Jumat, 14 Oktober 2011

Marine Cadastre Studi Mengatasi Sengketa Wilayah Perbatasan RI


Putusan Mahkamah Internasional/MI,International Court of Justice (ICJ) tanggal 17-12-2002 yang telah mengakhiri rangkaian persidangan sengketa kepemilikan P. Sipadan dan P. Ligitan antara Indonesia dan Malaysia mengejutkan berbagai kalangan. Betapa tidak, karena keputusan ICJ mengatakan kedua pulau tersebut resmi menjadi milik Malaysia.Disebutkan dari 17 orang juri yang bersidang hanya satu orang yang berpihak kepada Indonesia. Hal ini telah memancing suara-suara sumbang yang menyudutkan pemerintah khususnya Deplu dan pihak-pihak yang terkait lainnya. Dapat dipahami munculnya kekecewaan di tengah-tengah masyarakat, hal ini sebagai cermin rasa cinta dan kepedulian terhadap tanah air.

Ada hal yang menggelitik dari peristiwa ini, mengapa kita kalah begitu telak, padahal perkiraan para pemerhati atas putusan ICJ “fifty-fifty”, karena dasar-dasar hukum, peta dan bukti-bukti lain yang disiapkan oleh kedua pihak relatif berimbang. Dari penjelasan yang di “release” mass media, ternyata ICJ/MI dalam persidangan-persidangannya guna mengambil putusan akhir, mengenai status kedua Pulau tersebut tidak menggunakan (menolak) materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara, melainkan menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu “Continuous presence, effective occupation, maintenance dan ecology preservation”. Dapat dimengerti bilamana hampir semua Juri MI yang terlibat sepakat menyatakan bahwa P. Sipadan dan P. Ligitan jatuh kepada pihak Malaysia karena kedua pulau tersebut tidak begitu jauh dari Malaysia dan faktanya Malaysia telah membangun beberapa prasarana pariwisata di pulau-pulau tersebut.
Sia-sialah perjuangan Indonesia selama belasan tahun kita memperjuangkan kedua pulau tersebut kedalam wilayah Yurisdiksi kedaulatan NKRI, ini akibat dari kekurang-seriusan kita dalam memperjuangkannya, itulah komentar-komentar yang muncul. Benarkah birokrat kita kurang serius memperjuangkan pemilikan dua pulau tersebut ?
Dari rangkaian panjang upaya yang dilakukan rasanya perjuangan kita cukup serius. Putusan MI sudah final dan bersifat mengikat sehingga tidak ada peluang lagi bagi Indonesia untuk mengubah putusan tersebut. Tidak patut lagi kekalahan ini harus diratapi, yang terpenting bagaimana kita mengambil pelajaran untuk ke depan jangan sampai kecolongan lagi untuk ketiga kalinya.
Sekilas mengenai proses penyelesaian sengketa pulau Sipadan dan pulau Ligitan.
Kasus P. Sipadan dan P. Ligitan mulai muncul sejak 1969 ketika Tim Teknis Landas Kontinen Indonesia – Malaysia membicarakan batas dasar laut antar kedua negara. Kedua pulau Sipadan dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara RI, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan P. Sipadan dan P. Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Disaat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya dengan mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Kedua belah pihak untuk sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “Status Quo”.Dua puluh tahun kemudian (1989), masalah P. Sipadan dan P. Ligitan baru dibicarakan kembali oleh Presiden Soeharto dan PM. Mahathir Muhamad.
Tiga tahun kemudian (1992) kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja Bersama (Joint Commission/JC & Joint Working Groups/JWG).Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebutuan. Pemerintah RI menunjuk Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk Wakil PM Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG.Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kualalumpur tidak pernah mencapai hasil kesepakatan.
Pada pertemuan tgl. 6-7 Oktober 1996 di Kualalumpur Presiden Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus dan selanjutnya tgl. 31 Mei 1997 disepakati “Spesial Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia concerning the Sovereignty over P. Sipadan and P. Ligitan”. Special Agreement itu kemudian disampaikan secara resmi ke Mahkamah International pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi P. Sipadan dan P. Ligitan di MI/ICJ mulai berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua pulau tersebut sepenuhnya berada di tangan RI.
Namun demikian kedua negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-masing melalui “ Written pleading “ kepada Mahkamah Memorial pada 2 Nopember 1999 diikuti, “Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan “reply” pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses “Oral hearing” dari kedua negara bersengketa pada 3 –12 Juni 2002 . Dalam menghadapi dan menyiapkan materi tersebut diatas Indonesia membentuk satuan tugas khusus (SATGASSUS) yang terdiri dari berbagai institusi terkait yaitu : Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut International.
Indonesia mengangkat “co agent” RI di MI/ICJ yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl (International Counsels). Hal yang sama juga dilakukan pihak Malaysia. Proses hukum di MI/ICJ ini memakan waktu kurang lebih 3 tahun. Selain itu, cukup banyak energi dan dana telah dikeluarkan. Menlu Hassas Wirayuda mengatakan kurang lebih Rp. 16.000.000.000 dana telah dikeluarkan yang sebagian besar untuk membayar pengacara. Dengan demikian tidak tepat bila dikatakan pihak Indonesia tidak serius memperjuangkan P. Sipadan dan P. Ligitan.
KONDISI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA
·         Penegasan Batas.
Indonesia berbatasan di darat dengan Malaysia, Papua Nugini (PNG) dan Timor Larose. Proses penegasan batas darat dengan Malaysia yang dilaksanakan sejak tahun 1975 yang panjang mencapai lebih dari 2000 km, hampir selesai dilaksanakan ( teknis dilapangan) oleh tim Teknis penegasan Batas Bersama (Joint Border Demarcation Team).
Penegasan batas dengan PNG telah berhasil menyelesaian pilar batas utama (Monumen Meridian/MM). Dan sekarang dalam tahap perapatan pilar batas. Namun dikarenakan berbagai kendala proses perapatan pilar batas ini sejak tahun 2000 berhenti. Sementara itu penegasan batas dengan Timor Larosae sudah dirintis sejah pemerintahan pewakilan PBB (UNTAET) dan sekarang telah sampai pada tahap survey penyelidikan lapangan (Joint Reconnaissance Surveys).
Penegasan batas wilayah negara di laut diwujudkan dengan cara menentukan angka koordinat geografi yang digambar di atas peta laut, sebagai hasil kesepakatan bersama melalui perundingan bilateral. Batas laut ini terdiri dari batas laut wilayah/teritorial, batas landas kontinen dan batas zona ekonomi Ekslusif (ZEE). Indonesia yang berbatasan di laut tidak kurang dengan 10 negara, baru sebagian kecil saja batas lautnya yang telah ditegaskan antara lain dengan Malaysia, Singapura, Australia, PNG, Thailand dan India. Hal itupun bersifat parsial, belum secara tuntas menyelesaikan seluruh segmen batas dan jenis batas laut.
·         Kondisi Wilayah Perbatasan.
Wilayah perbatasan (Wiltas) darat antar RI dengan Malaysia, PNG dan Timor Larosae terdiri dari daerah pegunungan, dengan konfigurasi medan yang berat/terjal, bervegetasi hutan yang relatif rapat dengan penduduk sangat jarang. Kondisi demikian dikarenakan pemerintah tidak menjadikan Wiltas sebagai prioritas dalam program pembangunan baik oleh pemerintah pusat maupun Pemda. Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru, Wiltas diposisikan sebagai daerah pinggiran/periferal atau daerah belakang yang sering terabaikan. Dalam pembangunannya, namun sumber daya alamnya, khususnya kayu dieksploitasi dengan serampangan secara besar-besaran. Hal tersebut meninggalkan keprihatinan dan luka hati yang dalam bagi penduduk Wiltas. Ironinya kerusakan hutan yang terjadi sering ditimpakan kepada penduduk Wiltas. Akibatnya, penduduk Wiltas yang semula sangat peduli dengan lingkungan (menyatu dengan alam) menjadi berubah drastis.
Mereka pada akhirnya mulai berkolusi dengan para penjarah hutan tersebut. Mereka juga mulai berfikir dan bersikap materialistis-konsumeris. Sementara itu sikap moral dan pengabdiannya terhadap lingkungan mulai tergerus menipis. Orientasi penduduk Wiltas terutama anak-anak mulai berubah. Setelah TV, Radio, Parabola masuk Wiltas, mereka mulai mengenal budaya “jalan pintas” untuk menjadi kaya. Mereka banyak yang meninggalkan kampungnya, me-ngubah mata pencarian dan berspekulasi di kota terdekat. Itulah proses degradasi lingkungan dan komunitas Wiltas.
Wilayah Perbatasan Laut (Wiltasla). Kondisi Wiltasla lebih memprihatinkan lagi. Penduduk pulau–pulau perbatasan laut seperti penduduk Kep. Sangir dan Talaud (Satal) di Sulawesi Utara, kondisinya secara umum tidak bertambah maju. Bahkan jumlahnyapun malah berkurang. Hal ini disebabkan kesulitan hidup karena lokasi geografi yang terpencil dan faktor keganasan badai laut. Kaum muda di sini juga banyak yang pindah ke daratan Sulawesi Utara. Hal yang hampir sama juga terjadi di P. Miangas (Palmas), Kep Natuna dan pulau-pulau Wiltas lainnya.
Sementara itu, kekayaan laut Wiltasla banyak dirambah nelayan asing. Dengan kapal modern dan peralatan yang canggih, mereka bebas berkeliaran di perairan Wiltasla kita tanpa rasa takut, karena jarang aparat Kamla kita yang berpatroli di sana. Sementara penduduk setempat tidak berdaya mengusir mereka. Bahkan penduduk (sebagian) tidak merasa perlu mengusir para penjarah ikan itu, karena mereka memberi manfaat bagi penduduk setempat. Sikap penduduk Wiltas yang demikian tidak perlu dipersalahkan, karena mereka bodoh tidak tersentuh pemberdayaan SDM, apatah lagi sikap Bela Negara.
·         Upaya yang perlu dilaksanakan.
Untuk meningkatkan pengamanan di Wiltas, maka harus dilakukan perkuatan atau peningkatan kemampuan secara sinergis antara komunitas penduduk perbatasan dengan aparat Hankam di Wiltas.
Persepsi, strategi dan kebijakan pembangunan Wiltas seyogiannya diubah. Selama ini Wiltas dipandang sebagai daerah pinggiran (periphery areas atau border areas). Kita harus punya keberanian mengubah paradigma ini menjadikan Wiltas sebagai daerah depan (frontier areas). Mengapa demikian, karena daerah ini langsung bersentuhan dengan luar negeri. Bagi pihak asing (negara tetangga) kesan pertama mereka atas Indonesia diperoleh dari kondisi lingkungan dan komunitas penduduk perbatasan. Dengan demikian, Wiltas menjadi “Cermin” Indonesia.
·         Beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk memberdayakan Wiltas.
Merancang konsep pembedayaan Wiltas secara terpadu baik fisik maupun non fisik (SDM) sesuai potensi sumberdaya yang ada. Dalam konsep Bangwiltas terpadu ini termasuk sektor Hankam Wiltas. Dalam hal ini, posisi penduduk sebagai subyek pembangunan yang aktif. Setiap pembangunan dari masing-masing sektor (Ipoleksosbud Hankam) harus dirancang untuk saling memberi manfaat. Pembangunan dapat diawali dengan prasarana transportasi (jalan, terminal, bandara, pelabuhan dll) yang dikonsep tidak saja untuk kegiatan sosial, ekonomi, budaya, namun harus dapat dimanfaatkan untuk kemudahan operasi
Hankam. Selanjutnya pembangunan ekonomi dengan memprioritaskan sumberdaya permukaan (tanah dan hutan). Tidak ada salahnya kita berguru kepada Malaysia, bagaimana mereka menata jaringan jalan dan perkebunan sawit serta hutan secara teratur dan terkonsep yang sangat berbeda kenampakannya dengan Wiltas di Kalimantan yang semraut.
Prioritaskan penyelesaian penegasan batas negara, termasuk pemetaan dalam skala yang memadai (Wiltasrat 1 ; 50.000 dan Wiltasla 1 ; 250.000). Peta standar ini penting sebagai sarana operasi Hankam dan pembangunan (sebagian sudah dilaksanakan Dittopad dan Dishidros TNI-AL).
Tingkatkan Operasi, pengamanan Wiltas secara periodik, terkoordinasi, dan sekali–sekali kerjasama dengan negara tetangga sambil mensosialisasikan wilayah tanggung jawab masing-masing. Untuk mendukung Pamwiltas ini dapat juga digunakan jasa Satelit dan penerbangan perintis lintas zona perbatasan misalnya : Dari Pontianak ke Kota Kinabalu (Malaysia) dan dari Jaya Pura ke Port Moresby (PNG).
Pemberian subsidi yang memadai untuk aparat dan pegawai negeri serta masyarakat Wiltas. Tanpa subsidi hidup di Wiltas terasa sangat berat karena biaya hidup di sana sangat mahal. Seharusnya subsidi yang diberikan di Wilayah Satal, Natuna, Miangas lebih besar dari pada yang bertugas/yang tinggal di Irian/Papua. Untuk masyarakat, subsidi hendaknya diprioritaskan untuk sektor pendidikan, pangan pokok, kesehatan dan modal usaha kecil.
·         Pelajaran yang dapat diambil.
Ketika pemerintah memutuskan jajak pendapat di Timor-Timor untuk menentukan apakah rakyat Tim-Tim akan memilih tetap bergabung (Integrasi) NKRI atau merdeka, tidak begitu banyak kalangan yang menentang karena di atas kertas pihak pro integrasi diperkirakan akan menang, setidak-tidaknya fifty-fifty. Namun, ternyata setelah jejak pendapat dilaksanakan, pihak pro integrasi kalah dengan presentase secara menyolok (kurang lebih 23,5 %). Demikian pula dengan kasus P. Sipadan dan P. Ligitan, perkiraan menang-kalah 50% – 50%, sehingga minimal P. Sipadan masih bisa menjadi milik Indonesia kenyataannya, Indonesia kalah secara meyakinkan.
Dari dua kasus di atas dapat diambil kesimpulan, pertama patut diduga bahwa dalam kedua kasus di atas ada pihak ketiga yang turut “bermain” untuk merugikan Indonesia. Kedua, sesuatu kebijakan yang diambil pemerintah yang berdampak pada resiko kehilangan sebagian wilayah tanah air harus dipertimbangkan dengan seksama melibatkan semua komponen bangsa, bahkan kalau bisa, dihindari.
Ketiga, mencermati pengambilan putusan MI yang didasarkan pada kriteria “Continuous presence, dan effective occupation” hal ini memberikan signal negatif dan preseden buruk yang menuntut kehati-hatian dan kewaspadaan kedepan.
Ada beberapa pulau kecil terpencil yang secara posisi geografis kedudukannya lebih dekat dengan negara tetangga yang diindikasikan memiliki keinginan memperluas wilayah. Pulau-pulau tersebut antara lain, P. Nipah dan beberapa pulau Karang tak berpenduduk yang berbatasan dengan Singapura. P. Rondo berbatasan dengan Kepulauan Andaman (India), P. Miangas berbatasan dengan Philipina, P. Pasir Putih berbatasan dengan Australia dan ada satu pulau kosong di Kalimantan Barat yang dihuni nelayan Thailand. Negara-negara tetangga memiliki kesempatan terbuka untuk menguasai pulau-pulau tersebut dengan menggunakan pendekatan pembinaan Continuous Presence dan Effective Occupation. Selama ini penghidupan penduduk pulau-pulau tersebut banyak bergantung kepada negara tetangga terutama segi-ekonomi. Mereka juga lebih banyak menonton televisi dari siaran TV Malaysia atau Singapura. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap kebudayaan dan komitmen, hak dan kewajiban mereka selaku warga negara RI.
PENUTUP.
Demikian tulisan ini dibuat sebagai sumbangan pendapat dan bahan masukan perbicangan lebih jauh tentang pemberdayaan Wiltas, khususnya di bidang Hankam Wiltas.
Daftar Pustaka :
1. Pustaka TNI, Batas Laut Negara RI, Jakarta, 1999
2. Adi Sumardiman, Ir, SH, Sipadan dan Ligitan, SK. Kompas, Jakarta, 18 Desember 2002.
3. Frans B. Workala, SPd, MM, Pengembangan, Sumber Kekayaan Alam Daerah Perbatasan Dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional, Taskap KSA X Lemhannas, Jakarta 2002
4. Hasjim Djalal, Prof. DR, Penyelesaian Sengketa Sipadan Ligitan, Interpelasi ?, SK Kompas, Jakarta, 13 Januari 2003.
5. Umar S. Tarmansyah, Drs, Makna Fungsi Batas Negara Dalam Bingkai Pembinaan Daerah Pertahanan, Karmil, Jakarta, 2000.
6. Umar S. tarmansyah, Drs, Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh Untuk Pertahanan Keamanan dan Pembangunan Nasional, Jakarta, 1998
7. SK. Kompas, Sipadan-Ligitan, Ujian Kematangan Suatu Bangsa, Jakarta, 18 Desember 2002.
8. SK Kompas, Sangir Bobol, Indonesia Terancam, Jakarta, 23 Desember 2002.
Kolonel Ctp Drs. Umar S. Tarmansyah, Peneliti Puslitbang SDM Balitbang Dephan


Marine Cadastre adalah pengadministrasian wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan, termasuk semua kepentingan, hak, batasan, dan kewajiban yang ada di wilayah itu. Pengadministrasian wilayah di sini tentu saja diawali dengan penamaan, pengukuran, dan pemetaan wilayah termasuk penetapan batas-batasnya serta mencatat dan membukukannya dalam daftar-daftar dan buku-buku resmi kemudian memublikasikan hasil-hasilnya. Meskipun marine cadastre bukan peranti penetapan batas atau yurisdiksi internasional suatu negara, namun melalui publikasi marine cadastre setiap klaim atau persengketaan batas dapat segera diketahui. Bahkan telah diatur tentang kewajiban masing-masing negara pulau dan kepulauan adalah menyerahkan peta-peta batas wilayah teritorial, ZEE, dan landas kontinen kepada Sekretaris Jenderal PBB dengan koordinat-koordinatnya. Apabila kita telah melaksanakan marine cadastre, tentu banyak konflik dan sengketa, khususnya sengketa batas, dapat dihindari seperti kasus ambalat dan pulau-pulau lainnya yang rawan persengketaan.
wilayah Indonesia yang merupakan negara kepulauan dapat dilihat secara Historis dan Yuridis Formal, yaitu:
a.     Ordonansi Tahun 1939
Dilihat dari sejarahnya, dalam UUD 45 tidak menentukan batas-batas wilayah Republik Indonesia melainkan hanya tercantum ”Segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Dengan demikian, ketentuan Ordonansi 1939 (Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie 1939), tentang batas-batas laut wilayah masih berlaku, yaitu lebar laut wilayah Republik Indonesia adalah 3 mil diukur dari garis air rendah di pantai masing-masing pulau Indonesia. Asas tersebut sesuai dengan Hukum Laut Internasional sampai tahun 1951.
b.    Deklarasi Juanda 1957
Pada tanggal 13 Desember 1957 pemerintah Indonesia mengeluarkan pengumuman mengenai wilayah perairan Republik Indonesia yang dikenal sebagai Deklarasi Juanda, menyatakan:
·         Segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan negara Republik Indonesia, dan merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak negara Republik Indonesia.
·         Batas lautan teritorial  lebarnya 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau Negara Indonesia.
Untuk memperkuat kekuatan hukumnya, Deklarasi Juanda dipertegas dengan PERPU No.4 Th 1960 diikuti peraturan pelaksanaan lalulintas damai kendaraan laut asing dengan PP no.8 Th 1962. Selain itu Pemerintah Indonesia juga merasa perlu untuk mengadakan perjanjian perbatasan kontinental dengan pemerintah negara lain agar penyelesaian sengketa lebih mudah sebelum ditemukannya deposit mineral yang berharga. Antara lain : RI – Malaysia 27 Oktober 1969 (selat Malaka dan laut Cina selatan), RI – Thailand 17 Desember 1971 (selat malaka Utara), RI – Malaysia – Thailand (landas kontinen utara) 21 Desember 1971, RI – Australia ( laut Arafuru, pantai selatan Irian Jaya, dan pantai utara Irian Jaya ) 18 Mei 1971, RI – Australia ( laut Arafuru dan laut Timor )  9  Oktober1972, RI – India ( Sumetera – Nicobar ) 8 Agustus 1974.
c.     Landasan Kontinen Indonesia 1969
Pemerintah Indonesia tanggal 17 Februari 1969 mengumumkan tentang landasan kontinen Indonesia sampai kedalaman laut 200 m. Konsep ini lebih banyak sebagai konsep politik dan ketatanegaraan, yang didasarkan atas konsep kewilayahan nasional tahun 1957.
d.    Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia 1980 (ZZEI)
Pemerintah Indonesia mengumumkan tentang ZZEI, tanggal 21 Maret 1980, yang menyatakan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia selebar 200 mil diukur dari garis pangkal wilayah laut negara Indonesia.
e.    Konvensi Hukum Laut 1982
Konvensi Hukum Laut ke III di New York, memberi perluasan yurisdiksi negara-negara pantai di lautan bebas. Dengan demikan ZEEI dapat diakui oleh  asas hukum internasional.
A.    Karakteristik dan arti penting ekosistem pantai
Garis besar karakteristik ekosistem pantai, yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dan pengelolaan ekosistem pantai. Karakteristik ekosistem yang dimaksud meliputi : pemintakatan ekosistem pantai, sifat umum, arti penting ekosistem pantai, faktor yang mempengaruhi ekosistem pantai, dan bentuk lahan asal marin. Rincian lebih lanjut dari ekosistem pantai adalah sebagai berikut:
1. Mintakat wilayah pantai :
a. Arah ke darat : batas pengaruh pasan surut; vegetasi suka air; intrusi air laut ke dalam air tanah ; konsentrasi ekosistem bahari;
b. Arah laut : garis pecahn gelombang; pengaruh ativitas manusia di darat (Bakosurtaal,1990)
2. Sifat umum;
a. Dinamik dan unik
b. Biodiversitas tinggi
c. Marginal untuk penggunaan tertentu (Heather Viles dan Tom Spencer. 1995, Clrk, 1974).
3. Arti penting ekosistem pantai
a. Pesumber wilayah: yang dapat diperbarui dan yang tidak dapat diperbarui;
b. Konsentrasi aktivitas penduduk : perikanan, transportasi kompleks industri, permukiman, tempat rekreasi dan tempat pembuangan limbah
4. Faktor yang mempengaruhi ekositem pantai
a. Konfigurasi dasar
b. Dinamika air laut
c. Suhu air lut
d. Salinitas
B.    Contoh Kasus tentang ”Marine Cadastre”
Peranan Marine Cadastre Dalam Mengatasi Masalah Ambalat dan Wilayah Rawan Sengketa
Sengketa perairan dengan negeri jiran Malaysia kembali terjadi. Setelah pulau Sipadan dan Ligitan jatuh ke Malaysia, kini Malaysia mengklaim blok Ambalat sebagai milik mereka. Ambalat adalah sebuah blok yang kaya akan sumber daya minyak. Ambalat diklaim oleh pihak Malaysia setelah pengadilan Internasional memberikan pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia. Yang unik adalah pengadilan Internasional membuat keputusan tersebut karena pihak Malaysia terlihat ’serius’ untuk memiliki Sipadan dan Ligitan. Sedangkan Indonesia sendiri sudah ’serius’ mengelola blok Ambalat sejak tahun 80-an tanpa ada protes dari pihak Malaysia.
Indonesia sudah memperhitungkan bila ternyata Malaysia mengklaim menggunakan 12 mil. Maka dari itu, sebenarnya tidak akan tumpang tindih. Tetapi yang terjadi ternyata Malaysia tidak mengukur turun lurus tapi diagonal. Malaysia mengambil blok N-D 6 dan N-D 7. N-D 6 sebagian tumpang tindih dengan Blok Ambalat dan Blok East Ambalat yang dikelola Unocal. Kontrak itu telah disepakati pada akhir September 2004, sedangkan Shell baru masuk lewat Petronas Carigali.Blok N-D 6 dikelola Shell dan N-D 7 dikelola Petronas Carigali. ESDM sudah tahu bahwa itu wilayah teritori Indonesia. Maka kontrak East Ambalat diberikan ke Unocal. “Dan ambalat berikan ke ENI yang sudah mengebor. Lebih lanjut pada tahun 1999 Blok Ambalat sudah ditangani Shell. Pada tahun 2001 diambil alih ENI (Italia) sampai 2004 dan sudah melakukan pengeboran pada dua sumur.
Wilayah NKRI sebagaimana telah ditetapkan kembali pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 tahun 2002 bahwa batas-batas wilayah Republik Indonesia untuk daerah laut Sulawesi Selatan yang berbatasan dengan Malaysia setelah perundingan Sipadan dan Ligitan adalah :
1. 04° 10'00"LU - 118°53'50"BT Titik dasar P. Ligitan TD 36C
2. 04° 08'03"LU - 118°53'01"BT Titik dasar P. Ligitan TD 36B
3. 04° 06'12"LU - 118°38'02"BT Titik dasar P. Ligitan TD 36ª

Hal ini menunjukkan bahwa garis lintang 04° 10'00"LU merupakan garis batas NKRI dengan Malaysia. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penawaran wilayah kerja Blok East Ambalat masih berada di wilayah NKRI berdasarkan garis batas negara baik lama maupun setelah diundangkannya PP No 38 tahun 2002.
Malaysia adalah negara pantai biasa, yang hanya boleh memakai garis pangkal biasa (normal baselines) atau garis pangkal lurus (straight baselines) jika syarat-syarat tertentu dipenuhi. Karena itu, Malaysia seharusnya tidak menyentuh daerah itu karena ia hanya bisa menarik baselines Negara Bagian Sabah dari daratan utamanya, bukan dari Pulau Sipadan atau Ligitan.
Jika Malaysia berargumentasi, "tiap pulau berhak mempunyai laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinennya sendiri", maka Pasal 121 UNCLOS 1982 dapat membenarkannya. Namun, rezim penetapan batas landas kontinen mempunyai specific rule yang membuktikan keberadaan pulau-pulau yang relatively small, socially and economically insignificant tidak akan dianggap sebagai special circumstances dalam penentuan garis batas landas kontinen. Beberapa yurisprudensi hukum internasional telah membuktikan dipakainya doktrin itu.
Dengan demikian, yang perlu ditentukan kini adalah garis pangkal masing-masing negara. Jika situasi di Ambalat memanas dengan telah berhadap-hadapannya kapal perang dan pesawat tempur kedua negara, Malaysia mengatakan semua bisa dirundingkan, maka itu hanya akan mencapai deadlock jika Malaysia bersikukuh untuk dipakainya peta wilayahnya tahun 1979. Peta itu hanya tindakan unilateral yang tidak mengikat Indonesia. Indonesia telah menolak langsung peta itu sejak diterbitkan, karena penarikan baselines yang tidak jelas landasan hukumnya.
Ambalat jelas di bagian selatan Laut Sulawesi dan masuk wilayah Indonesia. Jika kedua negara tetap dalam posisi berlawanan, maka untuk mencegah konflik bersenjata, jalan keluar yang harus ditempuh adalah duduk dalam perundingan garis batas landas kontinen kedua negara, yang sekaligus berarti menyelesaikan kasus Ambalat dengan menerapkan prinsip equitable solution, seperti digariskan UNCLOS 1982.
Indonesia telah berkali-kali mengajak Malaysia duduk di meja perundingan mengenai batas landas kontinen, namun tak ada respons positif. Kini tingkat kesabaran rakyat Indonesia sedang diuji, kasus tenaga kerja Indonesia (TKI), kasus illegal logging, dan konflik Ambalat membawa pandangan negatif tentang Malaysia. Keberadaan TNI Angkatan Laut dapat dibenarkan karena tiap negara harus menjaga kedaulatan negaranya di daerah yang diyakini sebagai wilayahnya. Sampai saat ini belum ada penyelesaian yang jelas, walaupun pembicaraan antara Indonesia dan Malaysia sudah dilakukan. Persoalan Ambalat cukup memberi pelajaran bagi pemerintah Indonesia dalam mempertahankan wilayah negara kesatuannya. Mengapa demikian? Kita dapat melihat hal tersebut dari sejauh mana aparatur negara yang berwenang dalam mengamankan pulau-pulau yang berbatasan dengan negara tetangga.Namun, Indonesia memiliki keterbatasan dalam kekuatan angkatan laut yang tidak sebanding dengan luas wilayah yang harus diamankan.
Sebagai rakyat Indonesia kita juga harus menanggapi masalah ini secara arif dan kepala dingin. Jika jalan menuju kesepakatan masih ada, konvrontasi tak perlu dilakukan.  Kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan, dan kini masalah kawasan Ambalat, mestinya menyadarkan Indonesia memperhatikan pulau-pulaunya. Pulau dapat hilang bila si pemilik tidak menjaganya. Kolonel Laut Drs. Dede Yuliadi.dkk , mengatakan dalam bukunya “Posisi Strategis Pulau-Pulau Kecil di Wilayah Perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia”, ada empat kriteria pulau dinyatakan hilang. Dan parahnya, Indonesia memiliki resiko kehilangan pulau dari empat kriteria tersebut.
Kriteria pertama adalah hilang secara fisik, biasanya terjadi akibat proses geologis atau ulah manusia yang dapat menenggelamkan sebuah pulau. Contohnya adalah Pulau Nipa yang hampir tenggelam akibat penambangan pasir berlebihan di perairan Riau. Kriteria kedua adalah hilang secara kepemilikan. Status kepemilikannya berubah karena pemaksaan kekuatan militer maupun melalui proses hukum. Kekuatan militer telah memberi kepemilikan Pulau Falkland kepada Inggris ketika Argentina mengakuinya. Pulau Sipadan dan Ligitan lepas dari kepemilikan Indonesia ke Malaysia melalui jalur hukum. Kini kawasan Ambalat menjadi sengketa antar Malaysia dan Indonesia. Ketiga, hilang secara pengawasan. Dengan jumlah yang mencapai lebih dari 18.000 pulau, sebuah pulau dapat luput dari pengawasan pemerintah, terlebih bila posisinya dekat ke negara lain. Tanpa pengawasan, pulau-pulau tersebut dimanfaatkan masyarakat atau pemerintah negara yang berbatasan untuk berbagai kegiatan, misalnya pariwisata, perikanan, perkebunan bahkan pembangunan secara fisik. Pulau Batek di perbatasan RI dan Timor Leste merupakan contoh pulau yang memiliki kerawanan tersebut. Bila tidak diawasi atau dicegah, kedatangan aparat Timor Leste ke pulau tersebut semakin meningkat dan menjadi “alasan pembenar” status kepemilikannya. Keempat, hilang secara sosial dan ekonomi. Hal ini biasanya oleh praktek ekonomi masyarakat di pulau tersebut, diikuti interaksi sosial (perkawinan) dari generasi ke generasi, hingga terjadi perubahan struktur ekonomi maupun struktur populasi penduduk. Sebagai contoh, pendatang Philipina perlahan merubah struktur sosial dan ekonomi masyarakat Pulau Marore dan Pulau Miangas di Kepulauan Sangihe-Talaud. Secara kebangsaan mereka menjadi warga negara Indonesia, namun sosial ekonominya “tidak berbeda” dengan warga negara Philipina. Pada suatu saat, bila disuruh memilih, besar kemungkinan mereka akan memilih bergabung dengan Philipina daripada menjadi bagian NKRI. Hal ini disebabkan oleh rasio penduduk asli lebih kecil daripada pendatang, ditambah kedekatan psikologis (ikatan keluarga turun temurun) dan ekonomis (kegiatan ekonomi didominasi barang dan mata uang Philipina). Kasus seperti ini tidak hanya terjadi di pulau-pulau terluar, namun terjadi pula di perbatasan darat seperti di Kalimantan.
Disinilah letak peranan Marine Cadastre. Marine Cadastre adalah pengadministrasian wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan, termasuk semua kepentingan, hak, batasan, dan kewajiban yang ada di wilayah itu. Pengadministrasian wilayah di sini tentu saja diawali dengan penamaan, pengukuran, dan pemetaan wilayah termasuk penetapan batas-batasnya serta mencatat dan membukukannya dalam daftar-daftar dan buku-buku resmi kemudian memublikasikan hasil-hasilnya. Meskipun marine cadastre bukan peranti penetapan batas atau yurisdiksi internasional suatu negara, namun melalui publikasi marine cadastre setiap klaim atau persengketaan batas dapat segera diketahui. Bahkan telah diatur tentang kewajiban masing-masing negara pulau dan kepulauan adalah menyerahkan peta-peta batas wilayah teritorial, ZEE, dan landas kontinen kepada Sekretaris Jenderal PBB dengan koordinat-koordinatnya. Apabila kita telah melaksanakan marine cadastre, tentu banyak konflik dan sengketa, khususnya sengketa batas, dapat dihindari seperti kasus ambalat dan pulau-pulau lainnya yang rawan persengketaan.
C.    Kontribusi Geografi Dalam Pengelolaan Ekosistem Pantai Pulau Kecil dan Laut
Sejalan dengan pokok kajian geografi yang menekankan pada data spasial tentang karakteristik ekosistem pantai dan pulau kecil menjadi kontribusi utama dari geografi. Analisis ekologis dan kewilayahan terhadap data spasial tersebut menghasilkan kajian yang berorientasi pengelolaan yang wawasan lingungan.
1.    Data spasial
a. Karakteristik dan potensi sumberdaya alam air, lahan, mineral tambang,                          pertanian, perikanan.
b. Potensi sumberdaya manusia
c. Permasalahan lingkungan: erosi/ abarasi, deposisi dan polusi
d. Potensi sumberdaya binaan
e. Kerawanan bencana alam yang mungkin terjadi
2.    Analisis ekologi
a. Perubahan ekosistem akibat ekosistem manusia
b. Perubahan sosial ekonomi akibat gangguan lingkunga  ekosistem
c. Pengaruh penggunaan lahan di daerah atas terhadap ekosistem pantai
d. Analisi enteraksi, sebab akibat antara komponnen lingkungan fisik dan ekosistem pantai.
3.    Analisis kompleks wilayah
a. Menentukan pola agihan dari pulau-pulau kecil dan lautan
Pemintakatan ekosistem pantai, pulau kecil dan lautan
b.Keterkaitan antara satuan ekosistem terhadap yang lain; keterkaitan antara pulau-pulau kecil, keterkaitan mintakat kecil, keterkaitan mintakat ekosistem satu terhadap yang lain.
4.    Sintesis geografis
a. Rekomendasi pemecahan masalah lingkungan
b. Strategi pengembangan
c. Rekomendasi alternatif pengelolaan ekosistem pantai, pulau kecil dan laut.
D.    Pemanfaatan Sistem Informasi Geografi(SIG)
 Untuk mendukung perencanaan terpadu, perlu dilakukan digitasi data dan diolah kedalam  peta tematik dan peta yang ditumpang susun. Hal ini dapat dibuat dengan meggunakan Sistem Informasi Geografi, berbagai pihak sektoral swasta dan Pemda yang merencanakan sesuatu, dapat dipetakan dan diintregasikan untuk mengetahui pilihan-pilihan managemen dan alternatif perencanan yang paling optimal. Kombinasi sektor atau kegiatan yang sinergis dan mempunyai keunggulan komparatif secara ekonomis tetapi dampak lingkungannya minimal dapat ditampilkan, sihingga Bappeda dapat dapat menyeleksi sektor mana kegiatan yang paling layak dan tidak layak dilaukukan.
a.     Pengembangan Sumberdaya Manusia
Penggunaan teknologi tinggi dalam perencanan terpadu ini nampaknya baru dalam tahap permulaan, karena disadari bahwasumberdaya manusia khuusnya di Daerah tingkat I dan II masih terbatas. Untuk itu diperlukan pelatihan yang sistematis dan berjenjang, sehingga aparat-aparat daerah dan pusat dapat mengembangkan Siatem Informasi Geografis ini dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Beberapa pelatihan khusus diperlukan antara lain tentang : IntregratedCoastal Zone Planning and managment, computer Tecnologi, GIS Remote Sensing Ekosistem Terumbu karang, pandang lamun dan mangrove.  Pengembangan sumberdaya ini dibutuhkan untuk membentuk aparat daerah yang mampu menguasai perencanaan makro dengan berbagai pertimbangan sisoal ekonomi dan lingkungan dan menyusun pilihan-pilihan manageman yang sinergis dan komparatif.
b. Monitoring
 Untuk menghindari dampak, baik alami maupun buatan, perlu adanya instansi yang bertanggung jawab melakukan monitoring antar lain tingginya psang surut air laut dan perkembangan kehidupan sumber daya hayati laut dan pesisir. Data tersebut dapat memberikan prakiraan sifat-sifat gelombang permukan air laut sehingga dampak tsunami dapat dihindarai seperti yang belum lama telah terjadi di Aceh dapat dihindarkan. Monitoring juga diperlukan untuk mengetahui dampak tumpahan minyak yang terjadi di jalur pelayaran seperti Selat Malak, makasar dan Lombok. Bila tumpahan terjadi tindakan apa yang harus segera dilakukan, siapa yan mengkoordinasikan penanggulangannya, dan siapa yang mengajukan klaim atas kerugian yang ditimbulkannya, dendaknya sudah jelas. Termasuk kasus blok Ambalat.
c. Pengembangan Kelembagan (Instittutional Strengthening)
Kelembagaan ini dapat diartikan dalam dua bagian :
o    pertama, kelembagaan sebagai institut yaitu, lembaga\organisasi berbadan hukm untuk mengelola suatu kegiatan.
o    Kedua, pelembagaan nilai-nilai atau institutionolized.
Kelembagaan sebagai institut dikembankan melalui tiga aspek yaitu :
o    Pertama, peningkatan kemampuan aparatur yang bekerja di lembaga tersebut, dan mobilisasi tenaga untuk bekerja  dilembaga tersebut.
o    Kedua, menyediakan fasilitas ruang kantor, peralatan, dan bahan serta fasilitas lainya untuk mengoperasikan lembaga tersebut
o     Ketiga, adalah penyediaan dana operasional dan pemeliharaan serta pembangunan untuk membiayai kegiatan lembaga tersebut.
Pelembagan nilai-nilai, dikembangkan dengan memasyarakatkan hasil-hasil yang dikerjakan oleh lembag tersebut kemasyarakat yang menjadi target atau pengguna jasa lembaga tersebut. Nilai-nilai yang dilembagakan bisa berupa peraturan prundang undangan, peraturan daerah; tataruang wilayah pesisir dan lautan. pengelolaan sumberdaya kelautan dan pesisir dengan wwasn pembanguna yang berkelanjutan
Strategi pengembangan wilayah pantai secara berkelanjutan pada dasarnya merupakan strategi pembangunan yang mengacu pada waktu ambang batas yang luwes pada laju pemanfaatan ekosistem alami, serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini dituntaskan oleh kemampuan biosfer menerima/limbah dampak kegiatan manusia. Sehingga dengan kata lain pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alami yang sedimikian rupa sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia tidak rusak. Dalam hubungan tersebut maka dalam pelaksananya perlu diturunkan lewat pengertian ekologis, yang selanjutnya ditafsirkan melalui pengertian dalam konsep sosial ekonomis, dan kemudian diterjemahkan kedalam dimensi kelembagaan dan hukum/ etis yang diperlukan.
a.     Dimensi ekologis
Setiap ekosstem alami termasuk wilayah pantai/pesisir, memiliki empat fungsi pokok bagi manusia, yaitu :
1.fungsi mengatur
2.fungsi mendukung
3.fungsi melakukan produksi
4.fungsi memberikan informasi
Ke-4 fungsi tadi saling mengkait satu dengan yang lainya, dan hanya bisa berlangsung bila syarat berikut dipenuhi:
1)    ada keharmonisan spasial;
2)    kapasitas berasimilasi terjaga
3)    pemanfaatan yang dilakukan tidak melampui daya produsinya.
Keharmonisan spasial merupakan persyaratan dimana semua kegiatan yang dilakukan saling mendukung. Karena itu suatu metode atau zoning/ peruntukan ruang perlu dilakukan.jadi penting kiranya untuk menetapkan zona preservasi (tidak boleh ada kegiatan); zona konservasi (kegiatanterbatas), Zona pemanfaatan/ peruntukan. Zona konservasi dan preservasi penting untuk memelihara terjadinya proses-proses alami, seperti : daur hidrologi, daur unsur hara dan asimilasinya. luas zona ini disarankan berkisar antara 30% - 50% total keluasan ekosistem yang ada, disesuaikan dengan kondisi biofisik kimianya. Zona pemanfaatan adalah zona di mana seluruh kegiatan pembangunan ditempatkan. Baik pembangunan pelabuhan, industri, perikanan, pertanian dan lain-lain. Penempatan setiap kegiatan perlu  berada dalam zona pemanfaatan, dan hendaknya ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik dan kimiawi sesuai dalm zona tersebut, sehingga membentuk suatu mozaik yang harmonis (saling mendukung). Pemanfaatan sumberdaya terbarui dalam satu satuan waktu perlu lebiuh kecil dari kemampuanya berproduksi pada kemampuannya berproduksi pada satuan waktu yang sama. Sedangkan pemanfaatan sumberdaya tak terbarui perlu demikian sehingga efektif tidak merusak lingkungannya.
a.     Dimensi sosial ekonomi
Pemilihan alternatif pembangunan dilakukan dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah, serta kondisi dengan dan tanpa pembangunan dari berbagai pembangunan yang ditinjau. Alternaif yang dipilih adalah yang paling cepat mengembalikan investasi, atau yang perbandingan antara keuntungan terhadap biayanya tinggi. Akan ttapi untuk menjamin suatu pembangunan yang berkelanjutan, maka masalah lingkunngan yang terjadi perlu dipertimbangkan, dalam waktu dan ruang. Bisanya dievaluasi lewat dampak yang mungkin terjadi diaanggap sebagai suatu eksternalitas artiya pihak yang membuat kerusakan. Dalam pola pikir ini maka resiko perusahaan juga dianggap bisa ditanggunng pada pihak penderita, dalam pengertian bahwa kondisi lingkungan yang diinginkan adalah fungsi dari kondisi awal, modal awal, dan modal untuk pemeliharaan. Perlu diingat bahwa porioritas adalah bagi masyarakat miskin dikawasan pantai kerena perusakan lingkungan yang terjadi, seperti penebangan mangrove dan penambangan terumbu karang adalah dilandsi oleh kebutuhan hidup yang paling dasar.
b.    Dimensi sosial politik
Dimensi ini meninjau keamanan politis untuk melakukan pengaturan antar unsur yang terkait dalam pembangunan wilayah pantai, supaya secara terpadu, sinergik sinkron menunjang tercapainya tujuan pembangunan secara optimal. Konsep pengaturan secara optimal konsep pengaturan dalam ilmu rekayasa melalui berbagai tahapan kerja yang harus dilalui dalam pembangunan. Tahapan trsebut adalah:
1)        Planing
2)        Design
3)        Implementasi
4)        Operasi dan pemeliharaan
5)        Pemantauan\ kontrol disetiap tahapan pelaksanan.
Oleh karena menurut UUD 1945 pasal 33 ayat 2, seluruh sumberdaya alam diatur oleh negara bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, maka seluruh penggunaan/pembangunan sumberdaya alam baik yang dilakukan pemerintah sendiri, maupun yang dilakukan maupun oleh swasta perlu melalui mekanisme perizinan dari pemerintah mengingat bahwa setiap pembangunan dilakukan secaracbertahap, maka perizinan diberikan sesuai dengan tahapannya. Lembaga yang terkait disini adalah : Pemerintah, sebagai pemberi izin dan pemakrasa pembangunan : swasta, masyarkat,dan individu sebagi pelaksana.
Dalam pembangunan, suatu keterbukaan informasi perlu dilakukan, sasaran pembanganan, resiko, dan berbagai kemungkinan peran serta yang diperlukan. Dengan cara ini maka pelksanaan pembangunan dan pern serta masyarakat dlam pelaksanaan dan pemeliharan pembangunan akan dapat diharapkan.
c.     Dimensi Hukum dan Etika
Dimensi ini merupakan upaya meletakkan landasan dan sekaligus strategi pengaturan kerja agar etka kerja dan pelaksanaan kerja sesuai dengan pengaturan yang diperluan . dimensi ini sekaligus merupakan payung, batas kendali dan hukuman, sistem penghargaan dan sanksi perlu dengan jelas perlu dimengerti dan diterapkan agar pengaturan bisa berjalan dengan baik.
Untuk melakukan hal di atas diperlukan hal sebagai berikut ini:
1)    Informasi yang diperlukan bisa diketahui oleh semua pihak yang bersangkutan secar akurat dan tepat waktu.
2)    Pengaturan fungsi, hak dan kuwajiban dan wewenang setiap lembaga bisa terungkap dengan jelas.
3)    Standard, manual dan guidelines. Standard dapat diumpamakan sebagai suatu sistem informasi yang mekanisme otomatis, sehingga suatu kondisi yang singkron dan terpadu bisa didapatkan. Sedangkan manual dan guidelines bisa menuntun pihak perencana agar dapat melakukan pekerjaan dengan benar disetiap tahapan langkah penanganan kerja.
4)    Pendidikan dan pelatihan merupakan upaya sadar dan terencana untuk meningkatkan daya kognitif dan afektif serta aksiologis seseorang.
5)    Research and Development untuk mengembangkan ilmu rekayasaq pantai.
6)    Pembentukan wadah untuk tukar pengalaman dan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi pantai
d.    Pengelolaan sumberdaya Kelautan danWilayah pesisir Secar Terpadu
Sumberdaya laut dapat sangat bermanfaat untuk meningkatkan devisa dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selama ini belum terlihat adanya koordinasi dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan pesisir. masing-masing instansi dari sektor-sektor pembangunan masih menyelesaikan tugasnya sesuai tugas departeman masing-masing. Demikikian juga dalam hal penanganan masalah yang berkaitan dengan sumber daya kelautan dan wilayah pesisir, masing-masing instansi masih bekerja sendiri-endiri. Kalaupun ada koordinasi belum dapat dikatakan menyeluruh dan sempurna. Guna mencapai koordinasi yang baik dan efektif, perlu dibentuk suatu wadah untuk koordinasi tersebut. Misalnya badan koordinasi pengelolaan sumberdaya kelautan dan wilayah pesisir pantai. 

KESIMPULAN
Marine Cadastre adalah pengadministrasian wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan, termasuk semua kepentingan, hak, batasan, dan kewajiban yang ada di wilayah itu. Pengadministrasian wilayah di sini tentu saja diawali dengan penamaan, pengukuran, dan pemetaan wilayah termasuk penetapan batas-batasnya serta mencatat dan membukukannya dalam daftar-daftar dan buku-buku resmi kemudian memublikasikan hasil-hasilnya. Meskipun marine cadastre bukan peranti penetapan batas atau yurisdiksi internasional suatu negara, namun melalui publikasi marine cadastre setiap klaim atau persengketaan batas dapat segera diketahui. Bahkan telah diatur tentang kewajiban masing-masing negara pulau dan kepulauan adalah menyerahkan peta-peta batas wilayah teritorial, ZEE, dan landas kontinen kepada Sekretaris Jenderal PBB dengan koordinat-koordinatnya.
Kasus Blok Ambalat, merupakan cerminan dari tidak tertatanya marine cadastre seperti yang telah dijelaskan di atas. Terlepas bahwa itu masalah sensitif yang jelas bagi saya pribadi mempertahankan keutuhan wilayah Republik Indonesia adalah kewajiban kita semua. Perang adalah solusi terakhir, selama jalur diplomatik dan jalan damai masih bisa ditempuh, tentu kita semua setuju penyelesaian dengan cara yang damai, arif dan bijaksana. Namun yang pasti sesuai prinsip wawasan nusantara, Indonesia telah melihat diri dan juga lingkungannya dengan menghormati dan menjalankan ketentuan Internasional dan telah berusaha memposisikan diri pada tempat yang benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar