Rabu, 02 Maret 2011

TANTANGAN SARJANA PENDIDIKAN DI ERA PROFEIONALISME GURU

Kualitas pendidikan ditentukan oleh berbagai faktor, salah satu di antaranya adalah guru. Meskipun faktor-faktor lain ikut memepunyai andil dalam merosotnya mutu pendidikan, namun guru merupakan salah satu faktor penentu karena gurulah yang secara terprogram berinteraksi dengan peserta didik dalam proses pmbelajaran.
Berbicar tentang guru, tentu tidak telepas dari citra dan penghargaan kepada guru, pendidikan profesi guru dan kualitas guru yang banyak disorot oleh barbagi pihak, meskipun masih banyak guru yang mendedikasikan dirinya dalam bidang pendidikan karena memang benar-benar menyadari pentingnya pendidikan dan pentingnya peran guru dalam membina generasi penerus yang akan menentukan nasib bangsa dimasa yang akan datang.

Fakta tentang kualitas guru negeri kita menunjukkan bahwa sdikitnya 50 persen gruru di Indonesia tidak memilki kualitas sesuai Standardisasi Pendidikan Nasional (SPN). Berdasakan catatan Human Development Index (HDI), fakta ini menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia masih jauh dari memadai untuk melakukan perubahan yang sifatnya mendasar pad pelaksanaan kurikulum berbasis Kompetensi KBK). Dari data statistik HDI terdapat 60% guru SD, 40%, SLTP, 43% SMA, 34% SMK dianggap belum layak mengajar di jenjang masing-masing. Selain itu, 17,2% guru atau setara dengan 69. 477 guru mengajar bukan bidang studinya. Dengan demikian, kualitas SDM kita adalah turun 109 dari 179 negara di dunia. Untuk itu, perlu dibangun landasan kuat untuk meningkatkan kualitas guru dengan standardisasi rata-rata bukan standarsdisasi minimal (Thoharudin 2006:1)
„saat ini baru 50% dari guru se- Indosnesia yang memilki standardisasi dan komoetensi. Kondisi seperti ini masih kurang. Sehingga kualiatas pendidikan kita belum menunjukkan peningkatan yang signifikan, „ kata Mantan Rktor Universitas Negeri Jakarata (UNJ) Prof. Sutjipto(Jurnalnet, 16/ 10/ 2005).
Fakta lain yang diungkap oleh Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan tenaga Kependidikan, Dr. Fasli Djalal, bahwa sejumalah guru mendapatkan nilai nol untuk materi mata pelajaran yang sesungguhnya mereka ajarkan kepada murid-muridnya. Fakta itu terunkap berdasarkan ujian komptensi yang dilakukan terhadap tenaga kependidikan tahun 2004 lalu. Secara nasional, penguasaan materi pelajaran oleh guru ternyata tidak mencapai 50% dari seluruh materi keilmuan yang harus menjadi komptensi guru. Beliau juga mengatakan memperhatikan. Guru PPKN, sejarah, bahasa Indonsia, bahasa Inggris, matematika, fisika, biologi, kimia, ekonomi, sosiologi, geografi, pendidikan seni hanya mndapatkan skor sekitar 20-an dengan rentang antar 13 hingga 23 dari 40 soal. Artinya, rata-rata nilai yang diperoleh adalah 30 hingga 46 untuk skor nilai tertinggi 100, “(Tempo Iteraktif, 5 Januari 2006).
Mengacu pada data kasar kondisi guru saat ini tentulah kita sangat perhatian dengan buruknya kompetensi guru itu. Padahal, untuk tahun 2006 tuntutan minimal kepada siswa untuk memenuhi syarat lulus harus mengusai 42,5 persen.

Guru sebagai Profesi
Djojonegoro (1998:350) menyatakan bahwa profesionlme dalam suatu pekerjaan atau jabatan ditentukan oleh tiga faktor penting, yaitu : (1) memiliki keahlian khusus yang dipeersiapkan oleh program pendidikan keahlian atau spesialisasi, (2) kemapuan untuk memperbaiki kemampuan (ketrampilan dan keahlian khusus) yang dimiliki, (3) penghasilan yang memadai sebagi imbalan terhadap keahlian yang dimiliki itu. Menurut Vollmer & Mills (1991:4) mengatakan bahwa profesi afdalah sebuah pekerjaan/ jabatan yang memerlukan kemampuan intelektual khusus, yang diperoleh melalui kegiatan belajar dan pelatihan untuk menguasai ketrampilan atau kahlian dalam melayanai atau membrikan advis pada orang lain, dengan memperoleh upah atau gaji dalam jumlah trtentu.
Usman (1990:4) mengatakan bahwa guru merupakan suatu profesi yang artinya suatu jabatan atau pkerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Suatu profesi memilki persyaratan tertentu, yaitu: (1) menuntut adanya ketrampilan yang mendasarkan pada konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendasar, (2) menekanakan pada suatu kahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan profesinya , (3) menuntut tingkat pendidikan yang memadai, (4) menuntut adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pkrjaan yang dilaksanakan, (5) memeungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan, (6) memiliki kode etik, sebagai acuan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, (7) memiliki obyek tetap seperti dokter denga pasiennya, guru dengan siswanya, dan (8) diakui di masyarakat karena memang diperlukan jasanya di masyarakat.
Pengertan di atas menunjukkan bahwa unsur-unsur terpenting dalam sebuah profesi adalah penguasaan sejumlah kompetnsi sebagai keahlian khusus, yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan khusus, untuk melaksankan pembelajaran secara dan efisien. Kompetensi guru berkaitan dengan profesionalisme, sehingga guru yang profesional adalah guru yang kompeten (memiliki kemampuan). Karena itu kompetensi profeionalisme guru dapat diartikan sebagi kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruan.
Kompetensi Guru
Sejalan dengan uraian pengertian kompetensi guru di atas, Seharian (1990:4) megatakan kompetensi adalah pemilikan, penguasaan, ketrampilan, dan kemampuan yang dituntut jabatan seseorang. Oleh sebab itu seorang calon guru agar menguasai kompetensi guru harus mengikuti pndidikan khusus yang diselenggarakan oleh LPTK. Kompetensi guru untuk melaksanakan kewenangan profionalisme, mencakup tiga kompeten sebagi : (1) kemampuan kognitif, yakni kemampuan guru menguasai pengetahuan serta ketrampilan/ kehlian kependidikan dan pengetahuan materi bidang studi yang diajarkan, (2) kemampuan afektif , yakni kemepuan yang meliputi seluruh fenomena perasaan dan emosi serta sikap-sikap tertentu terhadap diri sendiri dan orang lain, (3) kemampuan psikomotor, yakni kemampuan yang bersifat jasmaniah yang pelaksanaannya dengan tugas-tugasnya sebagai pengajar.
Dalam UU Guru dan Dosen disebutkan bahwa kompetensi guru mencakup kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan yang diperoleh melalui pendidikan profesi guru setelah program sarjana atau D4. Kompetensi pribadi meliputi:(1) pengembangan kepribadian, (2) berinteraksi dan berkomunikasi, (3) melaksanakan bimbingan dan penyuluhan, (4) melaksanakan administrasi sekolah, (5) melaksanakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.
Kompetensi kepribadiian menurut Suparno (2002:47) adalah mencakup kepribadian yang utuh, berbudi luhur, jujur, dewasa, beriman, bermoral; kemampuan mengaktualisasikan diriseperti disiplin, tanggung jawab,peka, obyektif, luwes, berwawasan luas, dapat berkomunikasi dengan orang lain; kemepuan mengembangkan profesi seperti berfikir kreaktif, kritis, reflektif, mau belajar sepanjang hayat, dapat mengambil keputusan dll.(Depdiknas, 2001). Kemampuan kepribadian lebih menyangkut jati diri seorang guru sebagai pribadi yang baik, tanggug jawab, terbuka, dan terus mnerus mau belajar untuk maju.
Yang pertama ditekankan adalah guru itu bermoral dan beriman. Hal ini jelas merupakan kompetensi yang sangat penting karena salah satu tugas guru adalah membantu anak didik yang bertaqwa dan briman serta menjadi anak yang baik. Bila guru sendiri tidak beriman kepada Tuhan dan tidak bermoral, maka menjadi sulit untuk dapat membantu anak didik beriman dan bermoral. Bila guru tidak percaya kpada Allah, maka proses mebentu anak didik percaya lebih sulit. Disini guru perlu menjadi teladan dalam beriman dan bertaqwa. Pernah terjadi seorang guru beragama berbuat skandal sex dengan murudnya, sehingga para murud yang lain tidak percaya kepadanya lagi. Para murid tidak dapat mengerti bahwa seorang guru yang mengajarkan moral, justru ia sendiri tidak bermoral. Syukurlah guru itu akhirnya dipecat dari sekolah.
Yang kedua, guru harus mempunyai aktualisasi diri yang tinggi. Aktualisasi diri yang sangat penting adalah sikap bertanggungjawab. Seluruh tugas pendidikan dan bantuan kepada anak didik memerlukan tanggungjawab yang besar. Pendidikan yang menyangkut perkembangan anak didik tidak dapat dilakukan senaknya, tetapi perlu direncanakan, perlu dikembangkan, perlu dilakukan dengan tanggungjawab. Meski tugs guru lebih sebagi fasilitator, tetapi tetap bertanggung jawab penuh terhadapperkmbangan siswa. Dari pengalaman lapangan pendidikan anak menjadi rusak karena beberapa guru tidak bertanggungjawab. Misalnya, terjadi pelecehan seksual guru terhadap anak didik, guru mninggalkan kelas seenaknya, guru tidak memoersiapkan pelajaran dengan baik, guru tidak berani menganugrahkan anak didik dll.
Kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain sangat penting bagi seorang guru karena tugasnya memang selalu berkaitan dengan orang lain seperti anak didik, guru lain, karyawan, orang tua murid, kepala sekolah dll. Kemampuan ini sangat penting untuk dikembangkan karena dalam pengalaman, sering terjadi guru yang sungguh pandai, tetapi karena komunikasi dengan siswa tidak baik, ia suli membant anak didik maju. Komunikasi yang baik akan membantu proses pembelajaran dan pendidiakn terutama pada pendidikan level dasar sampai menengah.
Kedisiplinan jug menjadi unsur penting bagi seorang guru. Kedisiplinan ini memang menjadi kelemahan bangsa Indonesia, yang perlu diberantas sejak bangku sekolah dasar. Untuk itu hanya mungkin bila guru sendiri hidup dalam kedisiplinan sehingga anak didik dapat meneladaninya. Dilapangan sering terlihat beberapa guru tidak disiplin waktu, seenaknya bolos; tidak disiplin dalam koreksi pekerjaan mereka. Ketidakdisiplinan guru tersebut membuat siswa ikut-ikutan suka bolos dan tidak tepat mengumpulkan pkerjaan rumah. Yang perlu diprhatikan disini adalah, meski guru sngat disiplin, ia harus tetap membangun komunikasi dan rlasi baik dengan siswa. Pendidikan dan perkembangan pengetahuan di Indonesia kurang cepat salah satunya karena disiplin yang kurang tinggi termasuk disiplin dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan dalam belajar.
Yang ktiga adalah sikap mau mengembangkan pengetahuan. Guru bila tidak ingi ketinggalan jaman dan juga dapat membantu anak didik terus terbuka terhadap kemajuan pengetahuan, mau tidak mau harus mengembangkan sikap ingin terus maju dengan terus belajar. Di jaman kemajuan ilmu pengetahuan sangat cepat seperti sekarang ini, guru dituntut untuk terus belajar agar pengethuannya tetap segar. Guru tidak boleh brhenti blajar karena merasa sudah lulus sarjana.
Selanjutnya kemampuan paedagoki menurut Suparno (2002:52) disebut juga kemampuan dalam pembelajaran atau pendidikan memuat pemahaman akan sifat, ciri anak didik dan perkembangannya, mengerti bebeapa konsep pendidikan yang berguna untuk membuat siswa, menguasai beberapa metodologi mengajar yang sesuai dengan bahan dan perkembangan siswa, serta menguasai sistem evaluasi yang tepat dan baik yang pada gilirannya semakin meningkatkan kemampuan siswa.
Pertama,sangat jelas bahwa guru perlu mengenal anak didik yang mau dibantunya. Guru diharapkan mengerti sifat-sfat, karakter, tingkat pemikiran, perkembangan fisik dan psikis anak didik. Dengan mengerti hal-hal itu guru akan mudah mengerti kesulitan dan kemudahan anak didik dalam belajar dan mengembangkan diri. Dengan demikian guru akan lebih mudah membantu siswa berkembang. Untuk itu diprlukan pendekatan yang baik, tahu ilmu psikologi anak dan perkembangan anak, tahu bagaimana perkembangan pngetahuan anak. Biasanya selama kuliah di FKIP guru mendalami tori-teori psikologi tersebut. Namun yang sngat penting adalah mengerti anak secara tepat di sekolah yang kongkrit.
Kedua, guru perlu juga menguasi beberapa teori tentang pendidikan terlebih pendidikan di jama modern ini. Olh karena sistem pendidikan di Indonesia lebih dikembangkan kearah pendidiakn yang bersifat demokratis perlu didalami dan dikuasai. Dengan mengerti bermacam-macam teori pendidikan, diharapkan guru dapat memilih mana yang paling baik untuk membantu perkembangan anak didik. Oleh karena guru kelaslah yang sungguh mengerti situasi kongkrit siswa mereka, diharapkan guru dapat meramu teori-tori itu sehingga cocok dengan situasi anak didik yang diasuhnya. Maka guru diharapkan kreaktif untuk selalumenysuaikan teori yang digunakan dengan situasi siswa yang nyata.
Ketiga, guru juga diharapkan mengerti bermacam-macam model pemblajaran. Dengan semakin mengerti banyak model pmbelajaran, maka dia akan lebih mudah mengajar pada anak sesaui sengan situasi anak didiknya. Dan tidak kalah penting dalam pmbelajaran adalah guru dapat membuat evaluasi yang tepat sehingga dapat sungguh memantau dan mengerti apakah siswa sungguh berkembang seperti direncanakan sebelumya. Apakah proses pendidikan sesungguhnya jalan dan membantu anak berkembang secara efektif dan efisien.
Komptensi profeional meliputi : (1) menguasi landasan pendidikan, (2) mengasai bahan pmbelajaran, (3) memilki sikap dan kpribadian yang positif serta melekat pada setiap kompetensi yang lain, dan (4) mampu bekerja sama dengan orang lain.
Menurut Gadner (1983) dalam Sumardi (Kompas, 18 Maret 2006) menyebutkan bahwa pakar psikologi pendidiakn gadner (1983) menyebut kompetensi sosial intelleegence atau kecerdasan sosial. Kecerdasan sosial merupakan salah satu dari sembilan kecerdasan (logika, bahasa, musik, raga, ruang, pribadi, alam, dan kuliner) yang berhasil diidentifikasi oleh Gadner.
Semua kecerdasan itu dimiliki oleh seseorang. Hanya saja, mungkin beberapa di antaranya menonjol, sedangkan yang lain biasa atau bahkan kurang. Uniknya lagi, bberapa kecerdasan itu bekerja secara padu dan simultan ketika seseorang berpikir dan atau mengerjakan sesuatu (Amstrong, 1994).
Relevansi dengan apa yang dikatakan oleh Amstrong itu ialah bahwa kita membahas dan berusaha mengembangkan kecerdasan social, kita tidak boleh melepaskannya dengan kenyataan bahwa dewasa ii banyak muncul berbaagi masalah social kemasyarakatan yang hanya dapat dipahami dan dipecahkan melaui pendekatan holistik, pendekatan komperhensif, atau pendekatan multidisiplin.
Kecerdasan lain yang terkait erat dengan kecerdasan social adalah kecerdasan kecerdasan pribadi (personal intelligence), lebih khusus lagi kecerdasan emosi atau emotional intelligence (goleman, 1995). Kecerdasan social juga berkaitan erat dengan kecerdasan keuangan (kiyosaki, 1998). Banyak orang yang terkerdilkan kecerdasan sosialnya impitan kesuliatan ekonomi.
Dewasa ini mulai disadari betapa pentingnya peran kecerdasan social dan kecerdasan emosi bagi seseorang dalam usahanya meniti karier di masyarakat, lembaga, atau perusahaan. Banyak orang sukses yang kalau kita cermati ternyata mereka memiliki kemepuan bekerja sama, berempati dan pengendalian diri yang menonjol.
Dari uraian dan contoh-contoh diatas dapat kita singkatkan bahwa kompetensi sosial adalah kemampuan seseorang berkomunikasi, bergaul, bekerjasama, dan memberi kepada orang lain. Inilah kompetensi social yang harus dimiliki oleh seorang pendidik yang diamanatkan oleh UU Guru dan Dosen, yang pada gilirannya harus dapat ditularkan kepada anak-anak didiknya.
Untuk mengembangkan kompetensi social seseorang pendidik, kita perlu tahu target atau dimensi-dimensi kompetensi ini. Beberapa dimensi ini, misalnya dapat kita sering dari konsp Life Skill (kecakapan hidup). Dari 35 life skill atau kecerdasan hidup itu, ada 15 yang dapat dimasukkan kedalam dimensi kompetensi social, yaitu : (1) kerja tim, (2) melihat peluang, (3) peran dalam kegiatan kelompok, (4) tanggung jawab warga, (5) kepemimpinan, (6) relawan social, (7) kedewasaan dalam bereaksi, (8) berbagi, (9) berempati, 10) kepedulian kepada sesame, (11) toleransi, (12) solusi konflik, (13) menerima perbedaan, (14) kerja sama, dan (15) komunikasi.
Kelima belas kecerdasan hidup ini dapat dijadikan topik silabus dalam pembelajaran dan pengmbangan kompetensi social bagi para pendidik dan calon pendidik. Topic-topik ini dapat dikembangkan menjadi materi ajar yang dikaitkan dengan kasus-kasus yang actual dan relvan atau kontekstual dngan kehidupan masyarakat kita.
Dari uraian tentang profesi dan kompetnsi guru, menjadi jelas bahwa pkrjaan/ jabatan guru adalah sebagai profesi yang layak mendapatkan penghargaan, baik financial maupun non financial.

MEMIMPIKAN GURU YANG PROFESIONAL
Untuk memperbaiki kualitas pendidikan, pemerintah telah memberikan perhatian khusus dengan merumuskan sebuah Undang-undang yang mengatur profesi guru dan dosen. Dalam pembahsan rancangan Undang-undang ini hingga disahkan pada 6 Dsember 2005, tersirat keinginan Pemerintah untuk memperbaiki wajah suram nasib guru dan sisi ksejahteraan dan profeionalisme. Jumlah guru di Indonesia saat ini 2,2 juta orang, dan hanya sebagiankcil guru dari sekolah negeri dan sekolah elit yang hidup berkecukupan. Mengandalkan pengahasilan dan profesi guru, jauh dari cukup sehingga tidak sedikit guru yang mencari tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sertifikasi kompetensi guru sebagi tindak lanjut dari undang-undang ini menyisakanpersoalan sebagaimana disampaikan Mendiknas pada media masa pada saat pengesahan Undang-undang ini, antara lain kesepahaman akan ukuran uji kompetensi guru. Sejak awal gagasan pembuatan RUU Guru dan Dosen dilatarbelakangi oleh komitmen brsama ubtuk mngangkat martabat guru dalam memajukan pendidikan nasional, dan menjadikan profesi ini menjadi pilihan utama bagi generasi guru brikutnya (Situmorang dan Budiyanto 2005 :1).
Guru, pererta didik, dan kurikulum mrupakan tiga komponen utama pndidikan. Ketiga komponen ini saling antara satu komponen dengan komponen yang lainnya. Dari ketiga komponen tersebut, factor gurulah yang dinilai sebagai satu factor yang paling penting dan stragtis, karena ditangan para gurulah proses belajar dan mengajar dilaksanakan, baik di dalam dan di luar sekolah dengan menggunakan bahan ajar, baik yang terdapat di dalam kurikulum nasional maupun kurikulum local.
Untuk melaksanakan proses belajar dan mengajar secara efektif, guru harus memilki kemampuan profesionalisme yang dapat dihansalkan. Kemampuan profesionalisme yang handal tersebut tidak dibawa sejak lahir.oleh calon guru, tetapi harus dibangun, dibentuk, dipupuk dan dikembangkan melalui satu proses, strategi, kebijakan dan prohram ynag tepat. Proses, strategi , kebijakan, dan program pembinaan guru di masa lalu perlu dirumuskan kembali (Suparlan 2006 : 1).
James M. Cooper, dalam tulisannya bertajuk „The teachers as a Decision Maker“, mengawali dengan satu petanyaan itu dengan menjelaskan tentang guru dari aspek pelaksanaan tugasnya sebagai tenaga profeional. Demikian pula, Dedi Supardi dalam bukunya yang bertajuk „ Mengangkat Citra dan Martabat Guru“, telah menjelaskan secara amat jelas tentang makna profesi, profeionalisme, dan profesionalitas sebagi berikut. Profesi menunjuk pada suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap pekerjaan itu. Misalnya dua hal,guru sebagi profesi yang amat mulia. Profesional menunjuk dua hal, yakni orangnya dan penampilan orang itu dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya sebagai contoh, seorang profesional muda, atau dia bekerja secara profesional. Sementara Profeionalisme menunjuk kepada derajat atau tingkat penampilan seseorang sebagi seorang profeional dalm melaksanakan profesi yang mulia itu.
Dalam UU Nomor 20 Tahun yang dinyatakan bahwa „ Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik perguruan tinggi „
Guru merupakan tenaga profesional dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Dengan mengutip pendapat Westby-Gybson (1965), Soerjadi (2001:1-2) menyebutkan beberapa persyaratan suatu pekerjaan disebut sebagi profesi. Pertama, adanya pengakuan oleh masyarakat dan pemerintah mengenai bidang layanan tertentu dengan kulifikasi tertentu yang berbeda dengan profesi lain. Kedua, bidang ilmu yang menjadi landasan teknik dan prosedur kerja yang unik. Ketiga, memerlukan persiapan yang sengaja dan sistematis sebelum orang mengerjakan pekerjaan profesional tersebut. Keempat, memiliki mekanisme yang diperlukan untuk melakukan seleksi secara efektif, sehingga yang dianggap kompeteitif yang diperboolehkan dalam melaksanakan bidang bidang pekerjaan tersebut. Kelima, memiliki organisasi profesi yang disamping melindungi kepentingan anggotanya, juga berfungsi untuk meyakinkan agar anggotanya meyelenggarakan layanan keahlian yang terbaik yang dapat diberikan (Suparlan, 2004:2).
Profeionalisme guru didukung oleh tiga hal, yakni (1) Keahlian,(2) komitmen, dan (3) Ketrampioan (Supardi 1998;96). Untuk dapat melaksankan tugas profeionalnya dengan baik, pemerintah sejak lama telah berupaya untuk merumuskan perangkat standar kompetensi guru. Dapat dianalogikan dengan pentingnya hakim dan Undang-Undang, yang menyatakan bahwa,‘berilah aku hakim dan jaksa yang baik, yang dengan undang-undang yang kurang baik‘, maka kaidah itu dapat dianalogikakan dengan pentingnya guru, yakni dengan ungakapan bijak,‘berilah aku guru yang baik, dengan kurikulum yang kurang baik sekalipun aku akan dapat mengahasilkan peserta didik yang baik‘, maka kaidah itu dapat dianalogikan dengan pentingya guru, yakni dengan ungkapan bijak,‘ berilah aku guru yang baik, dan dengan kurikulum yang kurang baik‘, artinya, bahwa aspek kualitas hakim dan jaksa masih jauh lebih penting dibandingkan dengan aspek undang-undangnya. Hal yang sama dengan manusia denagn senjatanya, yang terpenting adalah msnusianya,‘man behind the gun‘.
Untuk mengggambarkan guru profeional, Supardi menguntip laopran dari jurnal Educational Leadership edisi 1993, yang menjelaskan bahwa guru profesional dituntut memiliki lima hal. Pertama, guru mempunyai komtmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komtmen tertinggi guru adlah kepada kepntingan siswa. Kedua,guru menguasai secara mendalam bahan/ materi pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para siswa. Bagi guru hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipindahkan. Ketiga, guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melaui berbagai teknik evaluasi, muali cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes belajar. Keempat, guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari kelamannya. Kelima, guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya di PGRI dan organisasi profesi lainnya. Apabila kelima hal tersebut dapat dimiliki oleh guru, maka guru tersebut dapat disebut sebgai tenaga dan pensisik yang benar-benmar profeional dalam menjalankan tugasnya (Supariadi 2003:14).
Standar Pengembangan Karir Guru,
mutu amat ditentukan oleh mutu gurunya mendiknas membrikan penegasan bahwa,“ guru yang utama“ (Republika 10 Februasri 2003). Belajar dapat dilakukan di mana saja, tetapi guru tidak dapat digantikan sepenuhnya oleh siapa atau alat apa pun juga. Untuk mebangun pendidikan yang bermutu, yang paling penting bukan membangun gedung sekolah atau sarana dan prasarannya, melainkan harus dengan upaya peningkatan proses pengajaran dan pembelajaran yang berkualitas, yakni proses pembelajaran yang menyenangkan, mengasyikkan,dan mencerdaskan. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh guru yang bermutu.
Sebagai salah satu komponen utama pendidikan, guru harus memiliki tiga kualifikasi dasar: (1) menguasi materi atau bahan ajar,(2) antusiasme, dan (3) penuh kasih sayang (loving) dalam mengajar dan mendidik (Mas’ud 2003:194).
Peningkatan mutu guru merupakan upaya yang amat kompleks, karena melibatkan banyak komponen. Pekerjaan besar ini mulai dari proses yang menjadi tugas lembaga pendidikan prajabatan yang dikenal dengan LPTK. Ternyata, LPTK mengalami kesulitan besar ketika dihadapkan kpeada masalah kualitas calon mahasiswa kelas dua yang akan dididik menjadi guru. Ketidakmampuan LPTK ternyata memang di luar tanggung jawabnya, karena masalah rendahnya mutu calon guru itu lebih disebabkan oleh rendahnya penghargaan terhadap profesi guru. Pada akhirnya orang mudah menebak, karena ujung-ujungnya menyangkut duit atau gaji dan penghargaan. Gaji fan penghargaan guru belum dapat disejajarkan dengan profesi lain, karena indikasi adanya mutu profeionalisme guru masih rendah. Terjadilah lingkaran setan yang sudah dideteksi ujung pangkalnya. Banyak orang menangkap bahwa gaji dan pemghargaan terhadap guru menjadi biang keladinya atau causa prima-nya.namun, ada orang yang berpendapat bahwa gaji dan dedikasi tidak dapatdipisahkan. Gaji akan mengikuti dedikasi. Disamping itu, gaji dan dedikasi terkait erat dengan faktor lain yang bernama kompetnsi profeional. Jadi, selainmemang harus dipikirkan dengan sungguh-sungguh upaya untuk meningkatkan gaji dan penghargaan kepada guru, namun masih ada pekerjaan besar yang harus segera dilakukan, yakni meningkatkan dedikasi dan kompetensi.
Apakah yang dimaksud komptensi? Istilah kompetenasi memang bukan barang baru. Pada tahun 70-an, terkenal wacana akademis tentang apa yang disebut sebagi Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi atau Competensi-based Taining and Education (CBTE).pada saat itu Direktorat Pendidikan Guru dan tenaga Teknis (Dikgutentis) Dikdasmen pernah mengaluarkan „buku saku warna biru“ tentang sepuluh komptensi guru“. Dua dekade kemudian, Direktorat Tenaga Kependidiakn (Dit Tendik), nama baru Dikgutentis telah membentuk satu tim Penyusun Kompetnsi guru. Setelah sekitar dua tahun berjalan, tim itu telah dapat mengahsilkan produk buram komptensi guru. Sementara itu, para penyelenggara pendidikan di kabupaten/ kota telah menunggu kelahiran kompetensi guru itu. Bahkan mereka mendabakan adanya satu instrumen atau alat ukur yang akan mereka gunakan dalam melaksanakan skill audit dengan tujuan untuk menentukan tingkat kompetensi guru di daerah masing-masing.
Untuk menjelaskan pengertian tentang komptensi itulah maka Gronzi (1997) da Hager (1995) menjelaskan bahwa „An integrated view sees competence as a complex combination of knowlage, attitudes, skill, and values displayed in the context of ask preformance“. Secara kombinasi kompleks dari pengetahuan, sikap, ketrampilan,dan nilai-nilai yang diyunjukkan oleh guru dalam konteks kinerja tugas yang diberikan kepadanya. Sejalan dengan definisi tersebut, Direktorat Tenaga Kependidikan, Dikdesemen menjelaskan bahwa, Kopetensi diartikan sebagi pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir fan bertindak“.
Berdasarkan pengertian tersebut, standar kompetensi guru diartikan,“satu ukuran yang ditetapkan atau dipersyaratkan dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan perilaku perbuatan bagi seorang guru agar berkelayakan untuk menduduki jabatan fungsional sesuai bidang tugas, kualifikasi, dan jenjang pendidikan“ Direktorat Tenaga Kependidikan 2003:5). Standar kompetensi guru terdisi atas tiga komponen yang saling mengait, yakni (1) pengelolaan pembelajaran, (2) pengembangan profesi, dan (3) penguasaan akademi. Ketiga standar kompetensi tersebut dijiwai oleh sikap dan kepribadian yang diperlakukan untuk menunjang pelaksanaan tugas guru sebagai tenaga profesi. Ketiga komponen masing-masning terdiri atas dua kemepuan. Oleh karena itu, ketiga komponen tersebut secara keseluruhan meliputi 7 (tujuh) kompetensi, meliupti : (1) penyusunan rencana pembelajaran,(2) pelaksanaan interaksi belajar mengajar, (3) penilaian prestasi belajar pesrta didik, (5) pengembangan profesi, (6) pemahaman wawasan kependidikan, (7) penguasaaan bahan kajian akademik.
Standar kompetansi guru memilki tujuan dan manfaat ganda. Standar kompetensi guru bertujuan untuk memperoleh acuan baku dalam pengakuan kinerja guru untuk mendapatkan jaminan kualitas proses pembelajaran‘ (SKG, Direktorat Tendik 2003:5). Di samping itu, Standar Kopetensi Guru bermanfaat untuk : (1) menjadi tolok ukur senua pihak yang berkepenintgan di bidang pendidikan dalam rangka pembinaan, peningkatan kualitas dan penjejangan karir guru, (2) meningkatan kinerja guru dalam bentuk kreativitas, inovasi, ketrampilan, kemandirian, dan tanggung jawab sesuai dengan jabatan profesinya (SKG, Direktorat Tendik 2003:6).
Pengembangan Karir Guru
Pada era sentralisasi pendidikan, pembinaan guru diatur secara terpusat oleh pemerintah, dalam hal ini Departeman Pendidikan Nasional melalui PGPS (Peraturan Gaji Pegawai Sipil) dan ketentuan lain tentang kenaikan pangkat dengan sistem kredit. Dalam pelaksanaannya di lapangan ketentuan tersebut berjalan dengan berbagai penyimpangan. PGPS sering diplesetkan menjadi pinter gobolk penghasilan sama atau pandai pandir penghasilan sama. Pelaksanaan kenaikan pangkat guru dengan sistem kredit pun kurang lebih sama. Kepala sekolah sering terpaksa menandatangani usul kenaikan pangkat guru hanya karena faktor Kasihan. Dengan kondisi seperti itu, ada sebagian kecil guru yang karena kapasitas pribadinya atau karena faktor lainnya dapat berubah atau meningkat karirnya menjadi kepala desa, anggota legeslatif, dan bahkan menjadi tenaga struktur di dinas pendidikan. Sedang sebagian besarlainnya mengalami nasib yang tidak menentu, antara lain karena belum ada kejelasan tentnag standar pengembangan karir mereka.
Mengingat kondisi itulah maka pada tahun 1970-an dan 1980-an telah didirikan beberapa lembaga pendidikan dan pelatihan yang bernama Balai Penataran Guru (BMG), yang sekarang menjadi Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPmP) di setiap provinsi, dan Pusat Pengembangan Penmataran guru (PPPG) untuk pelbagai mata pelajadan dan bidang keahlian di beberrapa daerah di Indonesia. Pada tahun 1970-an kegiatan,‘up-grading guru mulai gencar dilaksanakan di BPG dan PPPG. Kegiatan itu pada umumnya dirancang oleh direktorat-direktorat di bawah pembinaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Region-region penaratan telah dibentuk di berbagai kawsan di Indonesia, dengan melibatkan antara direktorat terkait dengan lembaga diklat (preservise training) dan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) sebagai lembaga preservice training, serta melibatkan juga peranan lembaga pendidikan sekolah sebagai on the job training yang dibina langsung oleh Kator Wilayah Departemen pendidikan dan Kebudayaan yang ada di regionnya masinng-masing.
Salah satu pola pembinaan guru melalui diklat ini adalah mengikuti pola Pembinaan Kegiatan Guru (PKG), yang sistem penyelenggaraan diklatnya dinilai melibatkan elemen pendidikan yang lebih luas. Melaui pola PKG ini, para guru dapat diklasifikasikan sebagai brikut : (1) guru biasa, yakni guru baru atau guru yang belum pernah mengikuti penataran, atau baru sebatas ditatar di tingkat kecamatan atau sekolah, (2) guru Inti, guru yang telah ditatar di tingkat provinsi atau nasional dan memperoleh predikat yang sebagai penatar di tingkat kabupaten, kecamatan dan sekolah, (3) instuktur, guru yang telah mengikuti kegiatan diklat TOT (training of trainer) di tingkat pusat atau nasional dan memperoleh predikat sebagi penatar di tingkat provinsi. Sebagaian besar instruktur ini juga telah memperoleh pengalaman dalam mengikuti penataran di luar negri, (4) pengelola disanggar, guru instruktur yang diberi tugas untuk mengelola Sanggar PKG, yakni tempat bertemunya para guru berdiskusi atau mengikuti penatran tingkat kabupaten atau sekolah, (5) kepala sekolah, yakni instruktur yang telah diangkat untuk menduduki jabatan sebagai kepala sekolah, (6) Pengawas sekolah, satu jenjang fungsional bagi guru yang telah menjabat sebagai kepala sekolah. Selain itu, para guru memiliki wadah pembinaan profesional melalui organisasi yang dikenal dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), sementara para kepala sekolah aktif dalam kegiatan Latihan Kerja Kepala Sekolah (LKKS), dan Latihan Kerja Pengawas Sekolah (LKPS) untuk pengawasa sekolah. Kegiatan-kegiatan tersebut sebagaian besar dilaksanakan di suatu sanggar yang disebut sanggar PKG.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar