan warna terang; warna abu-abu sampai putih. Ini adalah light coloured acid tuffs and ash dan kadang-kadang juga pumiceous ash yang terutama terdiri atas mineral feldspar dan kuarsa. Di Cakaran dan banyak tempat lain, lapili dan debu vulkanik sudah mengeras sampai tuff, sehingga batuan ini dapat digergaji dan dijual untuk bangunan. Tuff ini dihasilkan selama erupsi yang dinamakan “Peleean” yang berbeda dan erupsi biasa, karena debu dan lapili, panas maupun dingin, terlempar ke luar dari kawah. Erupsi ‘Peleean’ disertai oleh gas vulkanik yang sangat panas dan turbulent. Dalam literatur peristiwa ini sering disebut nuee ardente atau glowing cloud, yaitu debu dan lapili yang bersinar panas dalam awan gas yang turbulen dan panas. Awan ini dapat mencapai kecepatan yang mendekati 100 km/jam ketika turun dari kawah ke kaki gunungapi.
Suhu yang tinggi dan gerakan gas turbulen menyebabkan vegetasi di lereng gunungapi hancur total dan berubah menjadi arang. Pada tuff di Cakaran seringkali sisa arang dapat dilihat yang tampak tercampur dalam awan panas dengan debu dan lapili. Campuran ini menunjukkan betapa turbulen awan gasnya. Semacam erupsi hampir selalu terjadi pada gunungapi yang tertutup dengan lava yang sangat kental (viscous lava dome) seperti di Merapi. Di bawah lava yang kental dalam saluran utama ke bawah, tekanan gas akan naik sampal ada letusan besar atau tubuh gunungapi terbongkar, sehingga gas ini keluar.
Aktivitas ekonomi yang ada berupa pengambilan batu tuff vulkanik. Batu ini terdiri atas dua bentuk, yaitu untuk bahan bangunan dan untuk batu pagar. Dalam kegiatan pengambilan batu seorang tenaga kerja satu hari mendapat 2 batang batu pilar dengan harga Rp 1000,-/pilar, sedangkan bata bangunan setiap rit sekitar 4 atau 5 meter kubik dengan harga tidak menentu. Usaha pengambilan batu tuff mempunyai tujuan ganda, yaitu pertama untuk diambil batunya, kedua untuk meratakan sebagal persiapan lahan pekarangan atau rencana bangunan.
Penggunaan lahan di sebelah kanan jalan menuju Wonogiri berupa areal Waduk Wonogini, dan sebelah kiri jalan sebagái daerah pertanian dengan tanaman padi dan polowijo. Karena topografi kasar dan sumber air yang terbatas, maka produksi pertanian juga rendah.
Waduk Wonogiri terletak pada formasi batuan yang cukup stabil yang tersusun oleh breksi dan batu pasir. Fungsi waduk adalah untuk pengendali banjir, pengairan, pembangkit tenaga listrik, dan rekreasi. Tipe bendung pada Waduk Wonogiri adalah tipe urug.
Waduk ini kalau ditinjau dan fungsinya sebagai reservoir air kurang tepat karena sedimentasinya sangat cepat. Sedimentasi yang sangat cepat tersebut disebabkan oleh lahan kritis yang sangat luas di daerah hulunya. Sumber air waduk ini berasal dari 8 anak sungai, yaitu S.Keduang, S.Wiroko, S.Temon, Bengawan Solo Hulu, S.Alang, S.Ngrancah (S. Ngrowo), dan S.Wuryantoro. Tinggi muka air tertinggi adalah 127 m, muka air terendah 127 m; volume waduk: 750 x 106 m³ luas genangan 8.000 Ha.
Waduk Wonogiri merupakan waduk serbaguna yang juga sebagai daerah wisata alam air dengan kegiatan naik perahu dan memancing. Di tengah-tengah waduk ini terdapat jalur rute Panglima Besar Jendral Sudirman waktu melakukan gerilya, yang ditandai dengan tugu-tugü di tengah waduk.
Di sebelah utara Kota Wonogiri dijumpai Bengawan Solo yang mengalirkan airya pada suatu lembah yang lebar. Dan lembah ini ke arah selatan-barat gawir-gawir sesar (fault-scarps) dan zone selatan dapat dilihat. Lembah Bengawan Solo sudah tennasuk Zone Tengah Pulau Jawa. Dengan jelas tampak balok-balok sesar turun secara gravitasi-tektonik (gravity tectonics) melalui sesar turun dengan bidang yang melengkung (concave fault planes). Semua itu adalah reaksi terhadap pengangkatan Plato Wonosari pada kala Plestosen Tengah, yang berkaitan dengan pengangkatan-berkubah (updoming/uparching) Zone Tengah sebelum kegiatan vulkanik regional mulai. Balok-balok sesar yang turun melalui sesar-sesar sering mengalami rotasi terputar balik (backward rotation along curve slip faults).
Dalam lembah ini balok-balok dan zone selatan masih kelihatan sebagai pulau di tengah dataran aluvial. Bukit-bukit ini juga terjadi dari bahan vulkanik berumur Miosen Bawah. Geologinya kelihatan masuk tuff masam (acid tuffs) sampai ignimbrit dengan kristal besar. Tuff kristal ini juga menunjukkan pengendapan dalam keadaan panas. Ada suatu sifat yang menarik, yaitu tuff ini mengandung kalsium karbonat. Tetapi kalsium karbonat harus sekunder, sebab tuff yang masih panas bila jatuh dalam laut tidak akan membentuk kristal. Barangkali sumber kalsium karbonat adalah Formasi Wonosari yang secara stratigrafis terletak di atas tuff-tuff ini. Kalsium karbonat terdapat pula di dalam urat (veins) dan barik-barik (veinlets), mungkin ini sudah membuktikan, bahwa kalsiurn karbonat adalah sekunder. Di daerah ini terdapat suatu sisa intrusi diorit bukit ini diberi nama Gunung Tenong (Tim Fakultas Geografi UGM, 1996 : 96-101).

C.  Satuan Geologi Kabupaten Wonogiri
·      Satuan Geologi Lingkungan Dataran
Satuan ini merupakan dataran dengan kemiringan lereng < 5 % pada ketinggian antara 50 - 100 meter dpl, melampar cukup luas di bagian Tengah dan Utara daerah penyelidikan tersusun oleh lahar, lempung, tufa dan endapan aluvium. Satuan dataran ini dapat dipisahkan menjadi Dataran Limpah Banjir, Dataran Lembah gunung, dan Dataran kaki gunung. Dataran Lembah Waduk Gajah Mungkur pengembangan untuk kawan industri perlu penelitian lebih lanjut terutama buangan limbahnya yang akan mengalir ke arah waduk; Dataran Limpah Banjir K. Tirtomoyo ini dapat dikembangkan untuk lahan tegalan, pesawahan, dan setempat pemukiman; Dataran Limpah Banjir Hulu Bengawan Solo dapat dikembangkan untuk lahan tegalan, pesawahan, dan setempat pemukiman; Dataran Giriselo yang cukup luas ini merupakan modal dalam pengembangan wilayah untuk pelbagai peruntukan seperti kawasan pemukiman, pesawahan, dan industri.

·      Satuan Geologi Lingkungan Perbukitan Berlereng Landai
Satuan ini merupakan daerah perbukitan rendah atau bergelombang rendah (undalating) dengan kemiringan lereng 5 - 10 %, pada ketinggian antara 100 - 600 meter dpl, melampar hampir di sekeliling kaki Baratdaya - Selatan G. Lawu (Komplek G. Silamuk - G. Kukusan), tersusun oleh endapan batuan vulkanik, breksi, tufa, dan batupasir, dan batuan beku. Daerah ini adalah Perbukitan Landai Ngadirejo - Slogohimo - Purwantoro dapat dikembangkan sebagai lahan pemukiman, tegalan, dan pesawahan; Perbukitan Landai G. Tunggul dapat dikembangkan sebagai lahan pemukiman, tegalan, dan pesawahan; Perbukitan Landai G.Pertapan - G. Sindoro dapat dikembangkan sebagai lahan perkebunan, tegalan, dan setempat pemukiman.

·     Satuan Geologi Lingkungan Perbukitan Berlereng Agak Terjal
Satuan ini membentuk morfologi perbukitan agak terjal dengan kemiringan lereng 15 - 25 %, tersusun oleh batupasir, batulempung dan sebagian kecil batuan beku, breksi dan lahar. Satuan ini melampar secara setempat yang berbatasan dengan perbukitan landai dan perbukitan terjal, terutama di Purwantoro. Secara umum daerah ini dapat dikembangkan sebagai lahan perkebunan, tanaman keras tahunan, tegalan, dan setempat pemukiman, seperti Perbukitan Agak Terjal Bulukerto.

·         Satuan Geologi Lingkungan Perbukitan Berlereng Terjal
Satuan ini membentuk morfologi perbukitan terjal dengan kemiringan antara 25 - 40 % pada ketinggian antara 200 – 1.000 meter dpl, tersusun oleh batuan beku, breksi, tufa, dan konglomerat, satuan ini melampar luas di bagian Barat dan Tenggara, dan Utara Timurlaut, Peruntukan lahan sebagai kawasan hutan lindung, hutan, perkebunan tanaman keras cukup cocok mengingat kondisi morfologinya perbukitan terjal, sehingga tumbuhan penutup ini akan berfungsi mengurangi aliran permukaan, selain itu akan meresapkan aliran air permukaan tersebut ke dalam tanah yang pada akhirnya akan tersimpan sebagai cadangan ar tanah atau muncul sebagai mata air di kaki-kaki perbukitan. Daerah tersebut adalah Perbukitan terjal G. Kukusan, Perbukitan terjal G. Gude - G. Badud, Perbukitan terjal G. Kambengan - G. Kukusan - G. Runungan, Perbukitan terjal G. Songterus - G. Rohtawu - G. Kayulawang.

·     Satuan Geologi Lingkungan Berlereng Sangat Terjal
Satuan ini merupakan puncak Komplek G. Silamuk, G. Tejokaton, dan G. Kemukus, membentuk perbukitan berlereng sangat terjal dengan kemiringan > 40 %, melampar pada ketinggian > 1000 meter dpl, tersusun oleh breksi, lahar dan batuan beku jenis andesit & basalt. Produktifitas akuifer kecil setempat berarti, setempat airtanah dalam jumlah terbatas dapat diperoleh pada daerah lembah atau zona lapukan, muka airtanah > 10 meter, air jernih, setempat muncul mataair terutama pada lembah antar bukit debit < 5 liter/detik. Batu belah dari batuan beku, sirtu, dan tras cadangannya cukup berlimpah. Longsoran bahan rombakan dapat terjadi pada lereng-lereng atau tebing-tebing terjal, terutama pada musim-musim hujan. Peruntukan lahan satuan ini sangat cocok sebagai kawasan hutan lindung mengingat kondisi morfologinya berlereng sangat terjal, sehingga tumbuhan penutup akan berfungsi mengurangi aliran permukaan dan meresapkan aliran tersebut ke dalam tanah yang pada akhirnya akan tersimpan sebagai cadangan airtanah atau nantinya akan muncul sebagai mata air di kaki-kaki perbukitan.

·     Satuan Geologi Lingkungan Perbukitan Karst (Batugamping)
Satuan ini merupakan morfologi yang khas pada batugamping, batugamping pasiran, yang membentuk morfologi berelief kasar, dan kemiringan lereng curam. Batugamping adalah batuan yang mudah larut oleh air sehingga pada morfologi ini akan terbentuk fenomena alam yang khas antara lain gua-gua yang di dalamnya dapat dijumpai stalaktit atau stalakmit, guagua ini merupakan proses dari alur sungai di bawah tanah yang akhirnya muncul sebagai mataair di kaki atau lembah morfologi ini. Morfologi ini melampar cukup luas di bagian Selatan Kabupaten Wonogiri, dan sebagian di bagian Tengah yaitu di Perbukitan karts antaraPracimantoro - Giribelah - Paranggupito, Perbukitan karts Mayaran - Wuryantoro - Eromoko, dan Perbukitan karst Batuwarno.

D.  Dampak Struktur Geologi Terhadap Lingkungannya
Longsoran : Faktor penyebab terjadinya gerakan tanah antara lain kemiringan lereng, sifat fisik batuan, kedudukan batuan, kondisi keairan, penggunaan lahan, struktur geologi, kegempaan, dan aktivitas manusia, tdari beberapa faktor tersebut yang sangat berpengaruh adalah kemiringan lereng, sifat fisik batuan, kedudukan batuan dan kondisi ke airan. Tingginya curah hujan akan berpengaruh pula terhadap tingkat kejenuhan batuan/tanah, semakin jenuh maka batuan akan mudah bergerak. Runtuhan batu atau longsoran batu/tanah dalam skala kecil (< 25 meter2) secara setempat dapat terjadi, terutama di perbukitan dengan kemiringan 25 % - > 40 %, hal ini dapat diamati di ruas jalan yang memotong atau mengupas tebing bukit, misalnya ruas jalan Wonogiri – Wuryantoro, Tirtomoyo – Jatiroto, Batuwarno – Karangtengah. Selama pengamatan di lapangan tidak dijumpai adanya longsoran dalam skala besar, ataupun bekas longsoran.

Nendatan : Nendatan atau emblesan sering dijumpai pada ruas-ruas jalan, karena tanah atau batuan di tempat tersebut tidak kuat menahan beban berat atau daya dukung batuannya rendah. Tanah hasil pelapukan batuan induknya yang bersifat lunak, mudah mengembang jika mengandung air, jika mengalami tekanan karena beban berat akan ambles. Pada ruas jalan dengan kondisi batuan demikian mudah rusak, dengan kenampakan badan jalan ambles. Ruas jalan yang menumpu pada batuan lunak di Kabupaten Wonogiri antara lain jalur jalan antara Wuryantoro – Pracimantoro, Giritontro – Baturetno, Baturetno – Nguntoronadi, Nguntoronadi – Tirtomoyo, jalan tersebut menumpu pada lempung hitam lumpur, lanau dan pasir lepas, atau pada lapukan tuf.

Erosi Sungai : Erosi sungai atau kikisan tebing oleh arus sungai terlihat di sepanjang sungai besar, yang telah mengakibatkan berpindahnya alur sungai, proses perubahan alur sungai merupakan proses alam dalam pencapai keseimbangannya. Bengawan Solo salah satu contoh sungai sedang dalam proses keseimbangannya dengan bentuknya yang sudah dalam tahap dewasa yaitu membentuk meander (berkelok-kelok), dimana satu sisi mengalami erosi di sisi lain terjadi pengendapan. Sungai lain yang mengalami proses erosi adalah K. Tirtomoyo, dan K. Keduwan.

Pendangkalan Waduk Gajah Mungkur : Waduk Gajah Mungkur dikelilingi oleh perbukitan dengan anak-anak sungai yang cukup banyak, kondisi perbukitannya umumnya tandus, kering, kurang tutupan vegetasi, hal ini memudahkan terjadinya erosi permukaan. Pelapukan batuan berupa tanah, pasir, lanau, akan mudah terbawa aliran permukaan, dan akhirnya akan masuk ke dalam sungai. Proses selanjutnya material lepas tersebut akan terbawa sungai dan masuk ke dalam waduk, yang akhirnya mengendap di dasar waduk. Material kasar akan terendapkan di pinggir-pinggir waduk, sedang yang halus akan terbawa ke tengah. Sungai besar yang mengalir dan bermuara ke waduk antara lain K. Tirtomoyo, Bengawan Solo, K, Keduwan, K. Wuryantoro, dan K. Dungrahu.

Bahaya Letusan Gunungapi : Gunungapi yang letaknya dekat dengan Kabupaten Wonogiri adalah G. Lawu yaitu di terletak di bagian Timurlaut, salah satu kaki selatannya adalah Komplek G. Silamuk – G. Kukusan, tinggi puncak G. Lawu mencapai 3.265 m di atas muka laut. Dampak negatif adanya letusan gunungapi berasal dari bahaya primer dan bahaya sekunder yang dapat mengancam jiwa manusia, harta benda, dan dapat mengancam keselatan penerbangan. G. Lawu sudah lama tidak memperlihatkan kegiatannya, tetapi bukan berarti sudah tidak ada aktif. Gunungapi Lawu memang tidak memperlihatkan aktivitasnya, namun ternyata ditemukan bukti bahwa fosil manusia purba yang ditemukan di Sangiran di kaki Baratlaut G. Lawu terkubur oleh endapan batuan vulkanik (http://www.dgtl.esdm.go.id/).


DAFTAR PUSTAKA
Noor, D. 2006. Geologi Lingkungan (Ed. Pertama). Yogyakarta : Graha Ilmu
Tim Fakultas Geografi UGM. 1996. Pengenalan Bentanglahan (Parangtritis-Bali).
Yogyakarta : Yayasan Pembina Fakultas Geografi UGM
Diposkan oleh AdiT Tri W di 15:37:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar