Jumat, 14 Oktober 2011

Peran Penting Sistem Informasi Geografis (Sig) Dalam Penentuan Batas Wilayah Laut Negara, Propinsi, Dan Kabupaten/Kota


I. Konflik Perbatasan Wilayah Laut
        Masalah perbatasan wilayah laut dengan negara tetangga semenjak reformasi cukup menyita perhatian, mulai dari lepasnya Timor-Timor dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki implikasi terhadap batas wilayah laut nasional, lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan ke pangkuan Malaysia sampai dengan klaim sepihak Malaysia terhadap Blok Ambalat yang menggugah rasa nasionalisme beberapa waktu lalu. Memasuki era otonomi daerah, masalah perbatasan wilayah antar daerah juga mengemuka dengan intensitas yang cukup tinggi. 
            Sebut saja masalah perbatasan wilayah DIY-Jateng, masalah Blok Maleo yang diperebutkan Pemerintah Propinsi Jawa Timur dan Pemda Sumenep terkait bagi hasil migas yang dieksploitasi di sana. Termasuk 17 provinsi dan 52 kabupaten/kota yang terlibat sengketa batas daerah. Sengketa tersebut diantaranya disebabkan karena perebutan sumber daya alam, perebutan kantong-kantong daerah pemilihan saat pilkada, penetapan hak pengelolaan hutan (HPH), kuasa pertambangan, sertifikasi tanah, dan tata ruang.
            Sebelumnya, Jacub Rais dan JP Tamtomo mensinyalir sengketa batas antar provinsi atau antar kabupaten justru lebih mengkhawatirkan dibanding masalah perbatasan laut antar negara, terkait adanya batas kewenangan provinsi dan kabupaten di wilayah laut seperti disebut dalam UU Nomor 32 Tahun 2004. Batas-batas ini belum pernah disosialisasikan kepada masyarakat. Bayangkan saja, undang-undang tentang pembentukan provinsi dengan lampiran peta batas provinsi hanya deskriptif (!) dan tidak menggunakan koordinat (!) (Kompas, April 2005).
II. Penegasan Batas dan Marine Cadastre
            Untuk mengatasi tersebut, Mendagri mengeluarkan Permendagri No. 1/2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. Terkait kewenangan daerah di wilayah laut, alasan perlunya batas laut adalah untuk menyelesaikan tumpang tindih klaim (overlapping claim) daerah di wilayah laut. Seperti dijelaskan dalam UU No 32/2004, sebuah provinsi yang memiliki laut berhak atas kewenangan laut sejauh 12 mil laut dari garis dasar (biasanya garis pantai). Tentu bisa dipahami bahwa akan terjadi tumpang tindih klaim jika ada dua provinsi berseberangan (opposite) yang berjarak kurang dari 24 mil laut atau dua provinsi yang berdampingan (adjecent) dalam satu wilayah daratan pulau, seperti Yogyakarta dan Jateng. Untuk menghindari sengketa, maka perlu ditarik garis batas yang disepakati oleh semua pihak yang berkepentingan. 
            Permendagri juga menegaskan bawah ada enam langkah utama yang harus dilakukan dalam penentuan batas wilayah laut, yaitu penelitian dokumen, pelacakan batas, pemasangan pilar dan titik acuan, penentuan titik awal dan garis dasar, pengukuran dan penentuan batas, serta pembuatan peta batas. Berbeda dengan batas darat, pemasangan pilar tidak dilakukan di titik batas, yang notabene di tengah laut, tetapi di darat (pantai) yang dijadikan referensi dalam menentukan posisi titik batas maritim antarprovinsi. 
            Secara teknis, aspek yang sangat penting dalam penegasan batas daerah adalah prinsip geodesi atau survei pemetaan. Hal yang harus diperhatikan dalam penentuan dan penegasan batas adalah jenis batas yang akan digunakan, teknologi yang dipilih terkait kualitas hasil yang diharapkan, serta partisipasi masyarakat yang secara langsung akan terkena dampak akibat adanya penegasan batas tersebut. 
            Departemen Dalam Negeri (Depdagri) meminta kepada pemerintah daerah (Pemda) untuk menyelesaikan penegasan batas wilayah secepatnya. Dari 33 provinsi baru sembilan provinsi yang menyelesaikan batas wilayah. Sementara itu, untuk kabupaten/kota baru 30 dari sekitar 440 kabupaten/kota.
            Penegasan batas merupakan pintu masuk menuju marine cadastre. Dalam bahasa sederhananya, marine cadastre adalah pengadministrasian wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan, termasuk semua kepentingan, hak, batasan, dan kewajiban yang ada di wilayah itu. Pengadministrasian wilayah di sini tentu saja diawali dengan penamaan, pengukuran, dan pemetaan wilayah termasuk penetapan batas-batasnya serta mencatat dan membukukannya dalam daftar-daftar dan buku-buku resmi kemudian mempublikasikan hasil-hasilnya. 
            Meskipun marine cadastre bukan peranti penetapan batas atau yurisdiksi internasional suatu negara, namun melalui publikasi marine cadastre setiap klaim atau persengketaan batas dapat segera diketahui. Bahkan telah diatur tentang kewajiban masing-masing negara pulau dan kepulauan adalah menyerahkan peta-peta batas wilayah teritorial, ZEE, dan landas kontinen kepada Sekretaris Jenderal PBB dengan koordinat-koordinatnya. Apabila terjadi tumpang tindih, maka diselesaikan secara bersama berdasarkan ketentuan Pasal 67 Settlements of Disputes and Advisory Opinions, khususnya di landas kontinen. 
            Apabila kita telah melaksanakan marine cadastre, tentu banyak konflik dan  sengketa, khususnya sengketa batas, dapat dihindari. Marine cadastre adalah penerapan prinsip-prinsip kadaster di wilayah laut, yaitu mencatat batas-batas dan penggunaan (hak dan kepentingan atas) ruang laut oleh masyarakat dan pemerintah, perlindungan ruang laut, konservasi, taman nasional, taman suaka margasatwa, termasuk ulayat laut komunitas masyarakat hukum adat. Marine cadastre secara khusus merupakan sistem bagaimana suatu negara mengadministrasikan sumber-sumber daya kelautan dalam konteks UNCLOS. 
            Kacaunya administrasi wilayah pesisir dan lautan Indonesia tercermin dalam banyak hal: (1) kita mengklaim seluruh pulau besar dan kecil Indonesia berjumlah 17.504 pulau, namun sampai saat ini kita hanya mampu memberi nama berikut posisi geografisnya sebanyak 7.870 pulau yang memenuhi definisi pulau menurut Pasal 121 UNCLOS 1982; (2) ada sebuah lembaga di Indonesia menggunakan citra satelit untuk menghitung jumlah pulau sehingga dengan bangga menyatakan telah memperoleh jumlah pulau lebih banyak lagi, yaitu 20.000 pulau (bahkan Presiden RI sebelumnya selalu mengacu pada angka ini).


III.  BATAS DAERAH DI LAUT

 

A.   Definisi Teknis

1.     Titik Awal adalah titik koordinat yang terletak pada garis pantai untuk menentukan garis dasar (lihat gambar 1)

Gambar 1 : Titik Awal dan Garis Pantai sebagai acuan penarikan garis dasar
 
 




















2.     Garis Dasar adalah garis yang menghubungkan antara dua titik awal dan terdiri dari garis dasar lurus dan garis dasar normal.

3.     Garis dasar lurus adalah garis lurus yang menghubungkan dua titik awal berdekatan dan berjarak tidak lebih dari 12 mil. (Lihat gambar 2)

4.     Garis dasar normal adalah garis antara dua titik awal yang berhimpit dengan garis pantai.

5.     Mil laut adalah jarak satuan panjang yang sama dengan 1.852 meter.

6.     Pulau adalah daratan yang terbentuk secara alamiah dan senantiasa berada di atas permukaan laut pada saat air pasang.

7.     Titik batas sekutu adalah tanda batas yang terletak di darat pada koordinat batas antar daerah provinsi, kabupaten dan kota yang digunakan sebagai titik acuan untuk penegasan batas di laut.



B. Penetapan Batas Daerah di Laut (Secara Kartometrik)

1.     Menyiapkan Peta-peta Laut, Peta Lingkungan Laut Nasional (Peta LLN) dan Peta Lingkungan Pantai Indonesia (Peta LPI).
2.     Untuk Batas Provinsi menggunakan  peta laut dan peta Lingkungan Laut Nasional, untuk batas daerah kabupaten dan daerah kota gunakan peta laut dan peta Lingkungan Pantai Indonesia.
3.     Menelusuri secara cermat cakupan daerah yang akan ditentukan batasnya. Perhatikan garis pantai yang ada, pelajari kemungkinan penerapan garis dasar lurus dan garis dasar normal dengan memperhatikan panjang maksimum yakni 12 mil laut.
4.     Memberi tanda rencana titik awal yang akan digunakan.
5.     Melihat peta laut dengan skala terbesar yang terdapat pada daerah tersebut. Baca dan catat titik awal dengan melihat angka lintang dan bujur yang terdapat pada sisi kiri dan atas atau sisi kanan dan bawah dari peta yang digunakan.
6.     Mengeplot dalam peta titik-titik awal yang diperoleh dan menghubungkan titik-titik dimaksud  untuk mendapatkan garis dasar lurus yang tidak lebih dari 12 mil laut.
7.     Menarik garis sejajar dengan  garis dasar yang berjarak 12 mil laut atau sepertiganya.
8.     Batas daerah di wilayah laut sudah tergambar beserta daftar koordinat.
9.     Membuat peta batas daerah di laut lengkap dengan daftar koordinatnya yang akan ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri
C. Penegasan Batas Daerah di Laut (melalui pengukuran di lapangan)

1. Penelitian dokumen batas
Kegiatan penelitian dokumen yang dimaksud pada tahapan ini adalah mengumpulkan semua dokumen yang terkait dengan penentuan batas daerah di laut seperti : peta administrasi daerah yang telah ada; peta batas daerah di laut yang pernah ada; dokumen sejarah dll.  
2. Pelacakan batas
Pelacakan batas dimaksud pada tahapan ini adalah kegiatan secara fisik di lapangan untuk menyiapkan rencana titik acuan yang akan digunakan sebagai titik referensi. Sebagai hasil kegiatan pelacakan ini dapat ditandai dengan dipasangnya titik referensi atau pilar sementara yang belum ditentukan titik koordinatnya.
3. Pemasangan pilar di titik acuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar