Pemanasan global merupakan isu lingkungan hidup yang dapat menyebabkan perubahan iklim global. Perubahan iklim global terjadi secara perlahan dalam jangka waktu yang cukup panjang, antara 50–100 tahun. Walaupun terjadi secara perlahan, perubahan iklim memberikan dampak yang sangat besar pada kehidupan mahluk hidup. Dampak yang terjadi antara lain: mencairnya es di kutub, pergeseran musim, dan peningkatan permukaan air laut. Dampak tersebut memberikan pengaruh terhadap kelangsungan mahluk hidup.
Mencairnya es di kutub, terutama sekitar Greenland dapat meningkatkan volume air di laut yang menyebabkan terjadi penambahan tinggi permukaan laut di seluruh dunia. Pada abad ke-20 telah terjadi kenaikan permukaan air laut 20-25 cm. Apabila separuh es Greenland dan Antartika meleleh maka terjadi kenaikan permukaan air laut rata-rata setinggi 6-7 meter. Kenaikan permukaan air dapat menyebabkan terendamnya daratan yang merupakan habitat mahluk hidup.
Perubahan iklim global sebagai penyebab terjadinya penurunan biodiversitas masih bersifat kontroversial untuk saat ini. Kontroversial yang terjadi merupakan suatu pertanyaan apakah benar perubahan iklim merupakan penyebab utama penurunan biodiversitas?
Ada beberapa fakta yang disampaikan oleh Al Gore pada bukunya Earth in The Balance tentang pengaruh perubahan iklim terhadap biodiversitas antara lain:
1. Terjadinya perubahan iklim menyebabkan terjadinya perubahan iklim di hutan Amazon. Awan yang biasanya diatas hutan Amazon selalu Hitam menunjukan bahwa intensitas hujan sangat tinggi, akan tetapi sekarang intensitas hujan berkurang ditandai dengan awan yang berada diatas hutan Amazon menjadi terang. Hal tersebut menyebabkan terjadinya penurunan jumlah burung di hutan Amazon. Akan tetapi hubungan antara hilangnya beberapa spesies burung apakah ada berhubungan langsung dengan berkurangnya curah hujan masih dipertanyakan.
2. Naiknya suhu laut menyebabkan terjadinya kematian terumbu karang. Memang dibeberapa tempat terumbu karang mengalami kamatian, akan tetapi kematian terumbu karang lebih banyak disebabkan eksploitasi yang berlebihan oleh manusia seperti penggunaan bom ikan.
3. Terjadinya penurunan biodiversitas yang eksponensial sejak terjadinya revolusi industri dan berbanding lurus dengan pertambahan populasi manusia. Hal tersebut sangat erat sekali dengan eksploitasi seperti diburu atau habitatnya berubah untuk menjadi pemukiman dan pertanian, bukan karena perubahan iklim.
Fakta-fakta di atas merupakan beberapa contoh saja, mengenai pengaruh perubahan iklim terhadap biodiversitas yang masih kontroversial.
TEORI KEPUNAHAN MAHLUK HIDUP
Proses seleksi alam merupakan konsep yang dapat menjelaskan terjadinya proses kepunahan mahluk hidup. Mahluk hidup akan punah apabila tidak dapat beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya. Menurut Karl (1991); Lawrence (1991) ada tujuh faktor yang mempengaruhi sensitifitas mahluk hidup terhadap kepunahan yaitu:
1. Kelangkaan: Spesies disebut langka apabila hanya ditemukan pada area tertentu atau tersebar, tetapi dalam jumlah individu yang sedikit. Spesies langka tergantung pada faktor geografis, habitat khusus dan ukuran populasi.
2. Kemampuan migrasi: Spesies yang tidak mempunyai kemampuan migrasi mempunyai sensitifitas yang tinggi dibandingkan spesies yang bisa migrasi terhadap kepunahan. Spesies yang dapat migrasi dapat menghindari dari kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan.
3. Derajat spesialisasi: Spesies yang mempunyai derajat spesialisasi lebih tinggi sangat sensitif terhadap kepunahan dibandingkan dengan spesies yang mempunyai derajat lebih rendah. Contoh spesies yang mempunyai derajat spesialisasi tinggi adalah Beruang Panda. Hewan ini hanya memakan satu jenis daun bamboo, sehingga kalau terjadi kelangkaan bahan makanan ini dapat mempengaruhi kelestarian beruang panda.
4. Variabilitas populasi: Populasi spesies yang relatif stabil akan lebih adaptif dibandingkan spesies yang populasinya fluktuatif terhadap perubahan lingkungan.
5. Tingkatan trophik: Mahluk hidup didalam ekosistem berdasarkan jaring-jaring makanan berada pada tingkat berbeda. Tingkatan tropik paling bawah adalah produsen, tingkatan kedua adalah herbivora dan tingkatan selanjutnya adalah karnivora. Tingkatan paling bawah mempunyai populasi lebih besar dibandingkan tingkat di atasnya. Berdasarkan ukuran populasi sensitifitas tingkat tropik paling atas relatif lebih sensitif terhadap kepunahan.
6. Lama hidup: Spesies yang mempunyai waktu hidup lebih pendek lebih sensitif terhadap kepunahan dibandingkan dengan spesies yang mempunyai waktu hidup lebih panjang.
7. Kecepatan penambahan populasi: Sensitifitas terhadap kepunahan tergantung dari kemampuan reproduksi spesies. Spesies yang mempunyai kemampuan reproduksi tinggi (kecepatan pertumbuhan populasi tinggi) akan lebih adaptif dibandingkan dengan spesies yang kemampuan reproduktifnya lebih rendah.
Penyebab terjadi kepunahan mahluk hidup dapat dikategorikan secara langsung atau tidak langsung. Penyebab langsung adalah perubahan yang terjadi dapat langsung menyebabkan kematian mahluk hidup, sedangkan penyebab tidak langsung adalah perubahan yang terjadi menyebabkan terjadinya perubahan faktor lain yang menyebabkan kematian mahluk hidup.
Ada empat faktor penyebab yang mengancam kehidupan spesies (Stiling.P.D, 1992) yaitu:
1. Hilangnya atau modifikasi habitat: Penyebab terjadinya hilang atau modifikasi habitat disebabkan oleh aktifitas manusia antara lain, perubahan lahan menjadi lahan pertanian atau perumahan pencemaran dan polusi.
2. Over eksploitasi: Contoh terjadinya eksploitasi antara lain budaya berburu, penjualan kayu dan perdagangan hewan.
3. Eksotik spesies: Introduksi spesies pada habitat suatu spesies dapat menyebabkan terjadinya kompetisi.
4. Penyakit: Penyakit endemik atau eksotik dapat menyebabkan kematian massal spesies.
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KEANEKARAGAMAN HAYATI
Tingkat perubahan iklim sekarang melebihi semua variasi alami dalam 1000 tahun terakhir. Debat tentang perubahan iklim sekarang telah mencapai suatu langkah dimana kebanyakan ilmuwan menerima bahwa, emisi gas rumah kaca mengakibatkan perubahan iklim yang berdampak berbagai sendi-sendi kehidupan.
Salah satu sendi kehidupan yang vital dan terancam oleh adanya perubahan iklim ini adalah keanekaragaman hayati (biodiversitas) dan ekosistem. Biodiversitas sangat berkaitan erat dengan perubahan iklim. Perubahan iklim berpengaruh terhadap perubahan keanekaragaman hayati dan ekosistem baik langsung maupun tidak langsung.
1. Dampak langsung perubahan iklim terhadap keanekaragaman hayati :
Beberapa dampak langsung perubahan iklim yang paling berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati :
a) Spesies ranges (cakupan jenis)
Perubahan Iklim berdampak pada pada temperatur dan curah hujan. Hal ini mengakibatkan beberapa spesies tidak dapat menyesuaikan diri, terutama spesies yang mempunyai kisaran toleransi yang rendah terhadap fluktuasi suhu.
b) Perubahan fenologi
Perubahan iklim akan menyebabkan pergeseran dalam siklus yang reproduksi dan pertumbuhan dari jenis-jenis organisme, sebagai contoh migrasi burung terjadi lebih awal dan menyebabkan proses reproduksi terganggu karena telur tidak dapat dibuahi. Perubahan iklim juga dapat mengubah siklus hidup beberapa hama dan penyakit, sehingga akan terjadi wabah penyakit.
c) Perubahan interaksi antar spesies
Dampak yang iklim perubahan akan berakibat pada interaksi antar spesies semakin kompleks (predation, kompetisi, penyerbukan dan penyakit). Hal itu membuat ekosistem tidak berfungsi secara ideal.
d) Laju kepunahan
Kepunahan telah menjadi kenyataan sejak hidup itu sendiri muncul. Beberapa juta spesies yang ada sekarang ini merupakan spesies yang berhasil bertahan dari kurang lebih setengah milyar spesies yang diduga pernah ada. Kepunahan merupakan proses alami yang terjadi secara alami. Spesies telah berkembang dan punah sejak kehidupan bermula. Kita dapat memahami ini melalui catatan fosil.
Tetapi, sekarang spesies menjadi punah dengan laju yang lebih tinggi daripada waktu sebelumnya dalam sejarah geologi, hampir keseluruhannya disebabkan oleh kegiatan manusia. Di masa yang lalu spesies yang punah akan digantikan oleh spesies baru yang berkembang dan mengisi celah atau ruang yang ditinggalkan.
Pada saat sekarang, hal ini tidak akan mungkin terjadi karena banyak habitat telah rusak dan hilang. Kelangsungan hidup rata-rata suatu spesies sekiar 5 juta tahun. Rata-rata 900.000 spesies telah menjadi punah setiap 1 juta per tahun dalam 200 juta tahun terakhir. Laju kepunahan secara kasar diduga sebesar satu dalam satu persembilan tahun. Laju kepunahan yang diakibatkan oleh ulah manusia saat ini beratus-ratus kali lebil tinggi.
Perubahan iklim yang lebih menyebar luas tampaknya akan terjadi dalam pada masa mendatang sejalan dengan bertambahnya akumulasi gas-gas rumah kaca dalam atmosfer yang selanjutnya akan meningkatkan suhu permukaan bumi. Perubahan ini akan menimbulkan tekanan yang cukup besar pada semua ekosistem, sehingga membuatnya semakin penting untuk mempertahankan keragaman alam sebagai alat untuk beradaptasi.
Beberapa kelompok spesies yang lebih rentan terhadap kepunahan daripada yang lain. Kelompok spesies tersebut adalah :
1) Spesies pada ujung rantai makanan, seperti karnivora besar, misal harimau (Panthera tigris). Karnivora besar biasanya memerlukan teritorial yang luas untuk mendapatkan mangsa yang cukup. Oleh karena populasi manusia terus merambah areal hutan dan penyusutan habitat, maka jumlah karnivora yang dapat ditampung juga menurun.
2) Spesies lokal endemik (spesies yang ditemukan hanya di suatu area geografis) dengan distribusi yang sangat terbatas, misalnya badak Jawa (Rhinoceros javanicus). Ini sangat rentan terhadap gangguan habitat lokal dan perkembangan manusia.
3) Spesies dengan populasi kecil yang kronis. Bila populasi menjadi terlalu kecil, maka menemukan pasangan atau perkawinan (untuk bereproduksi) menjadi masalah yang serius, misalnya Panda.
4) Spesies migratori adalah spesies yang memerlukan habitat yang cocok untuk mencari makan dan beristirahat pada lokasi yang terbentang luas sangat rentan terhadap kehilangan stasiun habitat peristirahatannya.
5) Spesies dengan siklus hidup yang sangat kompleks. Bila siklus hidup memerlukan beberapa elemen yang berbeda pada waktu yang sangat spesifik, maka spesies ini rentan bila ada gangguan pada salah satu elemen dalam siklus hidupnya.
6) Spesies spesialis dengan persyaratan yang sangat sempit seperti sumber makanan yang spesifik, misal spesies tumbuhan tertentu.
Satu spesies diperkirakan punah setiap harinya. Inventarisasi yang dilakukan oleh badan-badan internasional, seperti International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) dapat dijadikan indikasi tentang keterancaman spesies. Pada 1988 sebanyak 126 spesies burung, 63 spesies binatang lainnya dinyatakan berada di ambang kepunahan (BAPPENAS, 1993).
Pada 2002, Red data List IUCN menunjukan 772 jenis flora dan fauna terancam punah, yaitu terdiri dari 147 spesies mamalia, 114 burung, 28 reptilia, 68 ikan, 3 moluska, dan 28 spesies lainnya serta 384 spesies tumbuhan. Salah satu spesies tumbuhan yang baru-baru ini juga dianggap telah punah adalah ramin (Gonystylus bancanus). Spesies tersebut sudah dimasukkan ke dalam Appendix III Convention of International Trade of Endengered Species of Flora and Fauna (CITES). Sekitar 240 spesies tanaman dinyatakan mulai langka, di antaranya banyak yang merupakan kerabat dekat tanaman budidaya. Paling tidak 52 spesies keluarga anggrek (Orchidaceae) dinyatakan langka.
e) Penyusutan Keragaman Sumber Daya Genetik
Ancaman terhadap kelestarian sumberdaya genetik juga dapat ditimbulkan oleh adanya pengaruh pemanasan global. Beberapa varian dari tanaman dan hewan menjadi punah karena perubahan iklim. Kepunahan spesies tersebut menyebabkan sumberdaya genetic juga akan hilang. Ironisnya banyak sumberdaya genetic (plasma nutfah) belum diketahui apalagi dimanfaatkan, kita menghadapi kenyataan mereka telah hilang.
f) Akibat dari perubahan iklim yang ekstrim
Efek perubahan iklim akan menimbulkan peristiwa ekstrim seperti meledaknya hama dan penyakit, musim kering yang berkepanjangan, El NiƱo, musim penghujan yang relatif pendek, namun curah hujan cukup tinggi, sehingga timbul dampak banjir dan tanah longsor. Peristiwa yang ekstrim ini akan mempengaruhi organisma, populasi dan ekosistem.
2. Dampak tidak langsung perubahan iklim terhadap biodiversitas
Berbagai penyebab penuruanan keanekaragaman hayati diberbagai ekosisten antara lain konversi lahan, pencemaran, eksploitasi yang berlebihan, praktik teknologi yang merusk, masuknya spesies asing dan perubahan iklim.
a) Dampak terhadap Ekosistem Hutan
Ekosistem hutan mengalami ancaman kebakaran hutan yang terjadi akibat panjangnya musim kemarau. Jika kebakaran hutan terjadi secara terus menerus, maka akan mengancam spesies flora dan fauna dan merusak sumber penghidupan masyarakat.
Indonesia mempunyai lahan basah (termasuk hutan rawa gambut) terluas di Asia, yaitu 38 juta ha yang tersebar mulai dari bagian timur Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Maluku sampai Papua. Tetapi luas lahan basah tersebut telah menyusut menjadi kurang lebih 25,8 juta ha (Suryadiputra, 1994). Penyusutan lahan basah dikarenakan berubahnya fungsi rawa sebesar 37,2 persen dan mangrove 32,4 persen. Luas hutan mangrove berkurang dari 5,2 juta ha tahun 1982 menjadi 3,2 juta ha tahun 1987 dan menciut lagi menjadi 2,4 juta ha tahun 1993 akibat maraknya konversi mangrove menjadi kawasan budi daya (Suryadiputra, 1994, Dahuri et al, 2001).
b) Dampak pada daerah kutub
Sejumlah keanekaragaman hayati terancam punah akibat peningkatan suhu bumi rata-rata sebesar 10°C. Setiap individu harus beradaptasi pada perubahan yang terjadi, sementara habitatnya akan terdegradasi. Spesies yang tidak dapat beradaptasi akan punah. Spesies-spesies yang tinggal di kutub, seperti penguin, anjing laut, dan beruang kutub, juga akan mengalami kepunahan, akibat mencairnya sejumlah es di kutub.
c) Dampak pada daerah arid dan gurun
Dengan adanya pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim mengakibatkan luas gurun menjadi semakin bertambah (desertifikasi).
d) Dampak pada ekosistem pertanian
Perubahan iklim akan menyebabkan terjadinya perubahan cuaca, sehingga periode musim tanam menjadi berubah. Hal ini akan mengakibatkan beberapa spesies harus beradaptasi dengan perubahan pola tanam tersebut.
DAMPAK EKOLOGIS BAGI WILAYAH PESISIR (MANGROVE)
Pemanasan global, salah satu perubahan iklim global, telah diyakini berdampak buruk bagi kelangsungan hidup manusia di berbagai wilayah dunia. Wilayah pesisir adalah wilayah yang paling rentan terkena dampak buruk pemanasan global sebagai akumulasi pengaruh daratan dan lautan. Dalam ringkasan teknisnya tahun ini, Intergovernmental Panel on Climate Change, suatu panel ahli untuk isu perubahan iklim, menyebutkan dua faktor penyebab kerentanan wilayah ini (TS WG I IPCC, 2007:40).
Pertama, pemanasan global ditenggarai meningkatkan frekuensi badai di wilayah pesisir. Setiap tahun, sekitar 120 juta penduduk dunia di wilayah pesisir menghadapi bencana alam tersebut, dan 250 ribu jiwa menjadi korban hanya dalam kurun 20 tahun terakhir (tahun 1980-2000). Peneliti bidang Meteorologi di AS mencatat adanya peningkatan frekuensi badai tropis di Laut Atlantik dalam seratus tahun terakhir (KCM, 31 Juli 2007). Pada periode 1905-1930 di wilayah pantai Teluk Atlantik terjadi rata-rata enam badai tropis per tahun. Rata-rata tahunan itu melonjak hampir dua kali lipat (10 kali badai tropis per tahun) pada periode tahun 1931-1994 dan hampir tiga kali lipat (15 kali badai tropis) mulai tahun 1995 hingga 2005.
Pada tahun 2006 yang dikenal sebagai “tahun tenang” saja masih terjadi 10 badai tropis di wilayah pesisir ini. Juga dilaporkan pola peningkatan kejadian badai tropis ini tetap akan berlangsung sepanjang pemanasan global masih terjadi.
Kedua, pemanasan global diperkirakan akan meningkatkan suhu air laut berkisar antara 1-3°C. Dari sisi biologis, kenaikan suhu air laut ini berakibat pada meningkatnya potensi kematian dan pemutihan terumbu karang di perairan tropis. Ekosistem terumbu karang di perairan Indonesia seluas 51.875km , yang setara dengan sepertiga luas pulau Jawa, terancam rusak dan hancur secara permanen jika pemanasan global terus berlangsung. Ini juga berarti terancamnya kelangsungan berbagai macam kehidupan biota laut yang tergantung hidupnya pada ekosistem alam ini.
Kerusakan terumbu karang juga berarti hilangnya pelindung alam wilayah pesisir yang akan memicu peningkatan laju abrasi pantai. Luas terumbu karang Indonesia diduga berkisar antara 50.020 Km2 (Moosa dkk, 1996 dalam KLH, 2002) hingga 85.000 Km2 (Dahuri 2002). Hanya sekitar 6 persen terumbu karang dalam kondisi sangat baik, diperkirakan sebagian terumbu karang Indonesia akan hilang dalam 10-20 tahun dan sebagian lainnya akan hilang dalam 20-40 tahun. Rusaknya terumbu karang mempunyai dampak pada masyarakat pesisir, misalnya berkurangnya mata pencaharian nelayan kecil.
Referensi Artikel :
BAPPENAS. 1993. Biodiversity Action Plan for Indonesia. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta.
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu, 2001., Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta.
Rifai, M. 1994. A Discourse on Biodiversity Utilization in Indonesia. In: Tropical Biodiversity. IFABS, Jakarta.
Sittenfeld, Ana. 1997. Biodiversity Prospecting Frameworks. Paper presented at the management course supported by the Government of Japan, ISNAR and IBS.
Sugandhy.A dan Hakim.R. 2007. Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Bumi Aksara.Jakarta.
Stiling. P.D. 1992. Ecology: Theory and Application. 2nd.Ed. Prentice Hall International Inc. New Jersey.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar