Asal Istilah “Rumah Kaca”
Cahaya tampak, yang memungkinkan kita menikmati tamasya warna, hanyalah salah satu anggota dari keluarga besar gelombang elektromagnetik. Saudara-saudara dalam keluarga besar ini dibedakan atas panjang gelombangnya. Terhitung sulung adalah gelombang radio, yang panjang gelombangnya beberapa meter hingga lebih dari ratusan meter. Cahaya tampak menjadi salah satu adiknya, dengan panjang gelombang kurang dari 0,7 mikrometer (1 mikrometer = 0,001 mm). Saudara dekat cahaya tampak bernama infra merah, yang bersebelahan dengan warna merah dari cahaya tampak.
Setiap anggota keluarga mempunyai sifat dan kemampuannya sendiri. Gelombang radio menyampaikan siaran berita dan musik, pancaran infra merah menyampaikan panas. Gelombang radio berasal dari antena pemancar, infra merah bersumber pada benda panas.Lalu sedikitnya ada dua perbedaan antara pancaran infra merah dan cahaya tampak. Pertama, infra merah bersifat tidak terlihat.Kedua, infra merah tidak mampu menembus kaca.
Dengan demikian hanya terang cahaya matahari yang dapat memasuki ruang depan rumah dengan menerobos kaca jendela. Energi yang dibawa cahaya akan mengenai lantai, kursi, meja, dan perabot lain. Lama kelamaan oleh energi tersebut, benda-benda menjadi panas, dan pada gilirannya mengeluarkan infra merah. Tetapi pancaran infra merah akan dibendung oleh kaca, gagal untuk keluar, menjadikan ruangan semakin panas.
Gejala ini dimanfaatkan di negara dingin ketika udara yang beku tidak membolehkan tumbuhnya sayuran yang sangat dibutuhkan. Dibuatlah bangunan yang seluruh dinding dan atapnya dari kaca. Maka gejala yang menghinggapi ruang depan rumah tadi terulang di sini. Hawa di dalam menjadi cukup hangat bagi tanaman seperti tomat, ketimun, meskipun mungkin salju bertebaran di luar. Bangunan ini dikenal sebagai “rumah kaca”.
Pernahkah berada di sebelah nyala lampu pijar 100 watt? Hangat? Panas? Di siang hari Indonesia, energi dari matahari yang jatuh pada tiap meter persegi tanah bisa mencapai enam kali harga itu. Tentu sudah akrab kita dengan rasa teriknya. Lalu apakah dengan demikian bumi menjadi semakin panas?
Jangan kuatir. Jika penghuni rumah merasa beruntung dengan penemuan kaca, penghuni dunia patut berterima kasih karena gas nitrogen dan gas oksigen dalam atmosfir kita bersifat transparan, baik untuk cahaya tampak maupun untuk pancaran infra merah.
Dengan demikian ketika bumi dan segala benda di permukaannya dipanaskan oleh matahari, infra merah yang terbit dari benda-benda dapat bebas terbang ke angkasa. Pergi membawa serta panas yang membuat gerah. Suhu permukaan bumi pun tidak bakal naik secara drastis, keseimbangan tercapai, dan kehidupan berlangsung nyaman.
Tetapi sayang, ada jenis-jenis gas yang menghambat infra merah. Yang populer ialah karbon dioksida (CO2), keluar antara lain sebagai sisa pembakaran dari mesin mobil dan cerobong pabrik. Tatkala industri dan jumlah mobil meningkat, bertambah pula gas penghambat infra merah dalam atmosfir. Terbentuklah semacam selimut, yang membuat naiknya suhu permukaan bumi. Orang menyebutnya “efek rumah kaca”, mengacu pada gejala dalam bangunan kaca seperti dijelaskan sebelumnya.
Proses Terjadinya Efek Rumah Kaca
Sinar matahari memanaskan laut dan daratan. Permukaan bumi yang memanas, kemudian meradiasikan panas dalam bentuk sinar inframerah keruang angkasa. Sebagian sinar inframerah tersebut diserap oleh gas-gas rumah kaca yang terdapat di atmosfer, seperti uap air dan karbon dioksida. Dengan demikian panas terperangkap, tidak dapat lepas keruang angkasa, sehingga suhu permukaan bumi naik.
Jika efek rumah kaca tidak ada, suhu permukaan bumi akan menjadi 33 derajat celcius lebih rendah dibandingkan sekarang, sehingga berada dibawah titik beku air. Jadi dalam kondisi normal, efek rumah kaca ini sebenarnya diperlukan, agar bumi menjadi nyaman untuk dihuni.
Kadar alami karbon dioksida di atmosfer ini, dikendalikan oleh interaksi yang berlangsung antara atmosfer, lautan dan biospher, yang dikenal sebagai daur geokimia karbon. Aktifitas manusia yang melepaskan karbon berlebihan, telah mengganggu daur karbon ini. Akibatnya kadar karbondioksida di atmosfer bertambah tinggi, yang selanjutnya meningkatkan efek rumah kaca tersebut
Gas-Gas Rumah Kaca
Berdasarkan guidelines IPCC 1996 yang telah direvisi, yang dikategorikan sebagai gas rumah kaca adalah CO2, metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC, merupakan kelompok gas), perfluorokarbon (PFC, merupakan kelompok gas), dan sulfur heksafluorida (SF6). Gas-gas inilah yang juga menjadi acuan pada Protokol Kyoto (1997). Gas rumah kaca lain yang terdapat pada guidelines IPCC 2006 adalah nitrogen trifluorida (NF3), trifluorometil sulfur pentafluorida (SF5CF3), eter terhalogenasi, dan halokarbon lain. Gas-gas yang mengandung fluorida seperti HFC, PFC, SF6, SF5CF3, dan NF3 dapat dikelompokkan sebagai gas-gas terfluorinasi (fluorinated gases). Gas-gas ini diproduksi terutama sebagai pengganti zat-zat perusak ozon atau Ozone Depleting Substances (ODS), terutama klorofluorokarbon (CFC) atau freon yang banyak digunakan sebagai refrigeran dan propelan aerosol.
Ternyata usaha untuk mengganti zat-zat perusak ozon menimbulkan masalah baru, yaitu pemanasan global. Bahkan, zat-zat tersebut memiliki potensial pemanasan global (global warming potential, GWP) yang lebih besar dibandingkan dengan CO2. Sebagai contoh, SF5CF3 memiliki GWP 18.000 kali GWP CO2. NF3, senyawa yang banyak dihasilkan dari proses pembuatan semikonduktor dan pembuatan LCD ini memiliki GWP 16.800 kali GWP CO2. Namun secara keseluruhan, potensi senyawa-senyawa tersebut belum menyamai potensi yang disebabkan oleh CO2, karena emisi CO2 yang sangat besar. Namun, kontrol dini terhadap emisi senyawa-senyawa tersebut harus dilakukan agar tidak menimbulkan permasalahan yang lebih besar.
Selain gas-gas rumah kaca yang telah disepakati pada Protokol Kyoto, para ilmuwan juga menyebutkan beberapa zat yang harus diwaspadai karena ikut berperan terhadap pemanasan global. Zat-zat tersebut adalah ozon, uap air, dan aerosol. Zat-zat ini juga dapat dikategorikan sebagai gas rumah kaca.
Ozon merupakan gas rumah kaca yang secara kontinyu dihasilkan dan dirusak di atmosfer melalui reaksi kimia. Di troposfer, aktivitas manusia telah meningkatkan kadar ozon melalui pelepasan gas seperti karbon monoksida, hidrokarbon, dan oksida-oksida nitrogen, yang dapat bereaksi secara kimia menghasilkan ozon.
Uap air merupakan gas rumah kaca dengan kadar terbanyak di atmosfer. Namun demikian, aktivitas manusia tidak berpengaruh besar terhadap keberadaan uap air di atmosfer. Aerosol adalah partikel-partikel kecil yang berada di atmosfer dengan ukuran, konsentrasi dan komposisi kimia yang bervariasi. Aerosol di atmosfer berasal dari emisi aerosol secara langsung atau terbentuk dari senyawa-senyawa lain yang ada di atmosfer. Pembakaran bahan bakar fosil dan biomassa, serta proses-proses industri melepaskan aerosol yang mengandung senyawa-senyawa sulfur, senyawa organik, dan jelaga. Aerosol di atmosfer juga dapat muncul dari alam, seperti dari letusan gunung berapi.
Tabel 1. Ikhtisar Gas-gas Rumah Kaca di Atmosfer
Gas | Sumber Antropogenik utama | Waktu residu | Umur (tahun) |
CO | Pembakaran bahan bakar fosil dan biomas | Bulanan | 0,4 |
CO2 | Pembakaran bahan bakar fosil dan Pembabatan hutan | 100 tahunan | 7 |
CH4 | Pertanaman padi Peternakan, tanam Produksi bahan bakar fosil | 10 tahunan | 11 |
NOx | Pembakaran bahan bakar fosil dan biomas | harian | *** |
NO2 | Pemupukan Nitrogen Pembabatan hutan Pembakaran biomas | 170 tahunan | 150 |
SO2 | Pembakaran bahan bakar fosil dan emisi bahan bakar | Harian – mingguan | *** |
CFCs | Semprotan aerosol, Pendingin, busa | 60-100 tahunan | 8 – 110 |
Sumber: Killeen. 1996.
Karakteristik Gas-Gas Rumah Kaca
1. Uap Air
Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai. Uap air adalah gas rumah kaca yang timbul secara alami dan bertanggungjawab terhadap sebagian besar dari efek rumah kaca. Konsentrasi uap air berfluktuasi secara regional, dan aktifitas manusia tidak secara langsung mempengaruhi konsentrasi uap air kecuali pada skala lokal.
Dalam model iklim, meningkatnya temperatur atmosfer yang disebabkan efek rumah kaca akibat gas-gas antropogenik akan menyebabkan meningkatnya konsentrasi uap air mengakibatkan meningkatnya efek rumah kaca; yang mengakibatkan meningkatnya temperatur; dan kembali semakin meningkatkan jumlah uap air di atmosfer. Keadaan ini terus berkelanjutan sampai mencapai titik ekuilibrium (kesetimbangan). Oleh karena itu, uap air berperan sebagai umpan balik positif terhadap aksi yang dilakukan manusia yang melepaskan gas-gas rumah kaca seperti CO2. Perubahan dalam jumlah uap air di udara juga berakibat secara tidak langsung melalui terbentuknya awan.
2. CO2(Karbondioksida)
Karbon dioksida adalah gas terbanyak kedua. Ia timbul dari berbagai proses alami seperti: letusan gunung berapi, hasil pernafasan hewan dan manusia (yang menghirup oksigen dan menghembuskan karbon dioksida); dan pembakaran material organik (seperti tumbuhan).
Manusia telah meningkatkan jumlah karbon dioksida yang dilepas ke atmosfer ketika mereka membakar bahan baker fosil, limbah padat, dan kayu untuk menggerakkan kendaraan dan menghasilkan listrik. Pada saat yang sama, jumlah pepohonan yang mampu menyerap karbon dioksida semakin berkurang akibat perambahan hutan untuk diambil kayunya maupun untuk perluasan lahan pertanian.
Karbon dioksida dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Fotosintesis adalah proses memecah karbondioksida dan melepaskan oksigen ke atmosfer serta mengambil atom karbonnya. Walaupun lautan dan proses alam lainnya mampu mengurangi karbon dioksida di atmosfer, aktifitas manusia yang melepaskan karbon dioksida ke udara jauh lebih cepat dari kemampuan alam untuk menguranginya.
3. CH4 (Metan)
Metana yang merupakan komponen utama gas alam juga termasuk gas rumah kaca. Ia merupakan insulator yang efektif, mampu menangkap panas 20 kali lebih banyak bila dibandingkan karbondioksida. Metana dilepaskan ke atmosfir selama produksi dan transportasi batu bara, gas alam danminyak bumi. Metana juga dihasilkan dari pembusukan limbah organik di tempat pembuangan sampah (landfill), bahkan dapat keluarkan oleh hewan-hewan tertentu, terutama sapi, sebagai produk samping dari pencernaan.
4. N2O (Nitrous Dioksida)
Dinitrogen oksida adalah gas insulator panas yang sangat kuat. Ia dihasilkan terutama dari pembakaran bahan bakar fosil dan oleh lahan pertanian. Ntrogen oksida dapat menangkap panas 300 kali lebih besar dari karbondioksida. HFCs (Hydrofluorocarbons), PFCs (Perfluorocarbons) dan SF6 (Sulphur hexafluoride). Gas rumah kaca lainnya dihasilkan dari berbagai proses manufaktur. Campuran berflourinasi dihasilan dari peleburan aluminium. HFCs (Hydrofluorocarbons) terbentuk selama manufaktur berbagai produk, termasuk busa untuk insulasi, perabotan (furniture), dan tempat duduk di kendaraan. Lemari pendingin di beberapa negara berkembang masih menggunakan PFCs (Perfluorocarbons) sebagai media pendingin yang selain mampu menahan panas atmosfer juga mengurangi lapisan ozon (lapisan yang melindungi Bumi dari radiasi ultraviolet). Para ilmuan telah lama mengkhawatirkan tentang gas-gas yang dihasilkan dari proses manufaktur akan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Pada tahun 2000, para ilmuan mengidentifikasi bahan baru yang meningkat secara substansial di atmosfer. Bahan tersebut adalah SF6 (Sulphur hexafluoride). Konsentrasi gas ini di atmosfer meningkat dengan sangat cepat, yang walaupun masih tergolong langka di atmosfer tetapi gas ini mampu menangkap panas jauh lebih besar dari gas-gas rumah kaca yang telah dikenal sebelumnya. Hingga saat ini sumber industri penghasil gas ini masih belum teridentifikasi.
Bagaimana Gas Rumah Kaca berperan dalam efek rumah kaca dan merubah iklim bumi? Mekanismenya kurang lebih dapat dijelaskan sebagai berikut: “atmosfer,” adalah lapisan dari berbagai macam gas yang menyelimuti bumi, dan merupakan mesin dari sistem iklim secara fisik. Ketika pancaran/radiasi dari matahari yang berupa sinar tampak atau gelombang pendek memasuki atmosfer, beberapa bagian dari sinar tersebut direfleksikan atau dipantulkan kembali oleh awan-awan dan debu-debu yang terdapat di angkasa, sebagian lainnya diteruskan ke arah permukaan daratan. Dari radiasi yang langsung menuju ke permukaan daratan sebagian diserap oleh bumi, tetapi bagian lainnya “dipantulkan” kembali ke angkasa oleh es, salju, air, dan permukaan-permukaan reflektif bumi lainnya. Proses pancaran sinar matahari dari angkasa menembus atmosfer sampai menuju permukaan bumi hingga dapat kita rasakan suhu bumi menjadi hangat disebut efek rumah kaca. Tanpa ada efek rumah kaca di sistem ikim bumi, maka bumi menjadi tidak layak dihuni karena suhu bumi terlalu rendah (minus).
Dari penjelasan di atas dapat kita mengerti bagaimana mekanisme terjadinya efek rumah kaca di bumi. Lalu bagaimana keterkaitan antara efek rumah kaca, pemanasan global dan perubahan iklim? Secara sederhana dijelaskan sebagai berikut sinar matahari yang tidak terserap permukaan bumi akan dipantulkan kembali dari permukaan bumi ke angkasa. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, sinar tampak adalah gelombang pendek, setelah dipantulkan kembali berubah menjadi gelombang panjang yang berupa energi panas (sinar inframerah), yang kita rasakan. Namun sebagian dari energi panas tersebut tidak dapat menembus kembali atau lolos keluar ke angkasa, karena lapisan gas-gas atmosfer sudah terganggu komposisinya (komposisinya berlebihan). Akibatnya energi panas yang seharusnya lepas keangkasa (stratosfer) menjadi terpancar kembali ke permukaan bumi (troposfer) atau adanya energi panas tambahan kembali lagi ke bumi dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga lebih dari dari kondisi normal, inilah efek rumah kaca berlebihan karena komposisi lapisan gas rumah kaca di atmosfer terganggu, akibatnya memicu naiknya suhu rata-rata dipermukaan bumi maka terjadilah pemanasan global. Karena suhu adalah salah satu parameter dari iklim dengan begitu berpengaruh pada iklim bumi, terjadilah perubahan iklim secara global.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar