BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai upaya mewujudkan terlaksananya pembangunan yang berkeadilan sosial, meningkatkan kemampuan sendiri dan perkembangan ekonomi Indonesia diperlukan adanya suatu kebijakan strategis. Proses kebijaksanaan tersebut tentunya harus diarahkan pada suatu kerja sama yang dalam pelaksanannya dapat berjalan secara serasi. Di Indonesia permasalahan tersebut dituangkan dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004.
Seiring dengan bergulirnya waktu, pemerintahpun menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004-2009. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009 tersebut secara global diuraikan mengenai tujuh arah kebijakan di bidang peningkatan investasi dan ekspor non migas. Tujuh arah kebijakan tersebut antara lain meliputi pengurangan biaya transaksi dan praktek ekonomi biaya tinggi baik untuk tahapan memulai (start up) maupun tahapan operasi suatu bisnis, menjamin kepastian usaha dan meningkatkan penegakan hukum, perbaikan kebijakan investasi dengan merumuskan cetak biru pengembangan kebijakan investasi ke depan, memperbaiki harmonisasi peraturan perundangan antara pusat dan daerah terutama di dalam pengembangan (formalisasi) dan operasionalisasi usaha di daerah-daerah, peningkatkan akses dan perluasan pasar ekspor serta penguatan kinerja eksportir dan calon eksportir, kebijakan perdagangan dalam negeri diarahkan untuk mewujudkan perdagangan domestik yang kuat dan menciptakan iklim bagi terwujudnya kelancaran koleksi dan distribusi barang dan kegiatan jasa perdagangan, dan pengembangan pariwisata 5 (lima) tahun ke depan diarahkan pada peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara.
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)Tahun 2204-2009.http://www.bappenas.go.id/index.php?module=Filemanager&func=download&pathext=ContentExpress/RPJMN2004/&iew=Bab%2015%20(Investasi%20dan%20Ekspor%20Non%20Migas).doc Diakses 26 Desember 2006) Untuk meningkatkan sektor investasi (penanaman modal) berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah. Meningkatkan penanaman modal ke dalam negeri merupakan salah satu langkah yang harus dilakukan untuk merangsang kembali sektor usaha di Indonesia. Pada masa krisis saat ini tingkat penanaman modal menurun sangat tajam dibandingkan dengan masa sebelum krisis. Penurunan ini secara langsung berdampak pada rendahnya pertumbuhan di sektor ekonomi.
Dalam hal lalu lintas penanaman modal dapat disimpulkan bahwa terjadi pelarian modal dimana arus modal keluar lebih besar daripada arus yang masuk. Penurunan tingkat penanaman modal ini disebabkan karena beberapa hal terutama faktor keamanan dan stabilitas politik. Situasi kemanan yang belum membaik telah menghambat niat penanam modal dalam dan luar negeri untuk segera menanamkan modalnya di Indonesia. (Kompas, Sabtu 4 Februari 2006)
Dari tahun ke tahun dan dari rezim pemerintahan satu ke rezim pemerintahan lainnya kita terus terjebak dalam persoalan klasik problem investasi yang sama. Keluhan investor dari waktu ke waktu juga semakin panjang. Tahun 2005 Indonesia masih boleh berlega hati hati dengan meningkatnya penanaman modal, baik penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN). Namun tahun 2006 ini kondisinya semakin sulit bagi Indonesia terutama jika Indonesia tidak kunjung menata diri. Dari proyek penanaman modal asing tahun 2005 yang berjumlah 909 proyek dengan total aset 8.914,60 US$ Juta, pada tahun 2006 terjadi kemerosotan di sektor investasi karena Indonesia hanya mendapatkan proyek 377 dengan nilai aset 3.136,60 US$ Juta. Begitu juga dalam penanaman modal dalam negeri, pada tahun 2005 Indonesia mampu mendapatkan 214 proyek dengan nilai 30.665,00 milyar rupiah dan pada tahun 2006 ini Indonesia hanya mendapatkan 119 proyek dengan nilai aset sejumlah 10.467,40 milyar.
Dari faktor domestik, alasan pasti menurunnya investasi adalah kondisi iklim investasi dan iklim usaha yang tak kondusif. Sementara, dari sisi eksternal, meningkatnya ketidakpastian ekonomi global bakal membuat persaingan memperebutkan investasi semakin berat, terutama dengan kecenderungan menurunnya PMA global dan semakin agresifnya pesaing-pesaing utama negara kita yaitu negara-negara tetangga. Kekhawatiran Indonesia akan terpinggirkan lagi dan hanya menjadi penonton dalam persaingan menjadi suatu hal yang sulit untuk diingkari. Indikasi seperti ini sudah terasa, antara lain dengan mulai munculnya kembali wacana hengkangnya investor dan derasnya fenomena mencemaskan berupa serbuan arus masuk uang panas kedalam sistem keuangan kita. (Kompas, Sabtu 4 Februari 2006)
Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mendorong penanaman modal baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri antara lain melalui penyederhanaan prosedur penanaman modal, desentralisasi beberapa kewenangan penanaman modal serta peninjauan daftar negatif investasi secara berkala.
Kebijakan–kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan tentang penanaman modalpun mengalami perubahan yang sangat drastis seiring adanya otonomi yang diberikan kepada daerah. Diberlakukannnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan kekuasaan pusat dan daerah yang kemudian diganti dengan Nomor 33 Tahun 2004 pada substansinya telah memperluas wewenang daerah, termasuk hal-hal yang menjadi sumber-sumber pendapatan daerah. Penanaman modal yang sebelumnya hanya menguntungkan Pemerintah Pusat saja, kini pada era otonomi daerah sangat menguntungkan Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah mempunyai perimbangan keuangan dengan Pemerintah Pusat, sehingga Pemerintah Daerah dapat meningkatkan pembangunan dan mengontrol perekonomian daerah melalui pendapatan-pendapatan daerah. Oleh karena itu Pemerintah Daerah dituntut untuk dapat mengambil kebijakan dalam mendorong dan mengatur mengenai penanaman modal (investasi) di daerah.
Dalam praktek pelaksanann otonomi daerah ini Pemerintah Kota Surakarta sebagai pelaksana pemerintahan di daerah mulai melakukan langkah-langkah strategis dalam meningkatkan iklim investasi di daerahnya. Kota Surakarta atau yang lebih sering dikenal dengan nama Kota Solo merupakan kota strategis dengan berbagai potensi besar yang dimilikinya. Keberadaan Kota Surakarta sebagai bagian dari daerah Eks Karisidenan Surakarta didukung dengan potensi daerah sekitarnya yaitu Kabupaten Sragen, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri, dan Kabupaten Klaten, menjadi nilai lebih bagi Kota Surakarta dibandingkan kota lainnya di Jawa Tengah. Sarana dan prasarana yang sudah cukup terpenuhi serta dukungan kualitas Sumber Daya Manusia yang terus berkembang menjadikan Kota Surakarta sebagai suatu daerah yang patut untuk diperhitungkan keberadaannya di Indonesia.
Sejak tahun 2003 Pemerintah Kota Surakarta telah memiliki Rencana Strategis Daerah Tahun 2003-2008 yang dikuatkan melalui Perda Nomor 16 Tahun 2003. Beberapa kebijakan penting dari bidang pembangunan Kota Surakarta yang diitegaskan dalam Rencana strategis tersebut meliputi bidang hukum, bidang administrasi umum, bidang ekonomi, bidang politik, bidang keamanan dan perlindungan masyarakat, bidang agama, bidang pendidikan, bidang iptek, bidang kesehatan, bidang sosial, bidang kebudayaan, bidang sumber daya dan lingkungan hidup, bidang pembangunan sarana dan prasarana kota, dan bidang komunikasi dan media massa.
Dari rencana strategis yang telah direncanakan oleh Pemerintah Kota Surakarta, sektor ekonomi khususnya penanaman modal di Kota Surakarta menjadi suatu hal yang menarik untuk dikaji lebih mendalam lagi. Dengan dukungan masyarakat yang multikultural dan pusat kebudayaan Jawa serta letak geografis yang srategis sebagai daerah jalur transportasi antara Jawa Tengah dengan Jawa Timur maka Kota Surakarta menjadi pilihan berbagai bidang investasi. Di bidang investasi perdagangan misalnya, Pemerintah Surakarta mengarahkan pada kegiatan produksi serta menjamin kelancaran arus distribusi barang dan jasa, memperkuat daya saing, mampu memanfaatkan dan memperkuat pangsa pasar dalam negeri maupun luar negeri, dan membentuk harga yang wajar serta melindungi kepentingan konsumen. Arahan tersebut tentunya didukung dengan potensi maupun struktur ekonomi Kota Surakarta yang memang bertumpu pada sektor industri pengolahan, perdagangan, rumah makan, dan hotel.
Selain sektor perdagangan dan industri sektor Pariwisata di Surakarta juga menjadi potensi besar yang patut untuk diperhitungkan pula. Keberadaan aset cagar budaya Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran yang berada di Surakarta tentunya dapat menjadikan bukti dari eksistensi Surakarta sebagai kota budaya. Objek wisata lainnya juga semisal Taman Satwa Taru Jurug, Kawasan Balekambang, dan Kampung Batik yang berada di Laweyan juga menjadi pendukung modal pariwisata di Kota Surakarta. Dalam kebijakannya pula Pemerintah Kota Surakarta telah mengarahkan investasi di bidang pariwisata ini kearah peningkatan kualitas obyek dan daya tarik wisata, peningkatan pelayanan dan sarana prasarana wisata, dan peluang investasi pembangunan di bidang pariwisata.
Rencana strategis 2003-2008 Pemerintah Kota Surakarta ini telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Terbukti pada tahun 2005 iklim investasi di Surakarta sudah memperlihatkan perkembangannya. Munculnya pasar-pasar modern diantaranya Solo Grand Mall, Singosaren Mall, D’laweyan Mall, Ciputra-Sun Mall, Beteng Trade Centre, serta Pusat Grosir Surakarta menjadi bukti konkrit dari berkembangnya iklim investasi bidang ekonomi di Surakarta.
Walikota Surakarta menyatakan dengan melihat kondisi Kota Surakarta, pada tahun 2007 Surakarta ditargetkan untuk menjadi kota paling pro-investasi di Jawa Tengah, oleh karena itu mulai saat ini Pemkot Surakarta mulai mempersiapkan diri untuk merebut predikat tersebut, salah satu langkah yang dilakukan oleh Pemerintah Surakarta adalah dengan membangun citra tentang Kota Surakarta sehingga iklim investasi tetap kondusif. Langkah yang dilakukan oleh Walikota Surakarta untuk merealisasikan targetnya tersebut antara lain melalui kebijakan peningkatan layanan bidang perizinan melalui penguatan sitem pelayanan satu pintu atau yang lebih sering dikenal dengan istilah Sistem One Stop Service.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, melalui serangkaian pencarian data dan penelitian maka penulis mengambil judul, “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ONE STOP SERVICE TERHADAP PENANAMAN MODAL DI KOTA SURAKARTA”.
B. Perumusan Masalah
Masalah adalah setiap kesulitan yang menggerakkan manusia untuk memecahkannya (Winarno Surakhmad, 1994: 34). Perumusan masalah dimaksudkan untuk membatasi dan mempertegas masalah yang akan diteliti, sehingga bisa memudahkan dalam pengerjaannya. Adapun beberapa permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana implementasi kebijakan One Stop Service terhadap penanaman modal di Kota Surakarta ?
2. Apa faktor-faktor yang menjadi pendukung kebijakan One Stop Service dalam perizinan penanaman modal di Kota Surakarta?
3. Apa faktor-faktor yang menjadi penghambat kebijakan One Stop Service dalam perizinan penanaman modal di Kota Surakarta ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
- Tujuan Objektif.
a. Mengetahui implementasi kebijakan One Stop Service dalam perizinan penanaman modal di Kota Surakarta.
b. Mengetahui faktor-faktor pendukung kebijakan One Stop Service dalam perizinan penanaman modal di Kota Surakarta.
c. Mengetahui faktor-faktor penghambat kebijakan One Stop Service dalam perizinan penanaman modal di Kota Surakarta.
d. Memberikan solusi atas beberapa permasalahan dalam pelaksanaan kebijakan One Stop Service khususnya mengenai perizinan penanaman modal di kota Surakarta.
2. Tujuan Subjektif
a. Menambah pengetahuan peneliti di bidang Hukum Perdata dan Hukum Administrasi Negara dalam mewujudkan birokrasi yang mengacu pada optimalisasi pelayanan publik khususnya mengenai kemudahan perizinan penanaman modal di Kota Surakarta.
b. Melatih kemampuan peneliti dalam menerapkan teori ilmu hukum yang didapat selama perkuliahan guna menganalisis permasalahan–permasalahan yang muncul dalam implementasi kebijakan One Stop Service terhadap penanaman modal di Kota Surakarta.
c. Melengkapi syarat-syarat guna memperoleh derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. MANFAAT PENELITIAN.
Nilai dalam penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang diperoleh dari penelitian tersebut, adapun manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis.
a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Perdata serta Hukum Administrasi Negara pada khususnya;
b) Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang tentang mekanisme perizinan penanaman modal dan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah;
c) Hasil penelitian ini, dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk tahapan berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a) Hasil penelitian ini, diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dan rekomendasi bagi pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan peningkatan pelayanan publik.
b) Hasil penelitian ini, diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman kepada penanam modal dan kepada pemerintah daerah (pihak-pihak yang terkait) yang peduli terhadap masalah penanaman modal (investasi) serta kebijakan dan pelayanan publik.
E. METODE PENELITIAN
Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang disajikan secara sistematis dan harus dapat dipertanggungjawabkan. Setiap melakukan penelitian maka harus menggunakan metode-metode tertentu. Metode penelitian menurut Soerjono Soekanto (1986:5) adalah sebagai berikut :
1. suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitia dan penilaian;
2. suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan;
3. cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.
Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
- Jenis Penelitian
Sesuai dengan masalah yang hendak diteliti, penelitian ini merupakan jenis penelitian empiris yang bersifat deskriptif. Deskriptif artinya penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian. Tujuan dari penelitian adalah untuk membuat pencandraan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu (Sumadi Suryabrata, 1988:19).
- Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Pemerintah Kota Surakarta lebih khusus lagi di Kantor Unit Pelayanan Terpadu Kota Surakarta, Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta, dan Kantor KADIN (Kamar Dagang dan Industri) Surakarta.
- Jenis Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dikelompokkan manjadi 2 (dua) jenis yaitu:
- Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama. Terkait dengan problematika penelitian, maka data primer diperoleh dari:
1) Pejabat atau pegawai negeri sipil yang bertugas di Kantor Unit Pelayanan Terpadu Pemerintah Kota Surakarta.
2) Pejabat atau pegawai negeri sipil yang bertugas di Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta.
3) Anggota KADIN (Kamar Dagang dan Industri) di Kota Surakarta.
- Data sekunder yaitu data yang digunakan untuk mendukung dan melengkapi data primer yang berhubungan dengan masalah penelitian. Menurut Soerjono Soekanto data sekunder digunakan dalam penelitian meliputi tiga bahan hukum yaitu :
1. Bahan Hukum Primer.
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat. Adapun yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 Jo Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 Jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), Rencana Strategis Kota Surakarta di bidang Ekonomi (Perda No. 16 Tahun 2003), Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 004 Tahun 1998 tentang Pembentukan organisasi dan tata Kerja Unit Pelayanan terpadu Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta, Keputusan Walikota Surakarta Nomor 065/187/1/2005 tentang tata laksana Pelayanan Perizinan pada Unit Pelayanan terpadu (UPT) Kota Surakarta, Keputusan Walikota Surakarta Nomor 066/188/1/2005 tentang Tim Pembina dan Tim Pertimbangan Perizinan UPT Kota Surakarta, Peraturan Walikota Surakarta Nomor 13 Tahun 2005 tentang pelimpahan sebagian Kewenangan Walikota kepada Koordinator Unit Pelayanan Terpadu Kota Surakarta.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Adapun yang digunakan dalam penelitian ini adalah jurnal, literatur, buku, internet, laporan penelitian dan sebagainya berkaitan dengan kebijakan One Stop Service dan penanaman modal di Kota Surakarta.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yaitu Kamus (Soerjono Soekanto, 1986:52).
- Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan melalui 3 (tiga) cara sebagai berikut :
a. Wawancara adalah proses tanya-jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan (Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, 2004:83). Wawancara juga dimaksudkan untuk merekonstruksi kebulatan-kebulatan sebagai yang telah diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang. Juga untuk memferivikasi, merubah, memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain, baik manusia maupun bukan manusia (triangulasi), dan memferivikasi, merubah dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota (Lexy Maleong, 2005:186). Wawancara dilakukan dengan sistem wawancara bebas terpimpin artinya wawancara ini merupakan kombinasi antara wawancara bebas dan terpimpin. Pewawancara hanya membuat pokok-pokok masalah yang akan diteliti, selanjutnya dalam proses wawancara berlangsung mengikuti situasi. Pewawancara harus pandai mengarahkan responden apabila ternyata ia menyimpang. Pedoman interview berfungsi sebagai pengendali jangan sampai proses wawancara kehilangan arah. Dalam penelitian ini yang akan diwawancarai adalah pejabat berwenang di Kantor Unit Pelayanan Terpadu, Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dan anggota KADIN (Kamar Dagang dan Industri) Surakarta.
b. Studi kepustakaan, yaitu suatu bentuk pengumpulan data dengan cara membaca buku literatur, hasil penelitian terdahulu, dan membaca dokumen, peraturan perundang-undangan, Peraturan Walikota Surakarta yang berhubungan dengan objek penelitian.
- Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses pengumpulan dan mengolah data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dengan analisis akan menguraikan dan memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan data yang diperoleh. Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis kualitatif. Analisis secara kualitatif adalah analisis data yang tidak bisa dikategorikan secara statistik. Dalam analisis kualitatif ini, maka penginterpretasian terhadap apa yang ditemukan dan pengambilan kesimpulan akhir menggunakan logika atau penalaran sistematis.
Model analisis kualitatif digunakan model analisis interaktif, yaitu model analisis yang memerlukan tiga komponen berupa reduksi data, sajian data, serta penarikan kesimpulan/verifikasi dengan menggunakan proses siklus (HB Sutopo, 1998:48). Dalam menggunakan analisis kualitatif, maka penginterpretasian terhadap apa yang ditentukan dan pengambilan kesimpulan akhir digunakan logika atau penalaran sistematik. Ada tiga komponen pokok dalam tahapan analisa data, yaitu:
a. Data Reduction merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data kasar yang ada dalam field note. Reduksi data dilakukan selama penelitian berlangsung, hasilnya data dapat disederhanakan dan ditransformasikan melalui seleksi ketat, ringkasan serta penggolongan dalam suatu pola.
b. Data Display adalah rakitan organisasi informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dilakukan, sehingga peneliti akan dengan mudah memahami apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan.
c. Canclution drawing dari awal pengumpulan data peneliti harus mengerti apa arti dari hal-hal yang ditelitinya, dengan cara pencatatan peraturan, pola-pola, pernyataan konfigurasi yang mapan dan arahan sebab akibat sehingga memudahkan dalam pengambilan kesimpulan.
Tiga komponen analisis data diatas membentuk interaksi dengan proses pengumpulan yang berbentuk siklus (HB Sutopo, 1998:37).
Bagan 1.5 Model Analisis Interaktif
Untuk meneliti validitas data peneliti menggunakan teknik triangulasi. Teknik trianggulasi adalah teknik pemeriksaan validitas data yang memanfaatkan sesuatu yang berada di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau pembandingan terhadap data yang sama dari sumber yang lain. Trianggulasi dapat dicapai dengan jalan membandingkan data hasil wawancara dengan isi suatu dokumen (Lexy J. Maleong, 2005:330-331).
F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini terdiri Sub Bab Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan, Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini dijelaskan mengenai hasil dari suatu studi kepustakaan yang diperoleh dari penelitian. Terdiri dari tinjauan tentang kebijakan publik, tinjauan tentang implementasi kebijakan, tinjauan tentang One Stop Service, dan tinjauan tentang penanaman modal.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini dijelaskan hasil penelitian dari data lapangan yang diperoleh peneliti dan pembahasan tentang Implementasi Kebijakan One Stop Service Terhadap Penanaman Modal di Kota Surakarta, faktor-faktor yang menjadi pendukung kebijakan One Stop Service dalam perizinan penanaman modal di Kota Surakarta, dan faktor-faktor yang menjadi penghambat kebijakan One Stop Service dalam perizinan penanaman modal di Kota Surakarta.
BAB IV PENUTUP
Dalam bab ini disampaikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan juga saran yang relevan dari peneliti.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang kebijakan publik.
a) Definisi kebijakan publik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Depdikbud, (1993;115), kebijakan berarti 1, kepandaian; kemahiran; kebijaksanaan (kepandaian menggunakan akal budinya). 2. rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (pemerintah, organisasi) pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran;garis haluan. Menurut Irfan Islamy (1991:10) kebijakan adalah strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan dengan ciri identifikasi dari tujuan, langkah untuk mencapai tujuan, penyediaan input untuk pelaksanaan secara nyata dari strategi tersebut.
Kebijakan dapat dilihat sebagai konsep filosofis, sebagai suatu produk, sebagai suatu proses, dan sebagai suatu kerangka kerja (lihat pendapat Graycar, yang dikutip Donovan dan Jackson, 1991: 14). Sebagai suatu konsep filosofis, kebijakan merupakan serangkaian prinsip, atau kondisi yang diinginkan; sebagai suatu produk, kebijakan dipandang sebagai suatu serangkaian kesimpulan dan rekomendasi; sebagai suatu proses, kebijakan dipandang sebagai suatu cara dimana melalui cara tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya yaitu program dan mekanisme dalam mencapai produknya; dan sebagai suatu kerangka kerja, kebijakan merupakan suatu proses tawar menawar dan negosiasi untuk merumuskan isu-isu dan metode implementasinya. (Yeremias T.Keban, 2004:55).
Menurut Buku Kamus Administrasi Publik (Chandler dan Plano, 1988: 107) sebagaimana yang dikutip oleh Yeremias T. Keban kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintahan (Yeremias T.Keban, 2004:56). Selain itu Anderson dalam bukunya Hanif Nurkholis juga mengatakan kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah.
Selanjutnya Anderson menjelaskan, bahwa terdapat lima hal yang berhubungan dengan kebijakan publik. Pertama, tujuan atau kegiatan yang berorientasi tujuan haruslah menjadi tujuan utama perilaku acak atau peristiwa yang tiba-tiba terjadi; Kedua, kebijakan merupakan pola atau model tindakan pejabat pemerintah mengenai keputusan-keputusan diskresinya secara terpisah; Ketiga, kebijakan harus tercakup apa yang secara nyata pemerintah perbuat, bukan apa yang mereka maksud untuk berbuat, atau apa yang mereka katakan akan dikerjakan; Keempat, bentuk kebijakan bisa berupa hal yang positif atau negatif; Dan Kelima, kebijakan publik dalam bentuknya yang positif didasarkan pada ketentuan hukum dan kewenangan, sedangkan tujuan kebijakan publik adalah dapat dicapainya kesejahteraan masyarakat melalui peraturan yang dibuat oleh pemerintah (Hanif Nurcholis, 2005: 159)
Shafritz dan Russel seperti yang dikutip oleh Yeremias T. Keban memberikan definisi lain mengenai pengertian kebijakan publik dengan pengertian yang paling mudah diingat dan praktis yaitu “Whatever a government decides to do or not to do”(hal 47). Kata kedua pengarang tersebut, apa yang dilakukan ini merupakan respons terhadap suatu isu politik. Dan Peterson (2003: 1030) berpendapat bahwa kebijakan publik secara umum dilihat sebagai aksi pemerintah dalam menghadapi masalah, dengan mengarahkan perhatian terhadap “siapa, mendapat apa, kapan dan bagaimana”.(Yeremias T. Keban, 2004; 57)
Pakar lain yaitu Thomas R Dye dalam bukunya Hanif Nurcholis menjelaskan, bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh Pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Selanjutnya Dye mengatakan, apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka harus ada tujuannya dan kebijakan tersebut harus meliputi semua tindakan pemerintah, bukan semata-mata keinginan pemerintah atau pejabatnya. Disamping itu, sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintahpun termasuk kebijakan negara. Hal ini disebabkan “sesuatu yang tidak dilakukan” oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh yang sama besarnya dengan “sesuatu yang dilakukan” pemerintah (Hanif Nurcholis, 2005:159)
b) Teori Pengambilan kebijakan.
Menurut Solichin Abdul Wahab (2004: 19) ada tiga teori pengambilan kebijakan yang sering dipakai, yaitu:
Pertama, Teori Rasional Komprehensif. Teori ini paling lama banyak dikenal dan diterima oleh kalangan luas. Unsur-unsur utama dari teori ini meliputi: (1) Pembuat keputusan di hadapkan pada suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan dari masalah-masalah lain; (2) Tujuan-tujuan, nilai-nilai atau sasaran yang dipakai pembuat keputusan amat jelas dan dapat diperbandingkan rankingnya sesuai dengan urutan kepentingannya; (3) Berbagai alternatif untuk memecahkan masalah tersebut diteliti secara seksama; (4) Akibat-akibat berupa biaya dan manfaat yang ditimbulkan oleh setiap alternatif yang dipilih diteliti; (5) Setiap alternatif dan masing-masing akibat yang menyertainya dapat diperbandingkan dengan alternatif lainnya; (6) Pembuat keputusan akan memilih alternatif dan akibat-akibatnya untuk mencapai tujuan, nilai atau sasaran yang telah digariskan. Hasil dari proses tersebut adalah keputusan yang rasional yakni suatu keputusan yang dapat mencapai tujuan yang paling efektif.
Kedua, Teori inkremental. Pengambilan keputusan dalam teori ini yang menghindari banyak masalah yang harus dipertimbangkan dan pada saat yang sama merupakan teori yang lebih banyak menggambarkan cara yang ditempuh oleh pejabat pemerintah dalam mengambil keputusan sehari-hari.
Ketiga, Teori Pengamatan Terpadu. Suatu pendekatan untuk pengambilan keputusan yang memperhitungkan baik keputusan-keputusan yang bersifat fundamental maupun keputusan-keputusan yang bersifat inkremental dan memberikan urutan teratas bagi proses pembuatan kebijakan fundamental yang memberikan arahan dasar dan proses pembuatn kebijakan inkremental sesudah keputusan tercapai.
c) Proses Pembuatan Kebijakan.
Membuat atau merumuskan suatu kebijakan apalagi kebijakan Negara, bukanlah suatu proses yang sederhana atau mudah, hal ini disebabkan karena terdapat banyak faktor yang atau kekuatan-kekuatan yang berpengaruh terhadap proses pembuatan kebijakan Negara tersebut. Menurut Irfan Islamy ada enam langkah yang harus diperhatikan dalam merumuskan kebijakan negara yaitu; Pertama Perumusan masalah; Kedua, Penyusunan agenda pemerintahan; Ketiga, Perumusan usulan kebijakan; Keempat, Pengesahan kebijakan Negara; Kelima, Pelaksanaan Kebijakan; dan Keenam, Penilaian Kebijakan Negara (Irfan Islamy, 2004:78).
William Dunn mengemukakan proses pembuatan kebijakan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung menurut urutan-urutan waktu; Pertama, Penyusunan agenda, para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik; Kedua, Formulasi kebijakan, para pejabat merumuskan alternatif kebijakan yang mengantisipasi masalah; Ketiga, Adopsi kebijakan, alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus diantara direktur lembaga atau keputusan peradilan; Keempat, Implementasi kebijakan, kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia; Kelima, Penilaian kebijakan, untuk pemeriksaan dan akuntansi dalam pemerintahan menentukan apabila badan-badan eksekutif, legislatif, dan peradilan memenuhi persyaratan undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan (William Dunn, 1998:24).
d) Analisis Kebijakan
Menurut Negel dalam bukunya Hessel Nogi S Tangkilisan mendefinisikan analisis kebijakan sebagai penentuan alternatif terbaik dari kebijakan publik yang mampu memberikan jalan keluar dari berbagai macam alternatif kebijakan publik dan pemerintah yang akan paling banyak mencapai seperangkat tujuan sesuai yang ingin dicapainya. Definisi tersebut menemukan empat unsur pokok kebijakam; Pertama, Tujuan termasuk kendala normatif dan pertimbangan relatif untuk mencapai tujuan; Kedua, kebijakan, program, proyek, keputusan pilihan, sarana atau alternatif lain yang tersedia untuk mencapai tujuan; Ketiga, Hubungan antara kebijakan dan tujuan termasuk hubungan yang terbentuk oleh intuisi, kewenangan, statistik, pengamatan, deduksi, perkiraan atau sarana lain; Keempat, penarikan kesimpulan tentatif sebagai kebijakan atau kombinasi kebijakan yang mana paling baik untuk diadopsi dalam hal tujuan, kebijakan dan hubungannya (Hessel Nogi S Tangkilisan, 2003:1).
William Dunn menyatakan Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan secara kritis menilai, dan mengkonsumsikan pengetahuan yang relevan dalam kebijakan satu atau lebih tahap proses pembuatan kebijakan. Dalam melakukan analisis kebijakan Dunn membagi lima tahap analisis yaitu, (1) Perumusan masalah (2) Peramalan (3) Rekomendasi (4) Pemantauan (5) Penilaian. Setiap tahap berhubungan dengan tahap berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahapan pertama (penyusunan agenda), atau tahap di tengah, dalam lingkaran aktivitas yang tidak linier (William Dunn, 1998:23).
Negel menyebutkan konsep-konsep yang sering digunakan dalam analisis kebijakan publik; Pertama Evaluasi kebijakan sama penting, seperti kita akan menjelaskan mengapa kebikaan ini ada; Kedua, Studi kebijakan meliputi deskripsi kebijakan, menjelaskan eksistensi dan mengevaluasinya; Ketiga, Evaluasi program menekankan evaluasi sesuai program khusus; Keempat, Ilmu manajemen publik menekankan pada pembuatan keputusan yang terlalu yang terlihat di dalam mengimplementasikan keputusan lebih besar. Pada umumnya dibuat oleh badan pembuat Undang-undang dan dinas-dinas yang memiliki kewenangan legislatif; Kelima, Analisis kebijakan menekankan metode analisis sistematis yang bisa menjadi kuantitatif atau kualitatif; Keenam, Ilmu kiebijakan menekankan metode-metode kuantitatif. (Hessel Nogi S Tangkilisan, 2003:2)
2. Tinjauan tentang Implementasi kebijakan.
a) Definisi Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerjasama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. (Budi Winarno, 2002:101).
Meter dan Horn dalam buku Samudra Wibawa dkk mendefinisikan Implementasi kebijakan sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta baik secara individu atau kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan dalam kebijakan (Samudra Wibawa dkk, 1994: 15).
Daniel A. Mazmanian dan A Sabatier sebagaimana dikutip oleh Solichin Abdul Wahab menjelaskan makna implementasi ini dengan mengatakan bahwa “memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan Negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat/kejadian-kejadian” (Solichin Abdul Wahab, 2004:65).
b) Konsep atau model implementasi kebijakan.
1. Model Meter dan Horn
Implementasi merupakan proses yang dinamis, Van Meter dan Van Horn dalam Budi Winarno membuat ikatan (linkages) yang dibentuk antara sumber-sumber kebijakan dan tiga komponen lainnya (lihat bagan 2.1). Menurut mereka tipe dan tingkatan sumber daya yang disediakan oleh keputusan kebijakan akan mempengaruhi kegiatan-kegiatan komunikasi dan pelaksanaan. Pada sisi lain, kecenderungan para pelaksaa dapat dipengaruhi secara langsung oleh tersedianya sumber daya. (Budi Winarno, 2002:119)
Komunitas antar organisasi
dan pengukuhan aktivitas
standar dan
sasaran kebijakan
Karakteristik organisasi sikap kinerja
Komunikasi antar pelaksana kebijakan
organisasi
Sumber daya
Kondisi sosial
Ekonomi dan politik
Bagan 2.1 Model Implementasi Kebijakan
Menurut Meter dan Horn (Samudra Wibawa dkk, 1994:19)
2. Model Grindle
Implementasi kebijakan menurut Grindle (1980) ditentukan oleh isi kebijakan dan konteksnya.Tidak jauh beda dengan pendapat Meter dan Horn, setidaknya Grindle melihat implementasi dalam keterpengaruhannya oleh lingkungan. Ide dasar Grindle adalah bahwa setelah kebijakan ditranformasikan menjadi program aksi maupun proyek indivisual dan biaya telah disediakan maka implementasi kebijakan dilaksanakan (Samudra Wibawa dkk, 1994: 22)
Tujuan
|
|
Tujuan
Yang ingin
dicapai
Program aksi dan proyek individu
Yang didasari dalam biaya
Program yang dijalankan
Seperti yang direncanakan
Mengukur keberhasilan
Bagan 2.2 Model implementasi kebijakan
Menurut Grindle
3. Model Sabatier dan Mazmanian
Menurut Sabaliter dan Mazmanian implementasi kebijakan merupakan fungsi dari tiga variabel yaitu (1) karakteristik masalah, (2) struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai macam peraturan yang mengoperasionalkan kebijakan dan (3) faktor-faktor yang diluar aturan. Implementasi akan efektif apabila birokrasi pelaksananya mematuhi apa yang sudah digariskan oleh peraturan (petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis). (Samudra Wibawa dkk, 1994: 25)
Bagan 2.3 Model implementasi kebijakan
Menurut Sebatier dan Mazmanian (Samudra Wibawa dkk, 1994:26)
C) Pendekatan Implementasi
Menurut Solichin Abdul Wahab ada empat pendekatan dalam implementasi kebijakan untuk meningkatkan efektivitas implementasi yaitu;
1. Pendekatan-pendekatan struktural.
Pendekatan ini ada dua bentuk yaitu pendekatan struktur yang bersifat organis dan pendekatan struktur matrik.
Perlu dibedakan antara nerencanakan perubahan dan merencanakan untuk melakukan perubahan. Dalam hal pertama, implementasi dipandang sebagai semata-mata masalah teknis atau masalah manajerial, disini prosedur-prosedur yang dimaksud termasuk diantaranya yang menyangkut penjadwalan (scheduling), perencanaan (Planning), dan pengawasan ( Control).
Teknik manajerial yang merupakan perwujudan dari pendekatan ini adalah perencanaan jaringan kerja dan pengawasan (network planning and control MPC) yang menyajikan suatu kerangka kerja dimana proyek dapat dilaksanakan dan implementasinya dapat diawasi dengan cara mengidentifikasikan tugas-tugas dan urutan-urutan logis dimana tugas tersebut dapat dilaksanakan.
3. Pendekatan-pendekatan keperilakuan.
Ada dua bentuk dalam pendekatan ini; Pertama, OD (organisional development/pengembangan organisasi). OD adalah suatu proses untuk menimbulkan perubahan-perubahan yang diinginkan dalam suatu organisasi melalui penerapan dalam ilmu-ilmu kepribadian; Kedua, bentuk managemen by objectives (MBO). MBO adalah suatu pendekatan yang menggabungkan unsur-unsur yang terdapat dalam pendekatan prosedural/manajerial dengan unsur-unsur yang termuat dalam analisis keperilakuan. Jelasnya MBO berusaha menjembatanai antara tujuan yang telah dirumuskan secara spesifik dengan implementasinya.
Pendekatan politik ini secara fundamental asumsi yang diketengahkan oleh ketiga pendekatan terdahulu khususnya pendekatan perilaku. Dalam pendekatan ini, keberhasilan suatu kebijakan pada akhirnya akan bergantung pada kesediaan dan kelompok-kelompok yang dominan/berpengaruh. Dalam situasi tertentu distribusi kekuasaan kemungkinan dapat pula menimbulkan kemacetan pada saat implementasi kebijakan walau sebenarnya kebijakan tersebut secra formal telah disahkan (Solichin Abdul Wahab, 2004: 110)
3. Tinjauan Tentang Pemerintah Daerah
a) Pengertian Tentang Pemerintah Daerah.
Pemerintahan Daerah, dalam konteks Indonesia, adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 Pasal (18). Pemerintahan Daerah dapat berupa:
1. Pemerintahan Daerah Provinsi, yakni terdiri dari Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi. Pemerintah Daerah Provinsi terdiri atas Gubernur dan Perangkat Daerah, yang meliputi Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan Lembaga Teknis Daerah.
2. Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, yakni terdiri dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota.Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas Bupati/Walikota dan Perangkat Daerah, yang meliputi Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan,dan kelurahan. (http://www.w3c.org/TR/1999/REC-html401-19991224/loose.dtd diakses tanggal 26 Desember 2006)
Pengertian Pemerintah daerah ini dipertegas dalam ketentuan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya dalam Pasal 1 huruf 2 dan 3 disebutkan bahwa “Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
b) Tugas dan Kekuasaan Pemerintah Daerah (Eksekutif)
Pemerintah dalam arti yang luas menyangkut kekuasaan dan kewenangan dalam bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Eksekutif adalalah kegiatan pemerintaha alam arti sempit. Tugas eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah to execute atau melaksanakan apa yang sudah disepakati atau diputuskan oleh pihak legislatif dan yudikatif. (H Syaukani.dkk, 2002: 234)
Eksekutif dimanapun pada umumnya mempunyai dua tugas atau kewenangan utama, yaitu apa yang disebut dengan kewenangan yang berseifat administratif, dan kedua kewenangan politik.
Pertama, tugas kewenangan administratif melekat pada jabatan seorang eksekutif yang sehari-harinya mengendalikan roda pemerintahannya. Kegiatan yang menyangkut manajemen pemerintahan sehari-hari merupakan tugas dan kewenangan seorang kepala eksekutif. Oleh kalangan ahli ilmu administrasi negara kegiatan ini mencakup perencanaan, pengorganisasian, penentuan staf yang menjalankan tugas tertentu, memberikan pengarahan-pengarahan yang harus dilakukan oleh para staf, melakukan koordinasi yang harus dilakukan oleh kalangan staf, melakukan koordinasi secara internal dan eksternal dengan berbagai macam lembaga maupun instansi, serta mencari dan menentukan sumber daya keuangan bagi kegiatan tersebut. Leonar D. White menyingkatnya dengan POSDCORB, yaitu singkatan dari Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, and Budgeting. Tugas dan kewenangan seperti ini adalah dalam rangka pemberian pelayanan kepada publik.
Kedua, tugas dan kewenangan politik adalah perwujudan dari kewenangan seorang kepala eksekutif yang secara langsung membawa implikasi politik yang meluas dalam masyarakat. Biasanya hal tersebut diwujudkan melalui pembentukan kebijakan publik dan semua aspek yang terkait dengan kebijakan publik. Ketika dia melakukan tugas ini dia harus mendapat dukungan politik dari berbagai pihak, terutama kalangan legislatif dan masyarakat luas. Pada dasarnya dalam kaitan tugas dan kewenangan politik, eksekutif mempunyai tugas membuat, merumuskan, menghantar/mengimplementasi, melakukan evaluasi terhadap kebijakan publik dalam sebuah negara. Pemerintah eksekutif juga mempunyai tugas dan kewenangan untuk memutuskan apakah sebuah kebijakan itu dapat dilanjutkan atau di batalkan. (H Syaukani.dkk, 2002: 234-236)
c) Perangkat Daerah
Perangkat Daerah adalah organisasi atau lembaga pada Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pada Daerah Provinsi, Perangkat Daerah terdiri atas Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan Lembaga Teknis Daerah. Pada Daerah Kabupaten/Kota, Perangkat Daerah terdiri atas Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, dan Kelurahan. Perangkat Daerah dibentuk oleh masing-masing Daerah berdasarkan pertimbangan karakteristik, potensi, dan kebutuhan Daerah. Organisasi Perangkat Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah setempat. potensi, dan kebutuhan Daerah. Organisasi Perangkat Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah setempat. (http://www.w3c.org/TR/1999/REC-html401-19991224/loose.dtd,diakses 26 Desember 2006)
Untuk lebih mengerti mengenai beberapa perangkat daerah sebagai komponen pelaksana Pemerintahan di darah berikut ini diuraikan secara lebih jelasnya :
1. Kepala Daerah.
Kepala daerah adalah pihak yang bertanggung jawab atas palaksanaan pemerintahan di Daerah. Dalam tingkatan Propinsi Kepala darah dijabat Oleh seorang Gubernur. Pada tingkatan Kabupaten/Kota maka kepala daerah dijabat oleh Bupati/Walikota.
2. Sekretaris Daerah (Setda)
Sekretariat Daerah (Setda) adalah unsur pembantu pimpinan Pemerintah Daerah, yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah (disingkat Sekda). Sekretaris Daerah bertugas membantu kepala daerah dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah. Dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya, sekretaris daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Sekretaris Daerah diangkat dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memenuhi persyaratan. Sekretaris Daerah karena kedudukannya sebagai pembina PNS di daerahnya. Sekretaris Daerah dapat disebut jabatan paling puncak dalam pola karier PNS di Daerah. Sekretaris Daerah ini dapat diklasifikasikan menjadi dua tingkatan yaitu :
Sekretariat Daerah Provinsi (Setdaprov)merupakan unsur pembantu pimpinan Pemerintah Provinsi yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur. Sekretariat Daerah Propinsi bertugas membantu Gubernur dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan, administrasi, organisasi dan tata laksana serta memberikan pelayanan administrasi kepada seluruh Perangkat Daerah Propinsi. Sekretaris Daerah untuk provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur. Sekretaris Daerah dibantu oleh beberapa asisten. Sekretariat Daerah Provinsi terdiri atas sebanyak-banyaknya 2 Asisten; dimana Asisten masing-masing terdiri dari 3 biro.
Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota merupakan unsur pembantu pimpinan Pemerintah Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota. Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota bertugas membantu Gubernur dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan, administrasi, organisasi dan tata laksana serta memberikan pelayanan administrasi kepada seluruh Perangkat Daerah Kabupaten/Kota. Sekretaris Daerah untuk kabupaten/kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Bupati/Walikota. Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sebanyak-banyaknya 3 Asisten; dimana Asisten masing-masing terdiri dari sebanyak-banyaknya 4 bagian.(http://www.w3c.org/TR/1999/REC-html401-1999 1224/loose.dtd, diakses 26 Desember 2006)
3. Dinas Daerah
Dinas Daerah adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah. Daerah dapat berarti Provinsi, Kabupaten, atau Kota. Dinas Daerah menyelenggarakan fungsi: perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya, pemberian perizinan dan pelaksanaan pelayanan umum, serta pembinaan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya. Lingkup tugas Dinas daerah ini dibedakan menjadi:
a. Dinas Daerah Provinsi
Dinas Daerah Provinsi merupakan unsur pelaksana Pemerintah Provinsi dimpimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah Provinsi. Dinas Daerah Provinsi mempunyai tugas melaksanakan kewenangan desentralisasi dan dapat ditugaskan untuk melaksanakan penyelenggaraan wewenang yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah dalam rangka dekonsentrasi.
Untuk melaksanakan kewenangan Provinsi di Daerah Kabupaten/Kota, dapat dibentuk Unit Pelaksana Teknis Dinas Daerah (UPTD) provinsi yang wilayah kerjanya meliputi satu atau beberapa Daerah Kabupaten/Kota. UPTD tersebut merupakan bagian dari Dinas Daerah Provinsi.
Dinas Daerah Provinsi sebanyak-banyaknya terdiri atas 10 Dinas, dan khusus untuk Provinsi DKI Jakarta sebanyak-banyaknya terdiri atas 14 Dinas.Setiap Daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sehingga penamaan atau nomenklatur Dinas Daerah dapat berbeda di tiap-tiap Provinsi.
Dinas Daerah Kabupaten/Kota merupakan unsur pelaksana Pemerintah Kabupaten/Kota dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah. Dinas Daerah Kabupaten/Kota mempunyai tugas melaksanakan kewenangan desentralisasi.
Pada Dinas Daerah Kabupaten/Kota dapat dibentuk Unit Pelaksana Teknis Dinas Daerah (UPTD) Kabupaten/Kota untuk melaksanakan sebagian tugas Dinas yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa kecamatan.Dinas Daerah Kabupaten/Kota sebanyak-banyaknya terdiri atas 14 Dinas, dan khusus untuk Provinsi DKI Jakarta sebanyak-banyaknya terdiri atas 14 Dinas. Setiap Daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sehingga penamaan atau nomenklatur Dinas Daerah dapat berbeda di tiap-tiap Kabupaten/Kota. (http://www.w3c.org/TR/1999/REC-html401-19991224/ loose.dtd, Diakses 26Desember 2006)
4. Lembaga Teknis Daerah
Lembaga Teknis Daerah adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah. Daerah dapat berarti Provinsi, Kabupaten, atau Kota. Untuk daerah Provinsi, Lembaga Teknis Daerah dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Demikian pula untuk daerah Kabupaten/Kota, Lembaga Teknis Daerah dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah. Lembaga Teknis Daerah mempunyai tugas melaksanakan tugas tertentu yang karena sifatnya tidak tercakup oleh Sekretariat Daerah dan Dinas Daerah dalam lingkup tugasnya. Tugas tertentu tersebut meliputi: bidang penelitian dan pengembangan, perencanaan, pengawasan, pendidikan dan pelatihan, perpustakaan, kearsipan dan dokumentasi, kependudukan, dan pelayanan kesehatan. Lembaga Teknis Daerah menyelenggarakan fungsi: perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya, serta penunjang penyelenggaraan pemerintahan Daerah. Lembaga Teknis Daerah dapat berbentuk Badan, Kantor, dan Rumah Sakit. Contoh Lembaga Teknis Daerah adalah: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Kepegawaian Daerah (BKD), Badan Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Daerah, serta Kantor Satuan Polisi Pamong Praja. (http://www.w3c.org/TR/1999/REC-html401-19991224/loose.dtd, Diakses tanggal 26 Desember 2006)
4. Tinjauan Tentang One Stop Service
a) Pengertian tentang One Stop Service.
Pelayanan perizinan terpadu atau OSS (One Stop Service) adalah sebuah satuan kerja di tingkat pemerintahan kota/kabupaten yang secara khusus memberikan pelayanan untuk memproses dokumen publik, khususnya proses usaha dan investasi. Perizinan usaha dan investasi yang selama ini mengandung konotasi negartif, terlalu banyak, berbelit-belit, membutuhkan waktu yang lama dan mahal, diharapkan akan dapat lebih disederhanakan melalui pelayanan satu pintu (terpadu) melalui suatu Unit Pelatanan Teknis (UPT) atau Kantor Pelayanan Teknis (KPT) yang memangkas beban administratif bagi pemerintah daerah dan memudahkan pelaku usaha mendapat akses sumber daya untuk pengembangan usaha.
Prinsip-prinsip pelayanan dengan sistem One Stop Service meliputi:
1. Sederhana
2. Reliabilitas
3. Tanggung Jawab
4. Kecakapan Petugas
5. Kemudahan akses
6. Ramah
7. Terbuka
8. Komunikasi petugas dan pelanggan
9. Kredibilitas
10. Kejelasan dan kepastian
11. Keamanan
12. Mengerti kebutuhan pelanggan
13. Wujud nyata
14. Efisien
15. Ekonomis
Dalam pelaksanannya di lapangan One Stop Sevice dapat pula dijadikan sebagai sarana bagi pemerintah daerah untuk memberikan semua informasi yang dibutuhka masyarakat. Melalui sistem One Stop Sevice dengan segala kelengkapannya, pengurusan perizinan akan semakin mudah dan murah yang membuat pelaku usaha terhindar dari biaya ekonomi tinggi yang biasanya terjadi pada saat proses pengurusan izin. (About OSS, http://www.w3c.org/TR/1999/REC-html401-19991224/loose.dtd diakses tanggal 19 Desember 2006)
Keberadaan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) mempunyai arti penting dalam melaksanakan sistem One Stop Service yaitu sebagai suatu tempat dimana masyarakat umum, termasuk sektor swasta, melakukan hubungan kerja dengan pihak pemerintah guna mengajukan permohonan dan mendapatkan perizinan usaha yang dibutuhkan dari pada mengajukan permohonan kepada beberapa institusi pemerintah. Keberadaan Unit Pelatanan Terpadu (UPT) sangat penting bagi dunia usaha, karena dengan demikian para pengusaha dapat menerima lisensi dan izin-izin usaha dengan lebih mudah, cepat, dan transparan. Pelaksanaan kebijakan One Stop Service malalui UPT ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik serta meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pelayanan publik serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan publik. (Akil Abduljalil dkk, 2004: 2)
Di Kota Surakarta pembentukan Unit Pelayanan terpadu (UPT) dilandasi adanya Keputusan Walikotamadya Surakarta Nomor 04 Tahun 1998 mengenai Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Terpadu Kota Surakarta. Untuk meningkatkan kinerja Unit menciptakan iklim birokrasi yang kondusif, maka Pemerintah Surakarta melalui Unit Pelayanan Terpadu (UPT) sejak tanggal 7 Desember 2006 mulai menggunakan sistem pelayanan satu pintu (One Stop Service) dalam melakukan pelayanan publik khususnya di bidang perizinan dengan mengacu pada Peraturan Walikota Surakarta Nomor 13 Tahun 2005 tentang pelimpahan sebagian kewenangan Walikota kepada Koordinator Unit Pelayanan terpadu Kota Surakarta. Guna mendukung pelayanan One Stop Servicenya Unit Pelayanan Terpadu (UPT) memiliki kewenangan untuk mengurus perizinan yang terkait dengan Keterangan Rencana Peta (AP) Advice Planning, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Penggunaan Bangunan (IPB), Rekomendasi Lokasi Untuk Izin Gangguan Usaha , Izin Gangguan Tempat Usaha, Pembaruan Izin HO, Surat Izin Usaha Perdagangan, Tanda Daftar Gudang (TDG), Surat Izin Usaha Industri (SIUI), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), dan Reklame.
b) Dasar Kebijakan One Stop Service di Kota Surakarta
Keberadaan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) sebagai suatu unit kerja Pemerintah Kota Surakarta yang mendukung sistem One Stop Service ini diatur dalam beberapa peraturan daerah yaitu :
1. Keputusan Walikotamadya Kepala daerah Tingkat II Surakarta Nomor 004 Tahun 1998, tentang Pembentukan organisasi dan tata Kerja Unit Pelayanan terpadu Kotamadya daerah Tingkat II Surakarta.
2. Keputusan Walikota Surakarta Nomor 065/187/1/2005 tentang tata laksana Pelayanan Perizinan pada Unit Pelayanan terpadu (UPT) Kota Surakarta.
3. Keputusan Walikota Surakarta Nomor 066/188/1/2005 tentang Tim Pembina dan Tim Pertimbangan Perizinan UPT Kota Surakarta.
4. Peraturan Walikota Surakarta Nomor 13 tahun 2005 tentang pelimpahan sebagian Kewenangan Walikota kepada koordinator UPT Kota Surakarta.
5. Tinjauan Tentang Penanaman Modal.
a) Definisi Penanaman Modal.
Modal perusahaan adalah sejumlah uang yang khusus digunakan untuk menjalankan suatu usaha atau perusahaan. Penanaman modal pada suatu perusahaan dalam bahasa Inggrisnya investment, dan diserap dalam bahasa Indonesia menjadi investasi. Penanaman modal atau investasi adalah penyerahan sejumlah uang yang digunakan sebagai modal dalam suatu perusahaan atau proyek dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atau laba. Modal disini diartikan sebagai sejumlah uang dan ini adalah modal dalam arti yang sesungguhnya (arti sempit). Modal dalam arti luas bukan hanya sejumlah uang, melainkan meliputi juga barang yang digunakan untuk menjalankan perusahaan, bahkan tenaga atau jasa juga dianggap sebagai bagian dari modal, ketiga-tiganya diperhitungkan sebagai faktor produksi untuk memperoleh hasil (keuntungan).
Modal merupakan landasan utama kegiatan suatu bisnis yang diharapkan menghasilkan nilai lebih (capital gain). Jika modal itu hanya sejumlah uang, maka nilai lebih itu juga sejumlah uang. Akan tetapi, dalam arti ekonomi modern, kegiatan dan keberhasilan suatu bisnis tidak hanya diukur dari jumlah modal uang yang diusahakan, tetapi kumulasi dari ketiga faktor poroduksi, yaitu uang, barang, dan jasa yang digunakan untuk memperoleh keuntungan atau laba. Dalam kegiatan bisnis modern, pembicaraan selalu bertumpu pada konsep modal dalam arti kumulasi dari uang, barang, dan jasa. Uang sebagai alat bayar dalam hubungan bisnis, benda sebagai alat penunjang kelancaran kegiatan bisnis, dan sumber daya manusia sebagai motor penggerak kegiatan bisnis. (Abdul Kadir Muhammad, 2002:291)
b) Jenis Penanaman Modal.
Penanaman modal dapat dilakukan melalui dua cara yaitu secara langsung dan secara tidak langsung. Dalam penanaman modal secara langsung pemodal harus membentuk perusahaan sendiri. Jadi, pemodal membentuk, menyediakan modal, dan menjalankan perusahaan sendiri. Penanaman modal dikatakan tidak langsung apabila dilakukan melalui pembelian saham, obligasi yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan.
Penanaman modal secara tidak langsung berupa pembelian saham perseroan dapat dilakukan secara berhubungan langsung dengan perusahaan yang bersangkutan sebagai pemegang saham atau dapat juga secara tidak langsung membeli saham perseroan dengan melalui pasar modal. Saham perseroan yang dijual di pasar modal adalah saham-saham perusahaan yang sudah memenuhi syarat go public dan dijamin keberadannya menurut undang-undang pasar modal.
Penanaman modal dapat dilakukan melalui dua mekanisme yaitu ;
1. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
Modal dalam negeri adalah bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia, termasuk hak-hak dan barang-barang yang dimiliki oleh negara dan swasta nasional atau swasta asing yang berdomisili di Indonesia, yang disediakan guna menjalankan suatu usaha sepanjang modal tersebut tidak diatur oleh ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Pihak swasta yang memiliki modal dalam negeri dapat terdiri dari perseroan dan/atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia (Pasal 1 Penanaman Modal Dalam Negeri ). Contoh kekayaan masyarakat Indonesia adalah tanah, bangunan, alat transportasi, dan hak atas tanah. Termasuk juga modal dalam negeri adalah alat pembayaran luar negeri yang dimiliki oleh negara dan swasta nasional yang disediakan untuk menjalankan usahanya di Indonesia.
Penanaman Modal dalam Negeri (PMDN) diatur dengan Undang-undang Nomor 6 tahun 1968, Lembaran Negara Nomor 33 Tahun 1968. Beberapa pasal dalam undang-undang ini kemudian diubah dan ditambah oleh undang-undang Nomor 12 Tahun 1970. Penanaman modal dalam negeri adalah penggunan modal dalam negeri secara langsung atau tidak langsung untuk menjalankan usaha berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 6 tahun 1968 (Pasal 2 Pananaman Modal dalam Negeri (PMDN)). Penanaman modal secara langsung apabila dilakukan oleh pemiliknya sendiri, sedangkan secara tidak langsung atau mulai pembelian kertas perbendaharaan negara, saham, obligasi yang dikeluarkan oleh perusahaan dan deposito serta tabungan berjangka sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun. Penanaman modal dalam negeri secara langsung dilakukan oleh pengusaha melalui perusahan nasional, baik itu milik swasta atau Badan usaha Milik Negara (BUMN).
2. Penanaman Modal Asing (PMA)
Istilah penanaman modal asing berasal dari bahasa Inggris yaitu investment . Penanaman modal asing atau investasi seringkali dipergunakan dalam arti yang berbeda-beda. Perbedaan penggunaan istilah investasi terletak pada cakupan makna yang dimaksudkan.
Pandji Anoraga mengutip pendapat Komarudin (Suhendro, 2005: 9) menerangkan bahwa investasi dijelaskan dalam 3 (tiga) pengertian, yaitu:
a. Suatu tindakan untuk membeli saham, obligasi atau surat penyertaan lainnya.
b. Suatu tindakan membeli barang modal.
c. Pemanfaatan dana yang tersedia untuk produksi dengan pendapatan dimasa yang akan datang. (Suhendro, 2005: 9).
Penanaman Modal Asing (PMA) diatur dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967. Undang-undang ini kemudian mengalami perubahan dan tambahan berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal asing pada Pasal (1) menyebutkan bahwa “Pengertian Penanaman Modal Asing di dalam undang-undang ini hanyalah penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan mnurut atau berdasarkan ketentuan-ketentuan Undang-undang di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung, menanggung resiko dari penanaman modal tersebut.”
Ismail Sunny dan Rudioro Rochmat (Suhendro, 2005:11) berpendapat perumusan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tersebut mengandung 3 (tiga) unsur pokok, yaitu:
a. Penanaman modal secara langsung.
b. Penggunaan modal untuk menjalankan perusahaan.
c. Resiko yang ditanggung pemilik modal. (Suhendro, 2005: 10)
Berdasarkan uraian tadi maka untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, pemilik modal asing mendirikan perusahaan badan hukum menurut hukum di Indonesia yang modalnya menggunakan modal asing. Perusahaan tersebut dikelola sendiri, sehingga resiko kerugianpun ditanggung sendiri oleh pemilik modal asing yang bersangkutan. Sebaliknya, apabila memperoleh keuntungan atau laba, juga dinikmati sendiri oleh pemilik modal asing itu, bahkan keuntungan itu boleh ditransfer dalam valuta asing keluar Indonesia setelah dipenuhi semua kewajiban yang berkenaan padanya.
Dalam ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (disingkat PMA), modal asing dijelaskan meliputi beberapa hal yaitu;
a. Alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan devisa Indonesia, yang dengan persetujuan pemerintah digunakan untuk pembiayaan perusahaan di Indonesia.
b. Alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuan-penemuan baru milik orang asing, dan bahan-bahan yang dimaksudkan dari luar kedalam wilayah Indonesia selama alat-alat tersebut tidak dibiayai dari kekayaan devisa Indonesia.
c. Sebagian dari hasil perusahan berdasarkan undang-undang ini diperkenankan ditransfer, tetapi dipergunakan untuk membiayai perusahaan di Indonesia.
Kesimpulannya, modal asing terdiri dari alat pembayaran luar negeri (valuta asing), alat-alat perusahaan, keuntungan sebagai hasil perusahaan, semuanya adalah milik orang atau badan hukum asing, yang digunakan untuk membiayai dan menjalankan perusahaan di Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 Jo Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing (PMA).
Bagan 2.4 Kerangka Pemikiran
Penjelasan:
Adanya rencana strategis daerah Kota Surakarta tahun 2003-2008 yang telah dijabarkan dalam Perda Nomor 16 Tahun 2003 khususnya di bidang ekonomi yang menekankan pada pengembangan potensi daerah melalui ikim investasi yang kondusif serta target Walikota Surakarta yang mencanangkan tahun 2007 sebagai kota pro-investasi di Jawa Tengah maka pemerintah Surakarta telah melakukan serangkaian langkah-langkah. Langkah yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta tersebut antara lain melalui peningkatan layanan bidang perizinan melaui penguatan sistem pelayanan satu pintu atau yang lebih sering dikenal dengan istilah Sistem One Stop Service.
Sesuai Peraturan Walikota Nomor 13 Tahun 2005 diatur dengan jelas bahwa terdapat pelimpahan kewenangan Walikota kepada Koordinator Unit Pelayanan Terpadu Kota Surakarta untuk berhak menandatangani dokumen perizinan. Hal ini dimaksudkan untuk memangkas alur birokrasi yang cenderung lama sekaligus mempermudah pelayanan publik khususnya penanaman modal di Surakarta dengan tetap memperhatikan ketentuan ataupun mekanisme hukum yang berlaku di Kota Surakarta.
Dari kebijakan dengan sistem One Stop Service tadi maka penulis ingin meneliti secara langsung mengenai implementasi kebijakan One Stop Service tersebut terhadap penanaman modal di Kota Surakarta secara riil sekaligus mengetahui mengenai kendala-kendala yang dihadapi, faktor pendukung dan solusi yang dapat diberikan sebagai sembangsih terhadap pembangunan di Kota Surakarta. Keberadaan UPT (Unit Pelayanan Terpadu) sebagai lembaga baru di bawah koordinasi Pemerintah Kota Surakarta menjadi titik kajian utama kami dalam hal efektifitas dan kinerja lembaga ini dalam menjalankan sistem One Stop Service di Surakarta. (Lutfi Fisip UNS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar