Senin, 12 Desember 2011

LIDAR di Indonesia

lidar-di-indonesia

Menurut Dr. Ir. Istarno, dosen Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika UGM, yang meraih gelar doktor dengan disertasi mengenai LIDAR mengungkapkan, sejak diterbitkannya Undang-Undang Informasi Geospasial (UU IG), kebutuhan akan jasa dan produk pemetaan sangat besar. Sebab, UU tersebut salah satunya mengamanat-kan tersedianya informasi rupa bumi dengan skala 1:1.000. “Teknologi LIDAR inilah yang bisa menjawab kebutuhan-kebutuhan penyediaan data tersebut,” ujar Istarno.

Baik perusahaan penyedia maupun pengguna jasa mengakui, dalam beberapa tahun terakhir kebutuhan akan jasa dan produk pemetaan semakin besar. Kebutuhan itu didorong oleh, misalnya, perkembangan dan dinamika industri pertambangan, perkebunan, energi, telekomunikasi, dan pembangunan infrastruktur.
Bahkan, sejak disahkannya UU Nomor 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial pada April 2011, kebutuhan akan jasa LIDAR semakin tinggi. Undang-undang itu mewajibkan pemerintah menyediakan data informasi rupa bumi atau peta dasar dengan skala besar, yakni 1:1.000, meliputi seluruh wilayah Indonesia. “Ini akan menjadi tugas bersama, dan merupakan peluang bagi industri penyedia jasa survey dan pemetaan nasional,” ujar Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Asep Karsidi.
Dari beberapa teknologi pemetaan yang berkembang selama ini, untuk memenuhi besarnya kebutuhan akan pemetaan, dari segi kecepatan waktu maupun produk yang dihasilkan, pilihan yang paling rasional dan ekonomis adalah teknologi LIDAR.
Atas pertimbangan itu pula, PT Titan Mining Indonesia selalu menggunakan teknologi LIDAR untuk membuat pemetaan pada lokasi-lokasi proyek yang digarapnya. “Dengan skala proyek yang demikian besar dan berjangka panjang, tidak mungkin kami menggunakan teknologi pemetaan di luar LIDAR,” ujar Business Development Titan Mining, Wira Budiman. Perusahaan nasional yang bergerak di bidang pertambangan ini memiliki banyak proyek tambang batu bara berskala besar di sejumlah daerah, seperti Bengkulu, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Jambi. Proyek-proyek tambang yang baru dimulai sekitar 4 tahun terakhir tersebut, luasan lahannya mencapai ratusan ribu hektare.
Dengan lahan yang begitu luas, imbuh Wira, untuk memetakan lokasi proyek tidak mungkin menggunakan teknologi konvensional atau pemetaan teresterial. Pilihan yang paling mungkin adalah, kata Wira, pemetaan menggunakan teknologi LIDAR. “Dengan LIDAR, kami lebih mudah membuat rencana pengembangan proyek,” ujar Wira.
Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang energi, PT Bukaka Teknik Utama juga sedang menggarap banyak proyek di berbagai daerah. Saudara kandung Grup Hadji Kalla ini sedang menggarap beberapa proyek pengembangan energy sekaligus. Sebagai contoh, Bukaka kini sedang menggarap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Poso, Kerinci, Tanah Toraja, yang totalnya mencapai ratusan ribu megawatt. “Untuk mendukung pengerjaan proyek tersebut, kami harus membuat topografi lokasi proyek. Dan, pemetaannya harus dilakukan dengan teknologi LIDAR,”ujar Direktur PT Poso Energy Teguh Wicaksono Sari. Poso Energy adalah anak perusahaan Bukaka Teknik Utama.
Tingginya kebutuhan akan pemetaan dengan LIDAR tersebut, menurut Direktur PT ASI Pudjiatuti Geosurvey Tri Cahyono Tristiaji, tak hanya didorong oleh perkembangan industri pertambangan, tapi juga pengembangan proyek-proyek infrastruktur pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. “Untuk penataan kota atau penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW), misalnya,” ujarnya.
Hal yang sama diakui Sofan Prihadi, Direktur  Karvak Nusa Geotama. Menurutnya, dalam beberapa waktu terakhir justru banyak menerima order atau pekerjaan pembuatan peta dari udara dari instansi pemerintah, baik instansi pusat maupun daerah. Misalnya, Karvak diminta melakukan pemotretan atau pemataan atas jalur-jalur kabel PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di beberapa daerah. Contohnya lagi, Karvak juga diminta mengerjakan proyek yang sama untuk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) untuk modersisasi jaringan pipa air minum.
“Kami, para penyedia jasa pemotretan, memang merasakan industri ini sedang booming. Nah, teknologi yang tepat untuk merespons perkembangan ini memang LIDAR,” ujar Sofan. Sebab, dibandingkan dengan teknologi sebelumnya, semisal pemetaan teresterial, LIDAR memiliki lebih banyak keunggulan.
Menurut Istarno, untuk menjawab perkembangan akan kebutuhan seperti yang berkembang saat ini, LIDAR merupakan sistem pemetaan yang paling efisien dibandingkan dengan survei langsung maupun fotogrametri dan penginderaan jauh. Sebab, teknologi ini mampu mengakuisisi data hingga 200 Khz atau 200.000 titik per detik.
Di samping itu, LIDAR juga dapat menghasilkan data ketinggian dengan kerapatan 25 titik/m2. Dengan demikian, sistem pemetaan dengan menggunakan LIDAR terbilang jauh lebih cepat dan akurat dibandingkan teknologi-teknologi  sebelumnya. Hal itu diakui oleh Wira Budiman. Menurut perhitungan Wira, jika menggunakan teknologi konvensional, Titan akan memerlukan waktu sangat lama, mungkin dalam hitungan tahun, hanya untuk menyelesaikan peta atau membuat topografi lokasi proyek – sebelum penambangan dimulai.
Dengan LIDAR, peta seluruh kawasan tambang dengan luasan lebih dari 10 ribu hektare sudah di tangan paling lama 3-4 bulan. Hasilnya pun, imbuh Wira, lebih akurat dan dalam format digital sehingga sangat memudahkan pengguna untuk memanfaatkan produk peta tersebut.
Berbeda dengan pemetaan sistem lama, menurut Tri Cahyono, pemetaan dengan LIDAR mampu menghasilkan peta dengan sangat detail dan kompleks. Tak hanya mampu menggambarkan permukaan atau topografi lokasi, tapi juga seluruh benda atau obyek yang ada di atas lahan. Hasil LIDAR, misalnya, dapat menggambarkan seluruh tutupan, seperti pepohonan mulai dengan jumlah, ketinggian, diameter, hingga tinggi kanopi. “Itu semua dilakukan tanpa harus turun ke lapangan, hanya disorot dari udara dan dalam waktu yang sangat singkat,” ujarnya. Yang agak lama, menurut Tri, adalah pengolahan dan pemrosesan hasil foto udara tersebut untuk dijadikan peta.
Meski pun lama, katanya, dibandingkan dengan sistem lain masih tergolong sangat cepat. Untuk luasan 10 ribu hectare saja, hanya diperlukan waktu sekitar 2-3 bulan.
sumber : Majalah Surveyor edisi 4 | Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar